Hari Tani 2024: Reforma Agraria Dimanipulasi, Langgar Konstitusi

JAKARTA. Pada aksi hari Selasa, 24 September 2024 di depan Istana Negara dan DPR RI ini, Partai Buruh
dan Serikat Petani Indonesia akan terus berjuang sampai kemenangan bagi rakyat Indonesia,
mewujudkan Negara Sejahtera, mencapai keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan.

Partai Buruh sebagai partai persatuan perjuangan kelas pekerja buruh, petani, nelayan dan
menjadikan Hari Tani Nasional sebagai momentum yang wajib diperingati tiap tahunnya dalam
memperkuat perjuangan untuk mewujudkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan petani
dan orang-orang yang bekerja di perdesaan di Indonesia. Pada Hari Tani Nasional tahun 2024
ini, Partai Buruh dan Serikat Petani Indonesia menyatakan sikap bahwa “Reforma Agraria
Dimanipulasi, Langgar Konstitusi”. Pernyataan sikap ini dilatarbelakangi oleh keadaan
sebagai berikut:

  1. Reforma Agraria sejatinya ialah bertujuan merombak struktur agraria yang timpang, tapi
    pada kenyataannya Penguasa justru memperluas ketimpangan agraria itu sendiri. Hal ini
    dibuktikan dengan kebijakan pemberian hak guna usaha (HGU) selama 190 tahun kepada
    korporasi;
  2. UU No. 5 tahun 1960 tentang Perturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) tidak
    dijadikan sebagai rujukan dari dikeluarkannya kebijakan reforma agraria di Indonesia.
    Demikian juga UU No. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dan
    UU No 18 tahun 2012 tentang Pangan. Sebaliknya penguasa justru mengeluarkan UU yang
    bertentangan melalui UU Cipta kerja (Omnibus Law) yang berisi bukan saja semakin
    mengeksploitasi pekerja tapi juga petani, dan rakyat banyak lainnya. Substansi UU Cipta
    Kerja yang kembali dihidupkan setelah Putusan MK Inkonstitusional Bersyarat tahun
    2021, melalui Perppu 2/2022 yang kemudian disahkan menjadi UU 6/2023 tentang Cipta
    Kerja telah mengukuhkan kepentingan modal dan investasi menjadi legitimasi dalam
    merampas tanah milik petani, masyarakat adat, dan orang-orang yang bekerja di perdesaan.
    Terkhusus dengan pembentukan badan Bank Tanah sebagai anak kandung dari UU Cipta
    Kerja.
  3. Reforma Agraria diarahkan hanya melegalisasi penguasaan kepemilikan tanah yang sudah
    timpang melalui project sertipikasi tanah, dan menjadi jalan korporasi-korporasi besar
    menguasai tanah dengan atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN), serta atas nama
    perubahan iklim jutaan hektar tanah rakyat dijadikan hutan konservasi restorasi sebagai
    komoditas perdagangan karbon;
  4. Kenyataan hari ini konflik agraria semakin meningkat, karena perampasan tanah rakyat
    semakin meluas, dan konflik agraria yang sudah ada selama ini tidak ada penyelesaian yang
    luas dan komprehensif. Berdasarkan data terdapat 1.385 kasus pengaduan masyarakat
    terkait konflik agraria selama tujuh tahun terakhir (2016-2023), dari angka tersebut, 70
    lokasi telah ditetapkan sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). Sampai dengan
    Februari 2024, capaian redistribusi tanah dan penyelesaian konflik pada LPRA baru
    sebanyak 24 LPRA (14.968 bidang/5.133 Ha untuk 11.017 KK). Jadi masih ada 46 LPRA yang belum selesai dan 1.361 lokasi aduan konflik agraria yang mangkrak. Kemudian selama empat dasawarsa, rasio gini kepemilikan tanah berfluktuasi pada rentang nilai 0,50
  5. 0,72. Nilai tersebut berada dalam kategori ketimpangan sedang (0,4 ? G ? 0,5) dan tinggi
    (G>0,5). Berdasarkan data BPS, ketimpangan kepemilikan tanah pada 2013 mencapai 0,68,
    yang berarti 68% sumber daya tanah yang ada dikuasai oleh hanya 1% kelompok penduduk
    Indonesia.
  6. Jumlah petani gurem dan rakyat yang tak bertanah semakin meningkat selama 10 tahun
    terakhir ini. Berdasarkan Laporan Penelitian Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
    Pertanahan RI (ATR/BPN) tahun 2019 menunjukkan bahwa luas tanah pertanian yang
    dimiliki petani berdasarkan hasil Sensus Pertanian menunjukkan distribusi yang tidak
    merata. Petani gurem dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektare mengalami
    lonjakan dalam satu dekade terakhir, dari 14,24 juta pada tahun 2013 menjadi 16,89 juta
    rumah tangga pada tahun 2023 (Sensus Tani BPS 2023);
  7. Kedaulatan pangan semakin menjauh, karena tanah pertanian (sawah) dan hutan-hutan di
    konversi untuk tanaman ekspor, dan kebutuhan pangan semakin besar diimpor setiap
    tahunnya selama 10 tahun terakhir ini.

Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan berdasarkan konstitusi UUD NRI 1945 dan UUPA
1960 yang tidak kunjung dijalankan, tidak hanya merugikan petani dan masyarakat yang
bekerja di perdesaan. Kelas pekerja lainnya seperti Buruh, Nelayan, Masyarakat Adat,
Masyarakat Perdesaan, Masyarakat Perkotaan, dan pekerja informal lainnya juga dirugikan.
Ketimpangan penguasaan, kepemilikan, penggunaan, dan pamanfaatan tanah di perdesaan akan
terus melanjutkan migrasi penduduk secara besar-besaran dari desa ke kota. Sementara
keterbatasan lapangan pekerjaan menciptakan kompetisi yang tidak sehat diantara kelas
pekerja.
Situasi demikian menyebabkan politik upah murah dan hubungan industrial yang rapuh
semakin mencengkram. Sementara di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, akan berdampak
pada semakin bergeliat privatisasi wilayah tangkap bagi nelayan. Belum lagi masyakarat
perkotaan yang tunakisma dan tidak memiliki hunian. Oleh karena itu, seluruh elemen kelas
pekerja sesungguhnya merupakan subjek dari reforma agraria.
Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut, maka Partai Buruh dan Serikat Petani
Indonesia pada Peringatan Hari Tani Nasional ke-64 Tahun 2024 menuntut kepada Pemerintah
Republik Indonesia yang akan datang, periode 2024-2029 untuk:

  1. Melaksanakan reforma Agraria sebagai upaya merombak struktur penguasaan agraria
    yang timpang, memastikan land reform yakni membagikan Tanah Untuk Rakyat yang
    tak bertanah, petani gurem untuk usaha-usaha pertanian, perikanan untuk kadaulatan
    pangan maupun untuk perumahan dan pemukiman serta fasilitas sosial bagi rakyat.
  2. Menghentikan segala proyek-proyek, termasuk PSN yang menggusur tanah rakyat, dan
    membabat hutan hujan Indonesia, seperti proyek food estate dan real estate. Karena itu,
    harus juga ditolak pasar tanah melalui lembaga Bank Tanah, dan pemberian HGU dan
    HGB kepada orang asing yang di usung oleh IMF World Bank yang bersifat Kapitalis
    dan Neo-Liberal;
  3. Melaksanakan Reforma Agraria berdasarkan konstitusi Pasal 33 UUD NRI 1945,
    UUPA 1960, dan TAP MPR-RI No. IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan
    Pengelolaan Sumberdaya Ala;
  4. Mencabut Omnibus Law UU Cipta Kerja dan peraturan/undang-undang lainnya yang
    merugikan petani. Seperti UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H)
    dan UU Perkebunan, yang selama ini menjadi legitimasi dan legalitas untuk melakukan
    perampasan tanah, intimidasi, kriminalisasi, dan diskriminasi hukum kepada petani dan
    pejuang reforma agraria yang mempertahankan tanah dari klaim kawasan hutan dan
    areal korporasi perkebunan;
  5. Menyelesaikan Konflik Agraria dan menghentikan kriminalisasi dan diskriminasi
    hukum terhadap petani. Pemerintah harus melindungi hak asasi petani baik itu
    berdasarkan UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan
    berdasarkan Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Orang-Orang yang bekerja di
    Perdesaan (United Nations Declaration on the Rights of Peasants and Other People
    Working in Rural Areas);
  6. Menolak impor pangan. Pangan harus berasal dari produksi keluarga petani dalam
    negeri, bukan dari Food Estate atau lumbung pangan terpusat yang dikelola korporasi.
    Untuk itu diharuskan menyusun kebijakan jangka panjang pertanian Indonesia yang
    didasarkan pada Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan. Dalam konteks pemenuhan
    sarana produksi, pemerintah harus mendorong petani dan orang-orang yang bekerja di
    perdesaan beralih dari sistem pertanian yang bercorak revolusi hijau menjadi
    agroekologi.
ARTIKEL TERKAIT
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU