Implikasi Hukum UU Cipta Kerja Pasca Putusan MK

(Sebuah analisis kritis KEPAL atas Putusan MK terhadap UU Cipta Kerja)

Setelah Putusan MK atas UU Cipta Kerja diucapkan pada 25 November 2021, membawa dampak hukum luar biasa dalam aspek perundang-undangan dan ketatanegaraan. Secara otomatis, Putusan MK ini merontokkan bangunan hukum dan ekonomi yang telah disusun oleh Pemerintah dan DPR. Di mana tidak hanya keberlakuan UU Cipta Kerja saja yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan cacat formil, melainkan konstruksi hukum peraturan pelaksana/turunan dari UU Cipta Kerja ini juga otomatis tidak berlaku.

Namun, Putusan MK menyisakan banyak penafsiran yang memicu perdebatan baik di kalangan akademisi, praktisi hingga masyarakat sipil. Ada yang mengatakan UU Cipta Kerja ini masih tetap berlaku hingga 2 tahun, ada juga yang mengatakan keberlakuannya ditangguhkan hingga adanya perbaikan formil dan substansi UU Cipta Kerja. Hingga, ada pula yang menafsirkan bahwa bukan UU Cipta Kerja yang direvisi melainkan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan untuk mengadopsi metode omnibus law dalam UU 12/2011.

Perdebatan dari banyaknya multitafsir ini tentu harus dipagari dengan memperhatikan tiga bingkai utama, yakni pertama, harus dilandaskan pada Putusan MK atas UU Cipta Kerja; kedua, analisis aspek hukum tata negara dan ilmu perundang-undangan; dan ketiga, analisis dampak luas dari keberlakuan UU Cipta Kerja bagi masyarakat kecil.

Dalam analisis implikasi hukum UU Cipta Kerja ini, akan memfokuskan pada posisi Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL) dalam menganalisis Putusan MK atas UU Cipta Kerja. Inisiatif lahirnya analisis ini berasal dari kegelisahan masyarakat yang masih bertanya-tanya soal analisis Putusan MK dan keberlakuan UU Cipta Kerja. Supaya masyarakat memiliki bacaan yang utuh sebagai pedoman dalam praktik berhukum dan menyusun langkah advokasi kedepan.

KEPAL adalah koalisi dari 15 organisasi masyarakat sipil yang lahir dari kegelisahan terhadap praktik hukum yang melanggar konstitusi dan hak-hak rakyat kecil. KEPAL sedari awal menjadi salah satu aktor yang konsisten mengawal UU Cipta Kerja hingga melakukan uji formil di Mahkamah Konstitusi. Kondisi demikian didorong agar proses pembentukan suatu undang-undang hingga pengesahan dan pemberlakuannya tidak satupun yang melanggar konstitusi serta hak-hak rakyat kecil.

Posisi KEPAL terhadap UU Cipta Kerja Sebelum Putusan MK

KEPAL sedari awal memandang lahirnya UU 11/2020 tentang Cipta Kerja selanjutnya disebut UU Cipta Kerja cacat prosedur dan tidak demokratis. Hal ini dimaktubkan dalam buku publikasi KEPAL berjudul “Tiada Demokrasi Tanpa Prosedur Demokratik” yang dirilis pada Juni 2020.[1] Kejanggalan itu bisa dilihat pada beberapa aspek dari mulai proses perencanaan, pembahasan, pengesahan, hingga pengundangan UU Cipta Kerja. Argumentasi dan posisi KEPAL akan diuraikan dibawah ini.

1.    Metode Omnibus Law Tidak Dikenal Dalam Peraturan Perundang-undangan
Ahli Hukum Tata Negara mempertanyakan metode omnibus law yang diadopsi dalam UU Cipta Kerja karena tidak dikenal dalam sistem hukum di Indonesia. Prof. Maria Farida mengatakan bahwa gagasan omnibus law ini lazim diterapkan di negara-negara yang menganut sistem common law bukan negara yang menganut sistem Eropa Kontinental. Bila dipaksa penerapannya maka akan menimbulkan persoalan baru dalam sistem penyusunan peraturan perundang-undangan.[2]

Ahli Hukum Tata Negara Refli Harun dan Feri Amsari juga mengkhawatirkan omnibus law UU Cipta Kerja akan menimbulkan ketidakpastian hukum baru karena UU Cipta Kerja melakukan revisi bahkan menghapus beberapa pasal dalam 79 UU sektoral.[3] Metode seperti ini tidak dikenal dalam hirarki peraturan perundang-undangan di mana sebuah undang-undang dapat mengoreksi bahkan menghapus undang-undang lainnya.

Dengan metode omnibus law menyebabkan ketidakjelasan jenis undang-undang yang dibentuk, apakah sebagai undang-undang baru atau undang-undang perubahan ataukah undang-undang pencabutan. Sehingga, hal tersebut bertentangan dengan ketentuan teknik pembentukan undang-undang baru, pencabutan dan/atau perubahan undang-undang sebagaimana diatur dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Sehingga metode omnibus law telah menimbulkan ketidakjelasan cara atau metode yang tidak pasti dan tidak baku yang artinya bertentangan dengan konsiderans menimbang huruf b UU 12/2011.

Selain itu, urusan hyper regulasi juga tidak akan terselesaikan melalui metode omnibus law UU Cipta Kerja, karena UU Cipta Kerja banyak mendelegasikan pembentukan PP maupun peraturan pelaksana dibawahnya sehingga semakin banyak juga aturan turunan yang lahir dari UU Cipta Kerja.

Pandangan KEPAL terhadap model omnibus law ini juga dituangkan dalam dalil permohonan uji formil UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi. Yang menegaskan metode omnibus law tidak sesuai dengan UU 12/2011. Sehingga dasar pembentukannya tidak jelas dan bertentangan dengan Pasal 5 huruf c dan Pasal 7 Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Bahwa selain itu UU Cipta Kerja bila tidak dibatalkan dan tetap diberlakukan maka memberikan dampak negatif yang luas bagi kehidupan masyarakat.

2.   KEPAL Telah Mendalilkan UU CK Cacat Formil Sejak Perencanaan
Dalam dalil permohonan uji formil yang diajukan oleh tim kuasa hukum KEPAL, sudah mengungkapkan bahwa UU Cipta Kerja cacat formil sejak perencanaan. Cacat formil itu dapat dilihat dengan tidak adanya “Naskah Akademik” sejak dari perencanaan bahkan dalam proses-proses pembahasan. Padahal, Pasal 43 ayat (3) Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan: “Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik.”

Pentingnya Naskah Akademik dalam sebuah undang-undang juga diperkuat dalam aturan yang relevan lainnya, seperti dalam Pasal 163 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pasal 113 ayat (2) dan (6) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Tata Tertib serta Pasal 3 huruf a Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksana UU 12/2011.

Argumentasi KEPAL semakin diperkuat dalam fakta persidangan yang disampaikan oleh dua saksi Pemerintah bernama Haiyani Rumondang dan Yorrys Raweyai yang menegaskan tidak pernah menerima, atau memegang, atau mempelajari naskah akademik sebelumnya.[4] Dengan tidak adanya Naskah Akademik, maka jelaslah bahwa UU Cipta Kerja ini cacat formil maupun prosedural karena tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maupun peraturan turunannya.

3.   UU Cipta Kerja Minim Partisipasi Publik
Partisipasi publik dalam proses penyusunan hingga tahapan akhir sebuah perundang-undangan merupakan hal fundamental yang harus ada. Disebutkan dalam Pasal 96 Ayat 1 sampai 4 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”. Namun, dalam prosesnya masyarakat tidak dilibatkan didalamnya, bahkan UU Cipta Kerja dibahas secara eksklusif yang melibatkan segelintir kelompok/orang saja.

KEPAL mendalilkan bahwa sifat tergesa-gesa dalam merumuskan UU Cipta Kerja ini mengakibatkan tidak adanya partisipasi publik sehingga mendapatkan penolakan dan perlawanan dari organisasi petani, nelayan kecil dan masyarakat sipil yang bergabung dalam Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL).[5]

Partisipasi publik itu bukan didefinisikan sekedar mengundang dan hadir dalam pertemuan. Tetapi harus dimaknai lebih dari sekedar itu yakni mempertimbangkan masukan masyarakat dalam undang-undang yang dibahas hingga diteguhkan masukkannya dalam undang-undang tersebut. Sehingga, partisipasi publik ini tidak dijadikan hanya “sekedar” syarat melainkan hal yang wajib dan fundamental dalam perumusan undang-undang. Sebab, dampak dari sebuah undang-undang itu akan menyasar pada publik luas.

4.   UU Cipta Kerja Lahir dari Proses Inkonstitusional dan Tergesa-gesa
UU Cipta Kerja merupakan produk yang dipaksa disahkan sehingga melanggar tata peraturan perundang-undangan yang ada. Bahkan Pemerintah Indonesia meminta kepada Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia untuk segera melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dalam prolegnas prioritas tahunan. Latar belakang yang membuat pemerintah meminta hal tersebut dikarenakan adanya desakan dari World Trade Organization (WTO) untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.

Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya surat dari Pemerintah Indonesia yang dicatat di WTO dengan nomor WT/DS477/21/Add.13, WT/DS478/21/Add.13 pada 18 Februari 2020 yang pada pokoknya akan mengubah 4 (empat) Undang-Undang Nasional melalui Undang-Undang Cipta Kerja agar sesuai dengan ketentuan World Trade Organization (WTO). Empat Undang-Undang itu diantaranya: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Hortikultura, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan hewan.

Melihat lahirnya UU Cipta Kerja ini menimbulkan problematika baru dalam sistem perundang-undangan bahkan inkonstitusional, maka KEPAL sedari awal mendorong dua pilihan hukum, yaitu: Pertama, meminta presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu); dan Kedua, melalui permohonan pengujian formil UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi. Pilihan hukum tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda, terutama dalam menempatkan peran masyarakat sipil untuk mengawal setiap proses dan mempertahankan hak konstitusional rakyat dalam pembentukan hukum.[6]

Pandangan KEPAL Pasca Putusan MK atas UU Cipta Kerja

1. Putusan Perkara Nomor 107/PUU-XVIII/2020 seharusnya mutatis mutandis mengikuti putusan Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020
Pada hari Kamis tanggal 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi telah memutus permohonan Uji Formil UU Cipta Kerja yang diajukan oleh beberapa Pemohon yang teregister dengan beberapa perkara diantaranya Perkara Nomor 91, 103, 105, 107/PUU-XVIII/2020, 4, 6/PUU-XIX/2021. Terhadap permohonan Uji Formil tersebut Perkara Nomor 91 diputus terlebih dahulu oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada hari yang sama, namun di jam yang berbeda. Atas hal tersebut maka Putusan Perkara Nomor 91 dijadikan acuan Majelis Hakim MK dalam memberikan pertimbangan hukum dalam Putusan Perkara yang lain, salah satu diantaranya adalah Perkara yang diajukan oleh KEPAL yang teregister dengan Nomor 107/PUU-XVIII/2020.

KEPAL menilai putusan perkara Nomor 107/PUU-XVIII/2020 sudah seharusnya dapat dikatakan mutatis mutandis dengan perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Karena pada saat itu semua Permohonan diperiksa secara bersama-sama, dijawab oleh Pemerintah dan DPR dengan jawaban yang sama serta secara bersamaan dan mengajukan saksi dan ahli dalam persidangan yang sama.

Namun terhadap hal ini KEPAL berpendapat terdapat suatu kekeliuran yang dilakukan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, dalam memutus perkara nomor 107/PUU-XVIII/2020 terutama dalam pertimbangan hukum bagian konklusi. Dalam pertimbangan hukum bagian konklusi pada angka 4.5 disebutkan bahwa Permohonan Para Pemohon Kehilangan Objek. Pertimbangan ini menurut KEPAL dapat diartikan bahwa sebenarnya UU Cipta Kerja telah dinyatakan Inkonstitusional dan dinyatakan tidak berlaku secara permanen, mengingat arti dari Kehilangan Objek adalah Objek yang diajukan Permohonan sudah tidak ada. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka menurut KEPAL Undang-Undang Cipta Kerja sudah tidak berlaku. Tentunya hal tersebut menjadi kontradiksi dengan Putusan dalam Perkara 91 yang menyatakan UU Cipta Kerja Inkonstitusional bersyarat.

2. UU Cipta Kerja Batal Demi Hukum
Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 telah menegaskan tiga hal: pertama, UU Cipta Kerja inkonstitusional dan tidak memenuhi standar baku, serta metode sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 dan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; kedua, UU Cipta Kerja tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara luas. Hakim MK dalam pertimbangan hukum poin [3.17.8] menegaskan partisipasi publik merupakan hal yang harus menjadi perhatian dan dipenuhi dalam pembentukan undang-undang. Kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang sebenarnya juga merupakan pemenuhan amanat konstitusi yang menempatkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai salah satu pilar utama bernegara sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

Lebih jauh lagi, partisipasi masyarakat juga dijamin sebagai hak-hak konstitusional berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara. Apabila pembentukan undang- undang dengan proses dan mekanisme yang justru menutup atau menjauhkan keterlibatan partisipasi masyarakat untuk turut serta mendiskusikan dan memperdebatkan isinya maka dapat dikatakan pembentukan undang-undang tersebut melanggar prinsip kedaulatan rakyat (people sovereignty).

Hakim MK juga menegaskan pentingnya partisipasi masyarakat dalam suatu pembentukan undang-undang bertujuan, antara lain, untuk (1). menciptakan kecerdasan kolektif yang kuat (strong collective intelligence) yang dapat memberikan analisis lebih baik terhadap dampak potensial dan pertimbangan yang lebih luas dalam proses legislasi untuk kualitas hasil yang lebih tinggi secara keseluruhan, (2). membangun lembaga legislatif yang lebih inklusif dan representatif (inclusive and representative) dalam pengambilan keputusan; (3). meningkatnya kepercayaan dan keyakinan (trust and confidence) warga negara terhadap lembaga legislatif; (4). memperkuat legitimasi dan tanggung jawab (legitimacy and responsibility) bersama untuk setiap keputusan dan tindakan; (5). meningkatan pemahaman (improved understanding) tentang peran parlemen dan anggota parlemen oleh warga negara; (6). memberikan kesempatan bagi warga negara (opportunities for citizens) untuk mengomunikasikan kepentingan-kepentingan mereka; dan (7). menciptakan parlemen yang lebih akuntabel dan transparan (accountable and transparent).

Partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation) sehingga tercipta/terwujud partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh. Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu: pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Ketiga, UU Cipta Kerja cacat formil karena menimbulkan ketidakjelasan nomenklatur hirarki perundang-undangan. Penyebutan nama UU Cipta Kerja dalam undang-undang ini yang mengatur 79 undang-undang berikut revisi dan penghapusan pasal-pasal didalamnya, menimbulkan ketidakjelasan apakah undang-undang ini adalah undang-undang revisi atau undang-undang baru. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum baru yang bisa berdampak luas bagi tatanan hukum dan perundang-undangan.

Berdasarkan, uraian diatas maka KEPAL berpandangan bahwa UU Cipta Kerja ini merupakan proses legislasi ugal-ugalan dengan mengabaikan konstitusi UUD 1945 beserta mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan. Penegasan itu semakin diperkuat dengan Putusan MK yang telah menyatakan UU Cipta Kerja Inkonstitusional dan cacat formil. Karena itu, UU Cipta Kerja layak disebut sebagai undang-undang yang lahir dari proses yang tidak demokratis dan melanggar hak-hak konstitusional rakyat, sehingga harus batal demi hukum.

3.   Seluruh Kebijakan Strategis Berdampak Luas Harus ditangguhkan Termasuk PP dan atau Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja
Tafsir tunggal Pemerintah yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja beserta peraturan turunannya masih tetap berlaku adalah keliru. Kami KEPAL memandang itu hanya sebagai cara aman Pemerintah untuk menjaga arus investasi yang sudah masuk melalui legitimasi UU Cipta Kerja sebelum diputuskan Inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Tafsir tunggal itu tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan serta dampak luas bagi masyarakat kecil dari keberlakuan UU Cipta Kerja.

Padahal, dalam amar Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 khususnya poin 7 yang berbunyi: Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja”. Perintah MK dalam poin 7 ini menyatakan ada dua frase berbeda yang harus dipahami. Pertama, Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.Kemudian, yang Kedua, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.[7]

Konsekuensi hukum pertama yang menangguhkan segala tindakan/kebijakan strategis dan berdampak luas itu mengacu pada Pasal 4 UU Cipta Kerja yang menyatakan bahwa 10 klaster dalam UU Cipta Kerja itu merupakan kebijakan strategis. Maka, secara otomatis sebenarnya Putusan MK ini sudah “membekukan” UU Cipta Kerja sebelum adanya perbaikan. Jelas pernyataan Pemerintah yang menyatakan UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya masih tetap berlaku adalah pernyataan “sesat serta menyesatkan”.

Konsekuensi hukum kedua dalam Putusan MK yang menyatakan tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja, jelas secara otomatis Pemerintah tidak boleh menerbitkan aturan turunan yang melandaskan pada UU Cipta Kerja. Kalau demikian, maka telah jelas sebenarnya baik Peraturan Pemerintah/Peraturan Pelaksana yang sudah terbit maupun yang akan terbit telah “dibekukan” keberlakuan sejak Putusan MK diucapkan pada 25 November 2021 lalu. Kalau Pemerintah tetap bersikukuh menjalankan UU Cipta Kerja dan Peraturan Pelaksananya maka itu merupakan “Pembangkangan Konstitusional”.

4.   Revisi UU Cipta Kerja Harus dimulai dari NOL
Putusan MK telah jelas menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil dan bertentangan dengan UUD 1945. Itu berarti bahwa pengusul maupun pembentuk undang-undang harus mengulang dari awal proses revisi UU Cipta Kerja.

Anehnya ada pula yang menafsirkan bahwa seolah-olah MK hanya membatalkan proses pembentukan undang-undangnya dan bukan pada substansi UU Cipta Kerja tersebut. Termasuk, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia justru mendorong perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Cipta Kerja.[8]

Bila tafsirnya demikian, maka dapat dianalogikan seperti sebuah rumah, bila tiang pondasi dasarnya sudah roboh, secara otomatis rumah dan seisinya akan hancur dan roboh pula. Bila formil UU Cipta Kerja sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 maka materil (substansi) UU Cipta Kerja secara otomatis porak poranda dengan sendirinya. Karena materil (substansi) lahir dari proses-proses yang tidak demokratis serta melanggar konstitusi maupun peraturan perundang-undangan lain.

Dengan landasan itu, maka KEPAL berpandangan UU Cipta Kerja harus direvisi dari NOL mulai dari penyusunan Naskah Akademik hingga melibatkan partisipasi masyarakat secara luas. Karena keberlakuan UU Cipta Kerja ini pada semua orang tanpa terkecuali.

Kalau keinginan Pemerintah dari awal membuat UU Cipta Kerja ini untuk menciptakan lapangan kerja dan menumbuhkan perekonomian nasional, maka dengan alasan apapun tidak boleh membuat suatu undang-undang maupun landasan hukum yang melanggar hak-hak rakyat juga bertentangan dengan UUD 1945.


[1] Selengkapnya dapat dibaca di link berikut: https://igj.or.id/tiada-demokrasi-tanpa-prosedur-demokratik/.
[2] Selengkapnya komentar para ahli hukum terhadap omnibus law dapat dibaca di link berikut: https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5e3325327d597/plus-minus-omnibus-law-di-mata-pakar?page=all.
[3] Selengkapnya dapat dibaca di link berikut: https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/268399/omnibus-law-jangan-ciptakan-kebingungan.
[4]  Selengkapnya dapat lihat risalah sidang Perkara 107/PUU-XVIII/2020. https://www.mkri.id/index.php?page=web.RisalahSidang&id=1&kat=1&menu=16.
[5] Siaran Pers Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL), Mengawal Demokrasi, Mengawal Konstitusi, Batalkan Omnibus Law!, dirilis di Jakarta, 10 Juni 2021.
[6] Siaran Pers Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL), UU Cipta Kerja Inkonstitusional Sejak Proses Pembentukannya, dirilis di Jakarta, 19 November 2020.
[7] Selengkapnya silahkan baca Putusan MK di link berikut: https://www.mkri.id/index.php?page=web.Putusan&id=1&kat=1&menu=5.
[8] Pernyataan Menteri Hukum dan HAM RI, Yasonna Laoly di Koran Kompas, 2 Desember 2021. Link: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/12/02/menkumham-yasonna-h-laoly-kita-harus-bergerak-simultan.


Komite Pembela Hak Konstitusional terdiri dari:         

  1.  Serikat Petani Indonesia (SPI)
  2. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS)                                                                                      
  3. Serikat Nelayan Indonesia (SNI)                                                                                   
  4. Yayasan Bina Desa                                                                                   
  5. Sawit Watch (SW)                                                                                   
  6. Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)                                                                                   
  7. Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)                                                                                   
  8. Indonesia for Global Justice (IGJ)                                                                                   
  9. Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI)                                                                                   
  10. Field Indonesia                                                                                   
  11. Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA)                                                                                   
  12. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI)                                                                                   
  13. Aliansi Organis Indonesia (AOI)                                                                                   
  14. Jaringan Masyarakat Tani Indonesia (JAMTANI)                                                                                   
  15. Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB)
ARTIKEL TERKAIT
1 KOMENTAR
  1. Umar Kasim, S.H. berkata:

    Saya setuju jika UUCK ini dibahas ulang dari “nol KM”, dan dilaksanakan sesuai mekanisme peraturan perundang-undangan (UU-P3). Walaupun bilamana mekanisme UU-P3 itu -pure- diterapkan, maka subtansi (materi muatan) klaster ketenagakerjaan yang akan menjadi paling “alot” dan berat medannya. Oleh karena itu pendekatan personal (maksudnya semacam “personal approach”) oleh instansi terkait (kemnaker + menko) harus dilakukan, dan kemungkinan -bahkan pasti- tidak bisa lagi pakai “arogansi” dan “mau menangnya sendiri” serta “sok teu”, atau “sok ngatur” padahal “buta” tidak faham dari berbagai aspek: praktek, kaidah-kaidah, asas-asas dan teori-teori hukum, _kagak ngarti_ apa yang (mau) diatur. Contohnya, ngatur-ngatur Alih Daya, padahal “Joko sembung bawa golok” – tidang nyambung dengan praktek dan kaidah hukum, ook. Namun (sebaliknya) dari pihak “serikat” atau buruh juga, jangan “somse” dan “sok kuat-kuatan pasukan” dan “sok mengancam-ancam mogok kerja dan tutup jalan tol”. Lebih baik dihadapi dengan senyum dan kepala dingin, tetapi berikan penjelasan, argumentasi dan reasoning yang reasonable (masuk di-aqli- akal) dan secara hukum sesuai dengan konsepsi civil law system.
    Mumpung dibahas ulang, mungkin bisa dilakukan “tukar-tukaran” kepentingan dan keuntungan. Misal: Kalau memang “pesangon” berkurang, bisa nego substitusinya apa, Misalnya bagi PKWT juga dikasi “pesangon” yang setara dengan skema yang berbeda. Jadi budget pengusaha tetap sama, hanya beralih (sebagian) dari PKWTT ke PKWT demi rasa keadilan yang berimbang (Sila Kelima dan Kedua). Demikian juga mungkin libatkan dalam UUCK bagi tenaga kerja LHK (seperti MITRA, bagi hasil, dan hubungan “koordinasi”). Terlebih saat ini (di UUCK) sudah ada skema UK (kompensasi) akan tetapi perlu diperkuat dengan kepastian hukum mengenai sanksi yang setara (sama-sama sanksi pidana, bukan hanya sanksi administratif).
    UUCK ini sebenarnya tidak melulu merugikan pekerja, akan tetapi pengusaha juga menjadi “terbebani” cost lain yang relatif berat. Bagi pengusaha hanya agak sedikit menguntungkan di mekanisme PHK dan penurunan nilai UMP / UMKK serta hilangnya UMSK (yang tidak rasional). Demikian juga adanya WKWI dan Upah jam-jaman (part-timer) serta toleransi upah UMK (micro and small). Tetapi pada prinsipnya, ada juga hal-hal (substansi) yang relatif baik bagi buruh, dan sebaliknya ada yang -relatif- baik bagi pengusaha.
    OK-lah, ada plus-minusnya, kok. maka berundingkan secara baik, dan dengan kepala dingin.
    Untuk materi muatan lainnya, kemungkinan ada yang alot, akan tetapi tidak berat, karena massanya relatif kecil, namun bagi substansi ketenagakerjaan, berat “berantemnya” dengan si buruh. Artinya, menang, pengusaha/pemerintah jadi arang, kalah juga tetap jadi abu. Sia-sia.
    Selamat berunding dan “berantem”
    Trm kasih

BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU