Laporan Penerapan UNDROP di Indonesia selama 2022 : Pemerintah Masih Banyak PR dalam Hal Penegakan Hak Asasi Petani

JAKARTA. Tanggal 17 Desember 2018 merupakan momen bersejarah bagi para petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan di seluruh dunia. Pada tanggal tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengesahkan sebuah Deklarasi tentang Hak Asasi Petani dan Orang-Orang yang Bekerja di Pedesaan (United Nations Declaration on the Rights of Peasants and Other People Working in Rural Areas – UNDROP). Pada tahun 2022, yang menandai empat tahun pengadopsian UNDROP oleh PBB, Serikat Petani Indonesia (SPI) terus mendorong agar UNDROP menjadi instrumen perlindungan terhadap hak-hak petani dan produsen pangan skala kecil lainnya di Indonesia. Salah satunya adalah dengan menjadikan UNDROP sebagai tools of monitoring, untuk melihat bentuk-bentuk pelanggaran terhadap hak-hak petani dan orang yang bekerja di perdesaan di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia selama tahun 2022 ini.

Ketua Departemen Kajian Strategis Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI Mujahid Widian menyampaikan, laporan ini disusun untuk mengukur bagaimana penerapan situasi hak asasi petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan.

Mujahid Widian

“Khususnya pada pasal-pasal kunci di dalam UNDROP,” katanya dari Medan, Sumatera Utara, pagi ini (29/12).

“Pasal-pasal kunci tersebut adalah: Pasal 2 tentang Kewajiban Umum Negara; Pasal 4 tentang Hak Perempuan di Perdesaan; Pasal 10 tentang Hak untuk Berpartisipasi; Pasal 12 tentang Hak untuk Mengakses Keadilan; Pasal 15 tentang Hak atas Pangan dan Kedaulatan Pangan; Pasal 16 tentang Hak atas Penghasilan dan Penghidupan yang Layak serta Cara Produksi; Pasal 17 tentang Hak atas Tanah; Pasal 19 tentang Hak atas Benih; dan Pasal 20 tentang Hak atas Keanekaragaman Hayati,” sambungnya.

Mujahid mengatakan, di “pasal 16 tentang hak atas penghasilan dan penghidupan yang layak serta cara produksi” ditandai dengan isu krisis pangan global yang ditandai dengan kenaikan harga pangan. Idealnya, situasi ini dinikmati petani, tetapi kenyataan berbicara lain. Dalam konteks sawit, Indonesia merupakan negara produsen CPO terbesar di dunia. Tetapi secara stuktur penguasaan, apakah itu lahan maupun hilirisasi, petani masih belum menjadi kekuatan utama karena kuatnya korporasi. Dalam konteks penguasaan lahan misalnya, dari 16,1 juta hektar perkebunan kelapa sawit, 54,42 persennya dikuasai oleh swasta/korporasi, dan sisanya tersebar di BUMN (pemerintah) dan petani swadaya kecil. Sementara pada industri minyak goreng, fenomena kartel semakin menguat tatkala 40 persen pangsa minyak goreng dikuasai oleh empat perusahaan besar, yang juga menguasai perkebunan kelapa sawit sekala luas.

“Kenaikan harga minyak sawit kemudian mendorong para korporasi untuk melakukan ekspor secara masif. Hal tersebut kemudian melupakan kebutuhan minyak sawit dalam negeri yang juga tinggi. Akibat dari minimnya pasokan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, terjadi kenaikan harga minyak makan sawit di dalam negeri, yang sebelumnya di kisaran Rp8.000/kg kini menjadi Rp14.000/kg,” ingatnya.

“Langkah pemerintah untuk menstabilisasi harga minyak makan sawit justru memberi dampak yang besar bagi para petani swadaya kecil di Indonesia. Diambilnya kebijakan larangan ekspor CPO pada 28 April 2022, mengakibatkan harga TBS di tingkat petani anjlok ke titik terparah hingga Rp300/kg,” keluhnya.

Mujahid melanjutkan, dalam hal perberasan situasi cukup pelik mengingat petani kerap kali menjual gabah/beras milik mereka di bawah HPP yang ditetapkan, yakni mencapai Rp3.000 – Rp3.500, ketika musim panen raya. Pemerintah sebenarnya memiliki instrumen untuk melindungi dan menjamin petani mendapatkan harga yang layak, yakni melalui Bulog untuk menyerap hasil panen milik petani. Namun hal tersebut urung dilakukan karena penyerapan beras oleh Bulog yang rendah, khususnya ketika musim panen raya lalu.

“Menipisnya stok cadangan beras pemerintah yang dikelola oleh Bulog, mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan impor beras akhir tahun ini,” tegasnya.

Mujahid melanjutkan, permasalahan pupuk juga penting sebagai salah satu komponen produksi di sektor pertanian. Hal yang menjadi sorotan adalah problem pupuk bersubsidi belum kunjung terselesaikan pada tahun 2022 ini, yaitu diskriminasi terhadap petani menerima bantuan, yang terbatas pada kelompok tani dan gabungan kelompok tani, saja; harga pupuk bersubsidi yang dijual di atas harga eceran tertinggi (HET) sesuai Permentan Nomor 45 Tahun 2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian; ketersediaan pupuk tidak sesuai dengan musim tanam; manipulasi data usulan pengajuan pupuk bersubsidi; sampai data kartu tani tidak sinkron dengan alokasi pupuk.

“Dari permasalahan di atas, hal yang menjadi fokus SPI adalah terkait diskriminasi terhadap petani penerima bantuan pupuk bersubsidi, yang terbatas pada kelompok tani dan Gabungan Kelompok Tani. Padahal, berdasarkan putusan MK Nomor 87/PUU-XI/2013 tanggal 5 November 2014, pemerintah wajib mengakomodir kelembagaan petani lainnya yang ada, termasuk organisasi petani. Putusan MK tersebut sejalan dengan pasal 16 ini, dimana tidak boleh ada diskriminasi terhadap petani, maupun kelompoknya, untuk menikmati hak-hak mereka atas fasilitas-fasilitas yang dapat menjamin kehidupan mereka lebih layak,” keluhnya.

Mujahid melanjutkan di “pasal 17 tentang hak atas tanah misalnya”, selama tahun 2022 terjadi 119 konflik agraria di Indonesia yang menghilangkan hak atas tanah petani yang berkonflik.

“Konflik agraria didominasi oleh sektor perkebunan. Ini tidak terlepas dari luasnya hak guna usaha maupun izin konsesi yang diberikan oleh negara/permerintah. Hal ini dicerminkan dari rasio gini kepemilikan tanah di Indonesia, yang selama 4 dekade terakhir berfluktuasi pada rentang nilai 0,50 – 0,72. Angka tersebut jelas menunjukkan ketimpangan yang tinggi, yaitu 1 % rakyat Indonesia menguasai 72 % tanah di Indonesia,” paparnya.

Mujahid melanjutkan, dengan disahkannya UNDROP, pemerintah dapat melakukan harmonisasi berbagai kebijakan-kebijakan di dalam negeri dengan pasal-pasal UNDROP. Ia melanjutkan, SPI merekomendasikan agar pemerintah harus melibatkan petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan dalam setiap pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan sektor agraria dan pertanian. Dalam hal ini, akses dan partisipasi sebesar-besarnya bagi elemen rakyat dalam pembuatan kebijakan harus dibuka seluas-luasnya. Pemerintah harusnya belajar dari berbagai kegagalan merumuskan kebijakan, seperti dalam konteks UU Cipta Kerja yang dinyatakan ‘Inkonstitusional Bersyarat’ karena tidak melibatkan partisipasi bermakna dari petani, dan pemangku kepentingan lainnya;

“Kebijakan jangka panjang pertanian Indonesia harus didasarkan pada prinsip kedaulatan pangan. Secara sederhana, hal ini ditandai dengan beralihnya para petani dari sistem pertanian yang bercorak revolusi hijau menjadi agroekologi. Tidak hanya memiliki keuntungan secara ekonomi, karena memutus ketergantungan petani terhadap pihak-pihak lain, agroekologi juga memuat nilai-nilai berkelanjutan yang mengakar pada adat budaya masyarakat di masing-masing wilayah,” paparnya.

Mujahid menerangkan, komitmen untuk mengharmonisasi UNDROP dalam kebijakan pertanian dan yang menyangkut petani di Indonesia sebenarnya bukan hal yang sulit.

“Pada dasarnya pemerintah Indonesia sudah memiliki peraturan perundang-undangan seperti UU Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan, UU Pangan, sampai dengan UU Perlintan. Terbaru, bahkan Komnas HAM RI juga sudah menerbitkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Hak atas Tanah dan Sumber Daya Alam. Jika saja pemerintah konsisten dalam menjalankan peraturan-peraturan tersebut, maka upaya perlindungan, pemenuhan, dan pemajuan hak-hak petani dan orang yang bekerja di perdesaan akan dapat berkembang lebih baik lagi;” terangnya.

Ia menambahkan, sebagai konsekuensi dari harmonisasi di atas, pemerintah harus membatalkan peraturan/undang-undang yang tidak berpihak petani.

“Salah satunya adalah dengan tidak mendorong UU Cipta Kerja untuk diperbaiki, mengingat undang-undang tersebut menjadi dasar legitimasi untuk mengriminalisasi dan merampas tanah-tanah milik petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan;” tutupnya.

Kontak Selanjutnya :
Mujahid Widian – Ketua Departemen Kajian Strategis DPP SPI – 0813 7523 9059

VERSI LENGKAP LAPORAN BISA DIUNDUH DI SINI.

ARTIKEL TERKAIT
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU