Mempertahankan Tanah dan Tanaman dari Perusakan, Lima Orang Petani SPI Pasaman Barat Dikriminalisasi

PASAMAN BARAT. Konflik Agraria yang tak kunjung selesai di Aia Gadang, Pasaman Barat, Sumatera Barat berujung penahanan lima orang petani anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) oleh Kepolisian Resort Pasaman Barat, 14 Juli 2022.

Berdasarkan Laporan Polisi Nomor : LP/B/128/V/2022/SPKT/Polres Pasaman Barat menahan lima orang petani dengan tuduhan tindak pidana di muka umum secara bersama-sama, melakukan kekerasan terhadap orang/penganiayaan secara bersama-sama. Dari lima orang yang ditahan terdapat empat orang laki-laki dan seorang perempuan.

Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) SPI Sumatera Barat, Rustam Effendi, penahanan ini buntut dari kejadian tanggal 28 Mei 2022 di tanah perjuangan reforma agraria SPI yang tumpang tindih dengan perkebunan kelapa sawit PT. Anam Koto Blok K Jorong Labuah Luruih Kenagarian Aia Gadang Kecamatan Pasaman, Kabupaten Pasaman Barat.

“Tanah tersebut merupakan lokasi prioritas reforma agraria yang telah ditetapkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional RI (ATR/BPN) untuk diselesaikan pada tahun 2022 ini, dan diredistribusikan kepada petani pada tahun yang sama atau paling lambat pada tahun 2023,” kata Rustam dari Padang, Sumatera Barat (15/07).

Ia menjelaskan, areal tanah dan tanaman yang sudah dikuasai dan dikelola petani ini juga sudah dikunjungi dan dipatok oleh Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Pasaman Barat tertanggal 27 Oktober 2021 seluas 711 hektar. Tim GTRA diketuai oleh Bupati Pasaman Barat dan melibatkan BPN Pasaman Barat, serta OPD yang ada di Pasaman Barat.

“GTRA berjalan atas amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat 3, dan didasarkan UU Peraturan Dasar Pokok-Pokom Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria,” katanya.

Ketua Dewan Pengurus Cabang (DPC) SPI Pasaman Barat Januardi menjelaskan, pangkal konflik agraria dengan petani SPI karena PT. Anam Koto tidak terima Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) yang ditetapkan pemerintah untuk diredistribusikan kepada masyarakat.

“Petani SPI telah bertani pisang dan tanaman pangan di lokasi yang telah ditetapkan sebagai TORA ini,” tegasnya.

Januardi melanjutkan, perusahaan kemudian melakukan tindakan perusakan tanaman dan pondok-pondok petani, yang diikuti serangkaian tindakan intimidasi

“Puncaknya pada tanggal 28 Mei 2022 sekira pukul 09.00 WIB pagi, pihak perusahaan memasuki lokasi tanah perjuangan reforma agraria SPI. Perusahaan pada awalnya melakukan penyemprotan racun terhadap rumput, namun penyemprotan rumput beralih menjadi penyemprotan terhadap tanaman petani. Kejadian ini berakibat tanaman menjadi rusak,” paparnya.

“Para petani yang tidak terima atas tindakan tersebut mendatangi pihak perusahaan yang diduga kuat tengah melakukan upaya peracunan tanaman. Petani melakukan protes dan mencoba untuk mengusir karyawan dan petugas keamanan perusahaan,” sambungnya.

“Namun PT. Anam Koto tetap bersikeras hingga terjadi kekisruhan dan bentrok. Kejadian itu berujung dilaporkannya para petani dalam dugaan melanggar ketentuan Pasal 170 ayat (1) KUHP,” sambungnya lagi.

Januardi menjelaskan, lima orang petani di antaranya Wisnawati (32 tahun) yang merupakan ibu dari dua orang anak yang masih kecil, Idamri (39 tahun) kepala keluarga dengan seorang istri dan lima orang anak, Safridin (41 tahun) kepala keluarga dengan seorang istri dan tiga orang anak, Rudi (31 tahun) kepala keluarga dengan seorang istri dan dua anak, Jasman (45 tahun) kepala keluarga dengan seorang istri dan 3 orang anak, kelimanya dipanggil sebagai tersangka. Selanjutnya mereka ditahqn pada tanggal 14 Juli 2022 sekira pukul 20.00 WIB.

“Tindakan kepolisian yang langsung menanggapi laporan PT. Anam Koto dibandingkan memproses laporan petani menunjukkan telah terjadi perlakuan yang diskriminatif. Sebelumnya petani SPI melaporkan kepada polisi dengan nomor : LP/B/90/IV/2022/SPKT/Res Pasbar/Polda Sumbar tertanggal 13 April 2022 atas dugaan pengrusakan tanaman oleh PT. Anam Koto, tidak kunjung dilakukan penindakan,” keluhnya.

Hal senada disampaikan Akmal, Ketua SPI Basis Aia Gadang. Ia menyebutkan, kejadian ini kali keempat yang dilakukan pihak perusahaan terhadap masyarakat Aia Gadang.

“Serangkaian tindakan intimidasi dan perusakan tanaman dilakukan oleh pihak perusahaan, dan beberapanya telah kami laporkan, namun sampai saat ini tidak ada kejelasan, dalam hal ini kami hanya mencoba untuk memperjuangkan hak atas tanah, kami hanya mempertahankan tanaman yang coba diracuni dan mempertahankan harga diri kami sebagai petani,” keluhnya.

“Sudah beberapa hari petani SPI ditahan, jangankan bebas atau penahanannya ditangguhkan, untuk dikunjungi saja sangat sulit. Padahal sudah ada surat dari Mabes Polri ke Polres Pasaman Barat yang menjelaskan bahwa selama lokasi konflik agraria sedang dilakukan proses penyelesaian oleh pemerintah, kepolisian harus menjaga situasi kondusif dan tidak melakukan penangkapan kepada petani dan masyarakat yang berkonflik,” ujarnya malam ini (17/07).

Dari Jakarta, Ketua Departemen POLHUKAM & Badan Aksi Tani Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI, menyayangkan tindakan yang tidak objektif dan diskriminatif terhadap laporan yang petani buat oleh Kepolisian Resor Pasaman Barat.

“Kami mendesak polisi mengedepankan restorative justice dengan menghentikan segala tindakan intimidatif, kriminalisasi dan diskriminasi hukum kepada perani”, tutupnya.

ARTIKEL TERKAIT
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU