JAKARTA. Pemerintahan dunia telah berkumpul secara rutin dalam setiap perhelatan COP (conference of parties) untuk krisis iklim, namun hingga hari ini solusi radikal tidak kunjung muncul. Kemungkinan besar hal yang sama juga terjadi pada COP ke 27 yang saat ini diselenggarakan di Mesir. Atas dasar ini, Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) menggelar webinar yang bertajuk “Nasib Petani dan Nelayan di tengah Krisis Iklim dan Akal-akalan COP27”. Webinar ini sendiri dilaksanakan Jum’at. 18 Nopember 2022.
Zainal Arifin Fuad, Ketua Departemen Luar Negeri DPP SPI menyampaikan, krisis Iklim adalah satu penyebab utama kelaparan. Akibat krisis iklim, terjadi bencana dimana-mana, seperti banjir, kebakaran, gelombang panas dan kekeringan.
“Pertanian berbasiskan industri yang dipromosikan oleh korporasi besar berkontribusi terhadap krisis iklim, pemanasan global. Untuk itu kita di La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) menawarkan kedaulatan pangan sebagai solusi untuk mendinginkan bumi ini,” kata Zainal yang jadi salah satu pembicara ini webinar ini.
Dwi Putra, Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) SPI Kalimantan Selatan yang juga menjadi narasumber webinar ini menambahkan, dampak krisis iklim sudah terasa di Kalimantan yang baru-baru ini mengalami banjir bandang.
“Belum lagi adanya ekpansi industri ektraktif pertambangan dan perkebunan kelapa sawit yang banyak mengkonversi lahan-lahan pertanian pangan,” katanya.
Sugeng Utomo, Wakil Ketua Umum, DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) — salah seorang pembicara webinar — menerangkan, di dunia perikanan, krisis iklim menimbulkan peninggian laut yang berpotensi mengurangi hasil tangkap nelayan.
“Angin dan gelombang laut makin sulit untuk diprediksi. Semakin hari hasil tangkap tidak sebanding dengan biaya melaut. Di Tahun 2021 ada 125 perahu hancur, 60 nelayan meninggal, ratusan rumah nelayan hancur karena banjir rob,” keluhnya.
Sugeng berharap pemerintah dapat membangun sistem ekonomi yang seimbang dan juga mendorong pemulihan ekosistem laut yang merupakan sumber pangan.
“Pemerintah harus cepat memitigasi perubahan iklim yang dampaknya sangat merugikan bagi nelayan. COP27 tidak menempatkan aspek keadilan, khususnya bagi petani dan nelayan. Negosiasi hanya menguntungkan negara-negara maju dan korporasi transnasional,” tutupnya.