NTP Agustus Naik, Petani Hortikultura Justru Merana

JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai tukar petani (NTP) pada Agustus 2022 sebesar 106,31 atau naik 1,97 persen dibanding NTP bulan sebelumnya. Kenaikan NTP dikarenakan indeks harga yang diterima petani (lt) mengalami kenaikan sebesar 1,28 persen sedangkan indeks harga yang dibayar petani (lb) mengalami penurunan sebesar 0,68 persen.

Kenaikan NTP juga disebabkan oleh deflasi. Menurut laporan BPS, pada Agustus 2022 terjadi deflasi sebesar 0,21 persen dan deflasi terjadi karena adanya penurunan harga yang ditunjukkan oleh turunnya beberapa indeks kelompok pengeluaran, yaitu: kelompok makanan, minuman dan tembakau sebesar 1,80 persen. Beberapa komoditas yang mengalami penurunan harga pada Agustus 2022, antara lain: bawang merah, cabai merah, cabai rawit, minyak goreng, daging ayam ras, tomat, ikan segar, jeruk, bawang putih, kacang panjang, ketimun, buncis, tarif angkutan udara, dan emas perhiasan. Sementara komoditas yang mengalami kenaikan harga, di antaraya : telur ayam ras, beras.

Tercatat empat subsektor NTP mengalami kenaikan, yakni tanaman pangan (2,74 persen); tanaman perkebunan rakyat (5,86 persen); peternakan (0,07 persen) dan subsektor perikanan (0,39 persen). Sementara itu, subsektor hortikultura mengalami penurunan sebesar 7,38 persen.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) Mujahid Widian, menyebutkan kenaikan NTP nasional tersebut merupakan dampak dari membaiknya subsektor perkebunan. Subsektor perkebunan rakyat sendiri selama Mei 2022 hingga Juli 2022 mencatatkan penurunan yang cukup besar. Baru pada Agustus 2022, nilai NTP subsektor perkebunan rakyat kembali menunjukkan peningkatan.

“Jika kita lihat, NTP perkebunan rakyat berpengaruh besar pada perkembangan NTP nasional. Pada bulan Agustus 2022 ini, laporan dari anggota SPI di berbagai wilayah menyebutkan terjadi peningkatan harga komoditas perkebunan, khususnya tanaman sawit. Walau yang menjadi catatan kami adalah masalah pupuk belum teratasi, karena juga mengalami peningkatan harga yang cukup signifikan. Hal ini juga bisa dilihat dari kenaikan indeks biaya produksi dan penambahan barang modal sebesar 0,32 %. Meskipun nilai pembelian kebutuhan konsumsi rumah tangga menurun sebesar 1.02 %,” ujarnya dari Medan, Sumatera Utara (08/09).

“Semisal di Kuantan Singingi, Riau, harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani meningkat di kisaran Rp1.700 – Rp1.970/kg; di Asahan, Sumatera Utara, harga TBS di kisaran Rp1.870 – Rp1.970/kg; dan di Tebo, Jambi, harga TBS juga berkisar di Rp1.800/kg, artinya ini bertahap naik. Walau yang menjadi catatan kami adalah masalah pupuk belum teratasi, karena juga mengalami peningkatan harga yang cukup signifikan.”
 
Untuk subsektor tanaman pangan, meski terjadi kenaikan pada bulan Agustus 2022, namun besaran NTP ini masih berada di bawah standar impas (100). Kondisi tersebut tentu perlu mendapat perhatian dari pemerintah, mengingat kondisi ini sudah berlangsung selama 6 bulan terakhir atau sejak Maret 2022.

“Meskipun mencatatkan kenaikan 2,74 persen, namun NTP Subsektor Tanaman Pangan masih berada di bawah standar impas, yakni 97,90. Laporan dari anggota SPI menyebutkan faktor musim panen yang sudah lewat dan cuaca, mengakibatkan harga naik. Di beberapa wilayah, salah satunya Pati, banyak petani yang mengalami gagal panen akibat banjir dan perubahan cuaca.”

Disamping itu, Petani juga merasakan kenaikan indeks biaya produksi dan penambahan barang modal sebesar 0,23%, meskipun nilai pembelian kebutuhan konsumsi rumah tangga menurun sebesar 1.13%.

Kondisi tersebut tentu perlu mendapat perhatian dari pemerintah, mengingat NTP yang dibawah standar tersebut sudah berlangsung selama 6 bulan terakhir atau sejak Maret 2022. Sementara pada sisi lain, IRRI justru memberi penghargaan ke Pemerintah Indonesia karena capai swasembada pangan. Tentu hal yang tidak ideal, bila swasembada pangan tercapai, tetapi kesejahteraan petani padi tidak tercapai.

Subsektor hortikultura merupakan satu-satunya subsektor yang mengalami penurunan NTP pada bulan Agustus ini. Penurunan tersebut cukup besar, yakni 7,38 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Hal ini dipengaruhi oleh turunnya harga komoditas seperti cabai dan bawang merah.

“Laporan dari anggota SPI di beberapa wilayah, untuk cabai merah memang mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya. Di Kepahiang, Bengkulu, harganya turun di awal bulan di kisaran Rp45.000/kg namun kembali mengalami kenaikan pada minggu terakhir bulan Agustus menjadi Rp50.000 – Rp67.000/Kg. Situasi hampir serupa juga di wilayah Kediri, di pertengahan bulan untuk jenis cabai merah keriting turun ke Rp40.000/kg, lalu kembali naik lagi di minggu pertama September ini ke Rp63.000/kg.”
 
Naiknya Harga BBM dan Dampaknya di Sektor Pertanian

Di tengah momentum naiknya NTP nasional, pemerintah juga harus mengantisipasi potensi kenaikan harga pangan bakal terjadi dalam waktu mendatang. Hal ini berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi, sehingga tentunya berdampak pada sektor pertanian secara keseluruhan.

Mujahid Widian (kedua dari kiri)

“Kenaikan BBM jelas berpengaruh terhadap sektor pertanian. Kita bisa lihat mulai dari komponen biaya produksi dan distribusi yang dikeluarkan oleh petani, diantarnya adalah biaya pembelian benih, pupuk, obat-obatan, bahan bakan utk pompa air dan juga biaya transportasi pengangkutan hasil panen ke pasar. Sebelum BBM naik saja, beberapa harga input produksi tersebut sudahh dahulu naik, rasanya mustahil untuk tidak terdampak pasca naiknya BBM.”

“Belum lagi dengan biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk konsumsi rumah tangga. Meskipun terjadi deflasi pada Agustus 2022, hal ini akan memicu kenaikan harga kebutuhan pokok dan tentunya menambah beban keluarga petani ke depannya”.

Mujahid menyebutkan, pemerintah harus mengambil langkah-langkah perbaikan secara komprehensif untuk mengantisipasi dampak dari kenaikan harga BBM tersebut. Menurutnya, strategi pemberian bantuan langsung kepada masyarakat yang terdampak tidak cukup kuat untuk menghadapi gejolak yang ditimbulkan akibat kenaikan harga BBM, dan harga-harga lainnya.

“SPI menilai sektor pertanian harus terus diperkuat. Di samping pemberian subsidi bagi masyarakat tidak mampu, subsidi bagi sektor pertanian juga diperlukan. Kita harus belajar dari masa pandemi kemarin, ketika sektor pertanian mampu tumbuh positif di tengah ancaman krisis. Oleh karenanya, penting untuk mendorong subsidi langsung khusus kepada petani, hal ini bisa berupa subsidi input produksi, maupun jaminan harga di tingkat petani yang layak.”

“Selain kebijakan jangka pendek, untuk jangka panjang SPI lagi-lagi mendorong pemerintah untuk membenahi sektor pertanian secara komprehensif. Upaya untuk menjalankan prinsip-prinsip kedaulatan pangan di Indonesia tidak boleh setengah-setengah, seperti menjalankan reforma agraria, sehingga hak-hak petani atas tanah (sebagai faktor produksi utama) dapat terpenuhi.”

Ia menambahkan, pemerintah juga harus mendorong lahirnya kelembagaan ekonomi petani yang mandiri, mengingat industri pangan Indonesia saat ini masih dikuasai oleh korporasi, sehingga upaya menjamin ketersediaan pangan sebagai hajat hidup rakyat banyak dikesampingkan.

“Keberpihakan pemerintah terhadap nasib petani dan masyarakat kecil harus dibuktikan. SPI mengapresiasi upaya pemerintah untuk mendorong gerakan koperasi sebagai kelembagaan ekonomi petani dan masyarakat perdesaan, yang orientasinya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hal ini sudah diinisiasi dari komoditas sawit, dan harapannya terus berlanjut untuk komoditas-komoditas lainnya yang menyangkut hajat hidup rakyat Indonesia,” tutupnya.

Kontak Selanjutnya:
Mujahid Widian – Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI – 0813-7523-9059

ARTIKEL TERKAIT
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU