JAKARTA. Rilis nilai tukar petani (NTP) Desember 2022 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai tukar petani (NTP) nasional di Bulan Desember 2022 sebesar 109,0 atau mengalami kenaikan 1,11 persen dibanding bulan sebelumnya. Kenaikan NTP nasional dipengaruhi oleh indek harga yang diterima (lt) petani mengalami kenaikan sebesar 1,83 persen, lebih tinggi dari kenaikan indeks harga yang dibayar (lb) petani sebesar 0,72 persen.
Dalam berita resmi statistik yang dipublikasikan BPS, tercatat seluruh subsektor NTP mencatatkan kenaikan pada Bulan Desember 2022 ini. Kenaikan tertinggi dicatatkan oleh NTP subsektor hortikultura yakni sebesar 4,58 persen; lalu NTP tanaman pangan sebesar 1,27 persen; NTP peternakan sebesar 0,51 persen; NTP perikanan sebesar 0,19 persen; dan NTP perkebunan rakyat sebesar 0,10 persen.
Menyikapi hal tersebut, Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional – Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI), Mujahid Widian, menyebut kenaikan NTP Desember 2022 dipengaruhi faktor cuaca buruk yang hingga faktor libur natal dan tahun baru. Hal ini mempengaruhi produksi dan mengakibatkan kenaikan harga beberapa komoditas hasil pertanian.
“Laporan dari anggota SPI di berbagai wilayah menyebut faktor cuaca buruk yang terjadi pada November hingga Desember 2022 mempengaruhi produksi pertanian. Misalnya untuk subsektor hortikultura, kenaikan NTP subsektor ini salah satunya dipengaruhi harga komoditas cabai yang tinggi, di pertengahan hingga akhir bulan Desember 2022” ujarnya dari Medan, Sumatera Utara, pagi ini (06/01).
“Untuk di kawasan Pantura, di Pati tepatnya, harga cabai merah bahkan sempat menyentuh Rp80.000/kg karena tidak ada produksi akibat banjir. Situasi serupa juga dialami di Kediri, harga cabai rawit pada akhir Bulan Desember 2022 naik hampir dua kali lipat menjadi Rp50.000/kg. Sementara dari segi permintaan tinggi, karena meskipun tidak libur panjang tetapi konsumsi masyarakat mengalami peningkatan” lanjutnya.
Untuk NTP subsektor tanaman pangan, kenaikan harga gabah masih menjadi faktor penyebab kenaikan subsektor ini.
“Dari pantauan di beberapa wilayah, harga gabah dan beras memang mengalami kenaikan, tetapi naiknya sudah melandai tidak sedrastis di bulan sebelumnya. Kemungkinan besar harga baru akan berangsur turun menjelang Februari nanti karena wilayah sentra produsen sudah ada yang sudah panen di pertengahan Januari.”
“Dari berapa wilayah anggota SPI, tercatat harga gabah maupun beras cukup tinggi. Di Tuban, saat ini harga GKP di kisaran Rp6.100/kg dan untuk beras kualitas medium di Rp11.000/kg. Begitu juga di Bantul, harga beras berada di kisaran Rp10.000/kg untuk kualitas premium,” sambungnya.
Lalu untuk tanaman perkebunan, kenaikan NTP subsektor masih dipengaruhi oleh naiknya harga komoditas sawit dan perkebunan karet.
“Situasi saat ini harga tandan buah segar (TBS) relatif mengalami kenaikan di tingkat petani. Di Asahan, Sumatera Utara, harga TBS di kisaran Rp1.900/kg. Begitu juga di Tebo, Jambi, harga TBS saat ini di kisaran Rp2.000 – Rp2.200/kg. Kenaikannya relatif tipis di tingkat petani saat ini,” terangnya.
Tantangan Sektor Pertanian di Tahun 2023
Mujahid menyebutkan, berkaca dari berbagai peristiwa yang terjadi selama tahun 2022, terlihat bahwa pemerintah masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk mengatasi masalah-masalah di sektor pertanian.
“Dalam catatan SPI, belum ada perubahan berarti dari kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia selama tahun 2022. Pemerintah sejauh ini masih mengandalkan model ketahanan pangan sebagai dasar kebijakan pembangunan pertanian. Akibat yang paling dirasakan adalah masih belum terjaminnya kesejahteraan petani di Indonesia, mulai dari jaminan harga yang layak, baik itu untuk petani maupun masyarakat sebagai konsumen,” paparnya.
Ia menyebutkan, beberapa peristiwa di sektor pertanian selama tahun 2022, yang menjadi contoh dari kegagalan model ketahanan pangan di sektor pertanian Indonesia.
“Di awal tahun, kita dihadapkan pada permasalahan kelangkaan minyak goreng sawit. Hal ini bisa terjadi karena meski kita produsen minyak sawit terbesar di dunia, tetapi semuanya ditujukan ke ekspor. Diabaikannya kebutuhan dalam negeri, mengakibatkan harga minyak goreng sawit langka dan harganya melambung tinggi,” keluhnya.
“Solusi dari pemerintah juga kurang tepat, dengan mengeluarkan kebijakan larangan ekspor yang notabene merugikan petani sawit swadaya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari konsep ketahanan pangan, yang melihat pangan semata-mata sebagai komoditas” tambahnya.
Terkini adalah terkait gejolak harga beras yang terjadi menjelang akhir tahun 2022. Menipisnya cadangan beras pemerintah mengakibatkan pemerintah memilih kebijakan untuk mengimpor beras sebanyak 500.000 ton untuk antisipasi, mengingat stok cadangan beras pemerintah jauh dari angka yang ditargetkan.
“TerlepS dari perdebatan data produksi beras yang dinilai tidak tepat, tetapi pemerintah memang lalai karena tidak mampu menyerap gabah dari petani ketika musim panen raya di tahun 2022 lalu. Hal ini tentu berakibat fatal karena pada akhirnya pemerintah kelimpungan untuk menyerap gabah maupun beras dari petani ketika lewat panen raya”.
“Hal ini bertambah kompleks tatkala sektor perberasan semakin bersaing ketat karena banyak korporasi swasta yang menyerap beras dengan harga yang jauh lebih tinggi. Hal inilah yang juga memicu kenaikan harga beras di masyarakat”.
Kembali ke Kedaulatan Pangan
Upaya untuk mengatasi hal tersebut, menurut Mujahid, tak lain adalah dengan kembali menerapkan prinsip-prinsip kedaulatan pangan sebagai dasar kebijakan pembangunan pertanian Indonesia.
“SPI dalam hal ini meminta kepada pemerintah untuk mengembalikan kebijakan pertanian Indonesia sesuai prinsip-prinsip kedaulatan pangan. Hal ini harus dimaknai dengan menjadikan petani dan produsen pangan skala kecil lainnya seperti peternak, nelayan, dan kelompok masyarakat adat, sebagai aktor utama dalam menghasilkan pangan di Indonesia.”
“Oleh karenanya, pemerintah harus menjamin hak-hak para petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan tersebut. Hak atas tanah, sebagai faktor produksi utama, hal ini harus dijamin melalui program reforma agraria sejati yaitu meredistribusi tanah pada petani gurem dan petani/buruh tani tak bertanah yang jumlahnya sangat besar di Indonesia. Begitu juga dengan hak-hak lainnya seperti hak atas air untuk pertanian, benih, hingga model produksi pertanian. Pemerintah harus menjamin hal tersebut dapat diakses oleh para petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan tanpa adanya diskriminas,” tutupnya.
Kontak Selanjutnya :
Mujahid Widian – Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional, Dewan Pengurus Pusat, Serikat Petani Indonesia (SPI) – 0813-7523-9059
Siaran pers ini dirilis di: