JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Nilai Tukar Petani (NTP) Nasional bulan Februari 2023 sebesar 110,53 atau naik 0,63 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Kenaikan NTP Nasional tersebut disebabkan oleh Indeks Harga yang Diterima Petani (lt) naik sebesar 0,89 persen. Hal tersebut lebih tinggi dari Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) yang juga mengalami kenaikan sebesar 0,26 persen.
Kenaikan NTP Nasional pada Februari 2023 juga dipengaruhi oleh naiknya 2 subsektor NTP, yaitu NTP Tanaman Pangan (1,23 persen); dan NTP Perkebunan Rakyat (0,89 persen). Sementara itu, 3 subsektor NTP lainnya mengalami penurunan yaitu NTP Hortikultura (1,01 persen); NTP Peternakan (0,59 persen); dan NTP Perikanan (0,14 persen).
Menanggapi hal tersebut, Departemen Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia, Mujahid Widian, menyebut kenaikan harga gabah dan beras di subsektor tanaman pangan menjadi salah satu faktor yang menopang kenaikan NTP Nasional. Pada Bulan Februari 2023 ini, NTP Tanaman Pangan mencatatkan kenaikan lt sebesar 1,51 persen, lebih tinggi dari kenaikan lb sebesar 0,28 persen.
“NTP Tanaman Pangan kembali naik pada bulan Februari ini dan dilihat perkembangannya cukup positif. Terakhir kali NTP Tanaman Pangan berada di bawah standar impas itu terjadi bulan Oktober 2022.” ujarnya.
“Mengacu dari data yang dilaporkan oleh anggota SPI, harga gabah (GKP) di tingkat petani saat ini sedang bagus yakni di kisaran Rp5.600 bahkan ada yang mencapai Rp6.000/kg. Di Aceh Tamiang misalnya, harga gabah berada di kisaran Rp5.800 hingga Rp5.600/kg. Begitu juga di Tuban, harga sempat tertahan di kisaran Rp5.200 – Rp5.600/kg. Dengan harga tersebut, petani mendapatkan keuntungan yang cukup dan tidak merugi” tambahnya.
Kondisi berbeda ditunjukkan oleh NTP Hortikultura yang mengalami penurunan pada bulan Februari 2023. BPS mencatatkan, subsektor ini mengalami penurunan akibat lt mengalami penurunan sebesar 0,66 persen, sedangkan lb mengalami peningkatan sebesar 0,35 persen. Penurunan NTP Hortikultura tersebut paling besar dipengaruhi oleh kelompok sayur-sayuran khususnya cabai rawit dan tomat.
“Laporan dari anggota SPI di berbagai wilayah menyebutkan untuk tanaman hortikultura, penurunan yang paling besar terjadi untuk sayur-sayuran seperti bayam, kangkung dan sejenisnya. Pusdiklat SPI di Bogor misalnya, mencatatkan harga untuk sayur-sayuran tersebut turun hingga kisaran Rp500 – Rp1.000/ikat. Turunnya harga untuk sayur-sayur tersebut acapkali terjadi, namun sepertinya tidak dianggap tidak berpengaru pada keseluruhan NTP Hortikultura, karena yang dijadikan indikator adalah komoditas cabai.”
“Sementara untuk harga cabai relatif stabil di kisaran Rp35.000/kg untuk jenis cabai keriting merah; dan Rp38.000/kg untuk cabai rawit”. Tambahnya.
Antisipasi Penurunan Harga Gabah di Tingkat Petani
Meskipun mencatatkan kenaikan dan tren positif, Mujahid menilai NTP subsektor Tanaman Pangan masih rentan terhadap faktor-faktor eksternal. Hal ini disebabkan beberapa faktor, seperti masa panen raya yang akan berlangsung dari Maret hingga April mendatang di beberapa wilayah penghasil pangan, sampai dengan kebijakan pemerintah yang belum efektif dalam melindungi harga di tingkat petani.
“Momen panen raya biasanya akan mengakibatkan harga di tingkat petani turun, dan ini jelas mempengaruhi pendapatan petani. Kondisi ini yang harus diantisipasi oleh pemerintah dengan memaksimalkan penyerapan untuk kebutuhan cadangan beras nasional ataupun keperluan stabilisasi pangan lainnya.”
Mujahid juga menggarisbawahi pentingnya pemerintah untuk segera memperbaiki kebijakan harga pembelian gabah dan beras di tingkat petani. Hal ini dikarenakan harga yang saat ini ditetapkan sudah tidak relevan dan tidak memberikan kesejahteraan bagi petani.
“Harga pembelian gabah di tingkat petani masih mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 24/2020, dimana Rp4.200/kg untuk Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani; dan Rp5.250 untuk Gabah Kering Giling (GKG) di penggilingan. Sementara biaya yang dikeluarkan oleh petani jauh dari kisaran angka tersebut. Jika angka ini dipertahankan, praktis petani tidak akan mendapat keuntungan” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah harus menetapkan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) yang berpihak ke pada petani. Berdasarkan perhitungan biaya pertanian padi di tataran anggota SPI, besaran HPP yang ideal dan memberikan keuntungan bagi petani adalah Rp5.600 untuk GKP. Hal tersebut sudah memperhitungkan kenaikan biaya produksi seperti biaya sewa lahan, biaya upah, hingga biaya transportasi maupun alat yang terdampak akibat dari kenaikan BBM di bulan September lalu.
“Pemerintah tidak boleh salah ambil kebijakan lagi dalam menangani persoalan pangan ini. Sudah cukup banyak kekeliruan dari pemerintah yang mengakibatkan kerugian bagi petani. Misalnya yang baru-baru ini terjadi adalah dikeluarkannya Surat Edaran dari Badan Pangan Nasional, bersama dengan beberapa korporasi di bidang pangan, yang menetapkan harga batas atas pembelian gabah. Kebijakan ini keliru, karena selain berdampak pada turunnya harga gabah di tingkat petani juga menunjukkan keberpihakan pemerintah yang condong terhadap korporasi, bukan pada petani kecil”.
Kontak selanjutnya:
Mujahid Widian – Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional DPP SPI – 0813 7523 9059