JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data terkait Nilai Tukar Petani (NTP) Juli 2022 sebesar 104,25 atau turun 1,61 persen dibanding NTP bulan sebelumnya. Penurunan NTP tersebut dikarenakan Indeks Harga yang Diterima Petani (lt) turun sebesar 1,04 persen sedangkan Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) mengalami kenaikan sebesar 0,58 persen.
Kenaikan NTP Juli 2022 juga dipengaruhi oleh turunnya dua subsektor NTP, yakni tanaman pangan (0,62 persen); dan tanaman perkebunan rakyat (6,63 persen). Sementara 3 subsektor lainnya mengalami kenaikan, yakni hortikultura (4,91 persen); peternakan (0,34 persen) dan perikanan (0,18 persen).
Menanggapi hal tersebut, Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI), Mujahid Widian, menyebutkan penurunan NTP nasional tersebut dipengaruhi turunnya NTP sektor perkebunan yang selama ini menjadi penopang utama NTP nasional.
“Kendati sempat naik di bulan Juni, tapi secara keseluruhan kita lihat tren NTP perkebunan terus turun. Pada Juli lalu, indeks harga yang diterima oleh petani mengalami penurunan sebesar 6,06 persen, sementara indeks harga yang dibayar petani justru naik sebesar 0,61 persen, yang terbagi ke kebutuhan konsumsi (0,69 persen) dan biaya penambahan barang dan modal (0,36 persen),” katanya dari Medan, siang ini (04/08)
“Hal ini selaras dengan laporan anggota SPI di beberapa wilayah yang menyebutkan harga tandan buah segar (TBS) masih rendah. Kita bisa lihat di Riau, yang merupakan sentra dari tanaman perkebunan khususnya sawit. Mengacu pada laporan BPS, Riau menjadi provinsi dengan tingkat penurunan NTP terbesar. Laporan anggota SPI di Kabupaten Kuantan Singigi dan Kampar, harga TBS bervariasi di rentang Rp1.025 sampai Rp1.475/kg. Begitu juga di Sumatera Utara, tepatnya di Kabupaten Asahan, harga TBS di tingkat petani masih di kisaran Rp1.100 – Rp1.500/kg,” paparnya.
Untuk subsektor NTP tanaman pangan, penurunan yang terjadi disebabkan kenaikan indeks harga yang diterima oleh petani sebesar 0,01 persen lebih rendah dari kenaikan indeks harga yang dibayar oleh petani sebesar 0,63 persen, yang terbagi ke konsumsi rumah tangga (0,76 persen) dan biaya penambahan barang dan modal (0,30 persen).
“Laporan dari anggota SPI terkait harga gabah relatif stabil dibandingkan dengan bulan sebelumnya, misalnya di Deli Serdang dan di Kepahiang, Bengkulu. Di wilayah seperti Tuban, misalnya harga gabah cenderung mengalami kenaikan di kisaran Rp5.000/kg. Hal ini disebabkan menipisnya stok karena musim panen raya yang segera berakhir,” katanya.
“Sementara untuk tanaman lainnya seperti jagung, sesuai dengan data dari BPS terjadi penurunan harga. Hal ini dilaporkan anggota SPI di beberapa wilayah, seperti di Pasaman Barat dan Tuban,” sambungnya.
Pada subsektor Hortikultura, kenaikan NTP dipengaruhi naiknya indeks harga yang diterima oleh petani sebesar 5,48 persen, yang lebih besar dari kenaikan indesk harga yang dibayar petani sebesar 0,55 persen, yang terbagi ke indeks konsumsi rumah tangga (0,56 persen) dan biaya penambahan barang dan modal (0,48 persen). Kenaikan indeks harga yang diterima petani disumbang oleh komoditas cabai merah dan bawang merah. Sementara untuk jenis sayur-sayuran daun, harganya relatif stabil cenderung turun dibandingkan bulan sebelumnya.
“Laporan anggota SPI di beberapa wilayah menyebutkan harga cabai merah memang masih cukup tinggi. Di Kediri misalnya, harga cabai merah berada di kisaran Rp54.000 – Rp60.000/kg, setelah sebelumnya sempat turun ke Rp42.000/kg,” sebutnya.
“Sementara untuk jenis sayur-sayuran daun, di Bogor harganya cukup fluktuatif juga, yakni sempat turun di pertengahan juli, namun berangsur naik lagi di akhir bulan ini. Misalnya untuk kangkung, saat ini dihargai Rp20.000 per gabung; dan bayam Rp25.000 per gabung,” sambungnya.
NTP subsektor peternakan juga mencatatkan kenaikan di bulan sebelumnya. Indeks harga yang diterima oleh petani mengalami kenaikan sebesar 0,72 persen, lebih tinggi dari peningkatan indeks harga yang dibayar petani sebesar 0,38 persen. Kenaikan indeks harga yang dibayar petani sendiri dipengaruhi naiknya indeks konsumsi rumah tangga (0,71 persen) dan biaya penambahan barang dan modal (0,10 persen).
“Hal ini dipengaruhi faktor Idul Adha dan meredanya wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) di Indonesia selama bulan Juli lalu. Untuk penanganan PMK melalui vaksin sudah berjalan. Tetapi melandainya kasus PMK ini bisa dikatakan akibat keberhasilan dari para peternak mandiri (swadaya) yang sigap dalam merespons wabah. Di beberapa wilayah anggota SPI, keberhasilan mengatasi wabah PMK bersumber dari suplemen yang diracik sendiri, bersumber dari pengetahuan tradisional dan turun-temurun” ujarnya.
Antisipasi Kenaikan Harga Pangan Global Ke Depannya
Mujahid melanjutkan, tren penurunan NTP nasional harus diantisipasi agar tidak terus bergulir. Menurutnya, pemerintah harus memperhatikan kenaikan biaya yang dikeluarkan oleh petani sebagai indikator kebijakan ke depannya.
“Indikator yang dilihat yakni kenaikan biaya konsumsi rumah tangga petani dan biaya produksi yang dikeluarkan petani. Untuk biaya konsumsi rumah tangga, laporan BPS juga mencatat kenaikan inflasi Juli 2022 disumbang oleh kelompok makanan dan minuman. Presiden Joko Widodo baru-baru ini bahkan menyinggung perihal ancaman krisis multidimensi, dimana krisis pangan menjadi salah satunya. Hal ini tentunya perlu diantisipasi dengan cermat”.
“Sementara untuk kenaikan biaya produksi, laporan anggota SPI di berbagai wilayah menyebut pupuk menjadi faktor utama. Petani dihadapkan pada posisi kesulitan akses untuk pupuk subsidi, sementara harga pupuk non-subsidi kini melonjak,” tambahnya.
Di tingkat internasional, kondisi serupa sudah dialami oleh negara-negara lain di dunia. Organisasi Pangan PBB, FAO, bahkan pada Maret 2022 lalu mencatat bahwa indeks harga pangan dunia mencapai level tertingginya.
“Tidak terjangkaunya pangan pada akhirnya berujung pada peningkatan kelaparan. Di tingkat global, laporan SOFI (The State of Food Security and Nutrition in the World) 2022 menyebutkan angka kelaparan penduduk dunia mencpaai 828 juta orang pada tahun 2021, dan berpotensi bertambah 13 juta pada tahun 2022, dan bertambah lagi 19 juta pada tahun 2023.”
Kembali ke Kedaulatan Pangan
Terkait hal tersebut, ia menyebutkan pemerintah harus kembali ke prinsip-prinsip kedaulatan pangan sebagai dasar kebijakan pangan negara.
“Pemerintah belakangan ini sudah memonitor terus situasi pangan yang tidak stabil ini. Tetapi bagi SPI, ini tidak cukup apalagi jika masih berdasarkan pendekatan ketahanan pangan. Ketahanan pangan sudah terbukti gagal mengatasi krisis pangan global di tahun 2008, mengapa justru kita lanjutkan lagi untuk mengantisipasi ancaman krisis pangan ke depan? ”tegasnya.
“Pemerintah harus kembali ke Kedaulatan Pangan. Hajat hidup rakyat banyak terhadap pangan harus menjadi prioritas utama. Pemerintah dalam hal ini harus menjamin dan memastikan faktor-faktor produksi utama seperti akses atas tanah, air, kebebasan untuk memuliakan benih lokal, sampai paa akses terhadap pasar dan bantuan keuangan dinikmati secara utuh oleh petani dan produsen pangan,” tutupnya.
Kontak Selanjutnya :
Mujahid Widian Saragih – Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional DPP SPI – 0813 7523 9059