JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data terkait Nilai Tukar Petani (NTP) Juni 2022 sebesar 105,96 atau naik 0,52 persen dibanding NTP bulan sebelumnya. Kenaikan NTP tersebut dikarenakan Indeks Harga yang Diterima Petani (lt) naik sebesar 1,47 persen lebih tinggi dibandingkan kenaikan Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) sebesar 0,94 persen. Kenaikan NTP Juni 2022 juga dipengaruhi oleh naiknya dua subsektor NTP, yakni Hortikultura (13,44 persen) dan Peternakan (0,55 persen). Sementara itu, tiga subsektor NTP mengalami penurunan, yaitu Tanaman Pangan (1,20 persen); Tanaman Perkebunan Rakyat (1,16 persen); dan Perikanan (0,39 persen).
Menanggapi tersebut, Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI), Mujahid Widian, menyebutkan kendati NTP mengalami kenaikan, pemerintah harus mewaspadai biaya produksi pertanian yang naik cukup signifikan dalam beberapa bulan terakhir yang akan berpengaruh di bulan-bulan berikutnya.
“Dari data yang dipublikasikan BPS, kita lihat lb atau harga yang harus dikeluarkan petani terus mengalami peningkatan. Sementara lt ataupun harga yang diterima petani, kendati secara keseluruhan meningkat tetapi jika kita lihat di masing-masing subsektor cukup mengkhawatirkan,” katanya dari Medan, Sumatera Utara sore ini (05/07)..
“Subsektor tanaman pangan misalnya, sejak Maret 2022 Nilai NTP nya berada di bawah 100 atau standar impas. Berdasarkan laporan dari anggota SPI di berbagai wilayah, penurunan ini disebabkan turunnya harga komoditas jagung, sementara untuk gabah relatif stabil. Kondisi tersebut dihadapkan pada naiknya biaya yang harus dikeluarkan petani, baik untuk konsumsi maupun biaya produksi” lanjutnya.
“Dalam hal ini indeks kebutuhan rumah tangga (1,21) lebih tinggi dari indeks biaya produksi dan penambahan modal (0,27). Dari laporan BPS utk inflasi, kenaikan ini mungkin disebabkan oleh tingginya harga minyak goreng untuk komponen makanan penyumbang inflasi,” sambungnya.
Mujahid melanjutkan, pada subsektor hortikultura kenaikan NTP dipengaruhi akibat minimnya pasokan, seperti yang terjadi di tanaman cabai. Tingginya permintaan kemudian mengakibatkan harga cabai melonjak tinggi selama bulan Juni 2022 ini. Berkebalikan dengan NTP tanaman pangan, kenaikan NTP tertahan oleh tingginya biaya produksi dan penambahan modal (1,13) dibanding dengan kenaikan indeks konsumsi ( 0,90). Ini bisa dilihat dari tingginya biaya pembelian pupuk.
“Laporan anggota SPI menyebutkan faktor cuaca ekstrem, mengakibatkan produksi cabai tidak maksimal sehingga harganya melonjak. Di Kepahiang, Bengkulu misalnya, curah hujan yang tinggi mengakibatkan panen tidak maksimal. Alhasil harga di tingkat petani melonjak di kisaran Rp65.000 – Rp72.000/kg. Begitu juga di wilayah-wilayah lain, seperti di Deliserdang, Bogor, dan Sukabumi,” paparnya.
“Untuk jenis sayur-sayuran daun juga mengalami kenaikan. Di Bogor misalnya, karena petani banyak yang tidak menanam ketika libur lebaran lalu, terjadi penurunan produksi saat ini. Faktor harga yang jarang kali stabil juga berdampak, banyak petani yang enggan menanam,” tambahnya.
Mujahid menjelaskan, pada subsektor perkebunan rakyat, rendahnya harga di tingkat petani masih menjadi momok utama khususnya komoditas sawit. Kendati pemerintah sudah mencabut larangan kebijakan ekspor CPO dan turunannya, namun hal ini belum dirasakan di lapangan, khususnya bagi para petani sawit mandiri dan anggota SPI di berbagai wilayah.
“Kendati kebijakan larangan ekspor sudah dicabut, nyatanya harga Tandan Buah Segar (TBS) anjlok di tingkat petani. Di beberapa wilayah, salah satunya Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi bahkan mencapai Rp300/kg di ladang. Sampai akhir Juni lalu, laporan anggota SPI di berbagai wilayah menyebutkan harga TBS sudah beranjak naik sedikit, di kisaran Rp1.200 – 1.300/kg,” jelasnya.
“Hal ini tentu menjadi pukulan keras bagi pemerintah, mengingat selama ini subsektor tanaman perkebunan rakyat menjadi penopang utama kenaikan NTP nasional. Situasi ini mungkin terus berlanjut, mengingat tren penurunan harga masih terjadi sampai di awal Juli ini.” tambahnya. Pada saat yang sama petani perkebunan rakyat mendapatkan tekanan dari kenaikan indeks harga konsumsi ( 1.31) yang boleh jadi mereka memberli minyak goreng dengan harga mahal, sementara sawit dari yang mereka hasilkan,” paparnya.
Mujahid melanjutkan, subsektor lainnya yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah subsektor peternakan rakyat. Kendati tercatat mengalami kenaikan, pemerintah diminta terus mewaspadai dinamika yang terjadi di subsektor ini, khususnya menjelang Idul Adha dan wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang semakin masif di wilayah-wilayah Indonesia.
“Secara umum, saat ini sektor peternakan sedang dihadapkan pada kenaikan harga pakan yang mencapai 25 – 30%. Hal ini memang berimbas pada harga ternak sendiri yang turut naik, walaupun kenaikannya tidak setinggi kenaikan biaya produksi. Selain itu yang paling mengkhawatirkan adalah wabah PMK. Penyebarannya sudah semakin luas, menjangkau wilayah-wilayah yang sebelumnya nol kasus. Kondisi ini jelas merugikan peternak, mengingat sudah dekat Idul Adha namun ternak mereka justru terancam kondisinya. Pada saat yang sama peternak juga menghadapi tekanan kenaikan indeks kebutuhan rumah tangga (1,18),” paparnya.
Mendesak Kebijakan yang Berpihak Pada Petani
Mujahid menilai belum ada kebijakan pemerintah yang efektif untuk mengatasi gejolak di masing-masing subsektor NTP. Menurutnya, pemerintah dalam hal ini harus berkomitmen pada kebijakan yang berorientasi pada kepentingan untuk rakyat banyak khususnya petani, bukan pada kepentingan bisnis semata.
“Dari subsektor perkebunan rakyat, berbagai kebijakan untuk menstabilkan harga minyak goreng nyatanya belum mencapai target, padahal dampaknya sangat parah bagi petani sawit mandiri. Jika kita telusuri, salah satu faktornya adalah industri kelapa sawit dikuasai oleh korporasi-korporasi besar, mulai dari kebun sampai industri pengolahannya. Jadi para petani, bahkan pemerintah sendiri pun tidak memiliki kontrol terhadap sawit dan produk turunannya, semuanya diserahkan ke mekanisme pasar,” tegasnya.
“Begitu juga di subsektor peternakan. Merebaknya wabah PMK karena pemerintah gegabah mengambil kebijakan impor dari negara-negara yang belum bebas PMK, akibatnya wabah masuk dari luar negeri. Lagi-lagi yang menjadi korban adalah petani dan peternak,” sambungnya.
Mujahid menambahkan, berkaca dari kondisi di atas, SPI mendesak pemerintah untuk kembali kepada prinsip-prinsip kedaulatan pangan. Kepentingan rakyat terhadap pangan harus menjadi prioritas utama, dimana negara hadir dalam memastikan faktor-faktor produksi (tanah dan air), akses terhadap benih lokal, akses terhadap pasar dan bantuan keuangan dinikmati secara utuh oleh petani dan produsen pangan. Dan kecukupan pangan baik dari sisi keterjangkauan jarak dan harga, serta gizi dan keamanan pangan dipenuhi dari produksi pangan petani di dalam negeri.
“Hal ini semakin relevan mengingat faktor internasional juga harus diperhatikan. Ancaman krisis pangan global mendorong negara-negara dunia semakin berhati-hati dalam perdagangan, dan menerapkan kebijakan larangan ekspor. Sebagai contoh – sebagaimana yang disebutkan dalam laporan BPS lainnya, Beberapa negara melarang ekspor gula, seperti India dan lainnya,” tambahnya.
“Karena Indonesia masih belum lepas dari ketergantungan bahan pangan dari luar negeri, tentunya kita harus membangun kedaulatan pangan di dalam negeri. Pangan harus diproduksi untuk kepentingan nasional, dan ini harus dimulai dengan menerapkan prinsip-prinsip kedaulatan pangan di berbagai kebijakan pertanian,” tutupnya.
Kontak Selanjutnya :
Mujahid Widian S – Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional DPP SPI – 0813 7523 9059