NTP November 2021: Naik Tapi Tidak Merata di Semua Sektor, Saatnya Badan Pangan Nasional Dioperasionalkan

JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan Nilai Tukar Petani (NTP) nasional November 2021 sebesar 107,18 atau naik 0,49 persen dibandingkan NTP bulan sebelumnya. Kenaikan ini dikarenakan indeks harga yang diterima (lt) sebesar 0,84 persen dibandingkan kenaikan indeks harga yang dibayar (lb) sebesar 0,35 persen.

Dalam rilis tersebut BPS menyebutkan kenaikan NTP dipengaruhi naiknya tiga subsektor yaitu: tanaman pangan (0,13 persen); perkebuna rakyat (2,05 persen); dan peternakan (0,56 persen). Sementara dua subsektor lainnya mengalami penurunan, yakni: hortikultura (2,92 persen) dan perikanan (0,16 persen).

Agus Ruli Ardiansyah, Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) menyebutkan, kendati NTP nasional November 2021 mengalami kenaikan, hal ini relatif sama dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Hal ini dilihat dari masih terkonsentrasinya kenaikan di subsektor perkebunan rakyat.

“Kenaikan NTP secara total masih ditopang oleh perkebunan, subsektor lainnya masih fluktuatif. Pada November ini kita lihat bagaimana NTP tanaman pangan, kendati trennya membaik tapi masih belum mencapai standar impas. Untuk subsektor hortikultura bahkan kembali turun cukup tinggi yakni 2,92 persen,” kata Agus Ruli di Jakarta pagi ini (03/11).

“Ini tentunya berdampak pada kesejahteraan petani, bagaimana harga yang layak tidak hanya dinikmati oleh subsektor tertentu saja,”sambungnya.

Potret NTP Subsektor

Kenaikan NTP subsektor tanaman pangan disebabkan naiknya indeks pada kelompok padi sebesar 0,61 persen dan kelompok palawija (khususnya ketela pohon dan ketela rambat) sebesar 0,16 persen. BPS mencatat rata-rata harga GKP di tingkat petani Rp4.650 per kg atau naik 0,91 persen.

“Laporan dari anggota SPI di berbagai wilayah, harga gabah tercatat di bawah dari rata-rata yang disebutkan BPS. Misalnya di Kulon Progo Yogyakarta dan Banyuasin Sumatera Selatan, terdapat harga gabah di harga Rp3.500 – Rp3.700 per kg,” katanya.

Sementara untuk subsektor hortikultura, BPS mencatat penurunan ditunjang oleh kelompok penyusun NTP seperti sayur-sayuran, khususnya bawang merah dan cabai rawit.

“Laporan dari anggota SPI menyebutkan untuk jenis sayur-sayuran sebenarnya terjadi tren harga yang cukup baik. Namun sepertinya daya beli masyarakat jauh lebih menurun, sehingga umumnya petani lebih banyak merugi. Untuk tanaman cabai ini sedikit banyak dipengaruhi faktor cuaca, karena curah hujan yang tinggi mengakibatkan rentan terkena penyakit,” ungkapnya.

“Sementara untuk buah-buahan, ini yang juga trennya menurun bahkan anjlok. Di Ogan Ilir, Sumatera Selatan, harga semangka dengan kualitas super dihargai Rp1.600 per kg di tingkat petani. Begitu juga dengan pepaya, di Muaro Jambi, ini dikeluhkan tidak laku di pasaran,” keluhnya.

Sementara untuk subsektor tanaman perkebunan, tren kenaikan harga komoditas perkebunan khususnya sawit, juga dibarengi dengan kenaikan harga minyak goreng, sebagai produk turunannya.

“Di Sumatera Utara dan Riau, misalnya, harga minyak goreng mencapai Rp20.000 per liter. Kenaikan ini jelas berdampak di tengah situasi yang masih belum stabil saat ini,” imbuhnya.

NTP Perkebunan Januari – November 2021

Pembenahan Tata Kelola Pertanian Indonesia

Dalam kesempatan yang sama Agus Ruli juga menyebutkan kenaikan indeks biaya produksi yang dialami oleh petani salah satunya adalah diakibatkan membengkaknya biaya pembelian pupuk. Kendalanya seperti sulitnya akses dan harga pupuk yang melambung tinggi.

“Akses terhadap pupuk bersubsidi masih terkendala. Para petani yang tidak menggunakan pupuk subsidi juga mengeluhkan harga yang sangat tinggi,” kata Agus Ruli.

“Baru-baru ini Ombudsman baru mengeluarkan kajian terkait perbaikan tata kelola pupuk bersubsidi. Ini tentunya harus menjadi perhatian pemerintah, bahwa hal-hal mendasar seperti pendataan, diskriminasi terhadap penerima pupuk bersubsidi, sampai dengan rendahnya pengawasan terhadap penyaluran pupuk bersubsidi, masih menjadi masalah utama,” paparnya.

Agus Ruli Ardiansyah (kiri)

Agus Ruli menambahkan, persoalan pupuk seharusnya dapat teratasi apabila pemerintah mendorong petani untuk lepas dari ketergantungan pupuk kima, dan memproduksi pupuk organik secara mandiri sesuai dengan prinsip-prinsip kedaulatan pangan.

“Di beberapa wilayah, kelangkaan pupuk subsidi berhasil menggerakan petani untuk menggunakan pupuk organik, baik yang padat maupun yang cair. Memang hal ini masih kecil, tetapi secara tren ini positif. Ini juga sesuai dengan pola pertanian agroekologi sebagai pilar kedaulatan pangan. Apabila ini secara konsisten dijalankan, alokasi subsidi bisa dialihkan kepada subsidi harga yang dampaknya juga akan dirasakan langsung oleh petani,” jelasnya.

Agus Ruli juga menambahkan, pemerintah perlu mempercepat implementasi Perpres terkait Badan Pangan Nasional. Secara khusus terkait persoalan produksi pangan di tingkat petani.

“PR besar bagi pemerintah, mengingat meskipun Perpres Badan Pangan Nasional sudah disahkan tapi belum kunjung terealisasi. Padahal kita berharap Badan Pangan Nasional menjadi solusi dan menawarkan langkah kongkret untuk menjamin kesejahteraan petani dan mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia,” tutupnya.

Kontak Selanjutnya :
Agus Ruli Ardiansyah – Sekretaris Umum DPP SPI – 0812-7616-9187

ARTIKEL TERKAIT
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU