JAKARTA. Nilai Tukar Petani (NTP) nasional Oktober sebesar 106,67, naik 0,93 persen dibandingkan NTP bulan sebelumnya. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan kenaikan NTP Oktober dikarenakan Indeks Harga yang Diterima Petani (lt) naik sebesar 1,05 persen lebih tinggi dibandingkan kenaikan Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) sebesar 0,12 persen. Kenaikan NTP Oktober 2021 juga dipengaruhi oleh naiknya 4 subsektor NTP, yaitu subsektor Tanaman Pangan (0,59 persen); Hortikultura (0,81 persen); Perkebunan Rakyat (2,01 persen); dan Perikanan (0,32 persen). Sementara itu subsektor peternakan kembali mengalami penurunan sebesar 0,16 persen.
Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI), Agus Ruli Ardiansyah mengatakan kendati NTP nasional terus menunjukkan kenaikan, namun ini tidak mencerminkan kenaikan dari seluruh subsektor penopang NTP
“Kenaikan NTP nasional ini bisa dikatakan ditopang oleh NTP tanaman perkebunan, yang kalau kita lihat trennya positif sejak awal tahun 2021. Hal ini berbeda dengan subsektor lainnya yang kerap kali mengalami penurunan,” katanya di Jakarta pagi ini (04/11).
Dalam berita resmi statistik yang dirilis pada Senin (1/11/2021) BPS menyebutkan NTP Tanaman Pangan subsektor Tanaman Pangan maupun Subsektor Hortikultura masih belum beranjak dari standar impas, yakni masing-masing sebesar 99,35 (NTP Tanaman Pangan) dan 99,45 (NTP Hortikultura).
“Kita berharap terpenuhinya harga yang layak bagi para petani ini tidak hanya dinikmati oleh subsektor tertentu saja. Dari catatan SPI untuk NTP tanaman pangan bahkan selalu berada di bawah standar impas, mulai dari Februari hingga Oktober 2021 ini,” keluhnya.
Situasi dan Kondisi Pertanian di Tingkat Petani
Agus Ruli mencatat laporan mengenai situasi dan kondisi pertanian anggota SPI. Untuk subsektor tanaman pangan, khususnya untuk padi, harga gabah mengalami kenaikan kendati masih di bawah rata-rata nasional di Bulan Oktober 2021. Sementara untuk tanaman hortikultura, harga relatif stabil walau untuk jenis cabai-cabaian cenderung mengalami kenaikan.
“Dari laporan anggota SPI di desa-desa, kami mendapati memang kecenderungan harga gabah naik. Rata-rata memang sudah di atas HPP, walau memang masih di bawah rata-rata nasional untuk Bulan Oktober 2021, yakni di kisaran Rp4.600 per kg. Di Aceh Tamiang misalnya, ini mencapai Rp4.700 – Rp4.800 per kg. tetapi kita juga dapat laporan mengenai gabah petani di Desa Lebung, Banyuasin, Sumatera Selatan yang dihargai di Rp3.600 per kg,” paparnya.
“Sementara untuk hortikultura, ini relatif tidak banyak berubah dari bulan sebelumnya, khususnya sayur-sayuran. Sementara untuk cabai, ini memang tercatat ada kenaikan. Di Tapung Hilir, Kampar, Riau misalnya, ini mencapai Rp44.000 – Rp48.000 per kg di pasar,” sambungnya.
Ia juga menyebutkan di beberapa wilayah, faktor cuaca menjadi penentu hasil panen petani. Faktor perubahan iklim sangat berpengaruh. Di beberapa wilayah Indonesia, kendati masih kemarau tetapi curah hujan tinggi. Anomali ini tentu menyulitkan petani karena curah hujan tinggi bahkan memicu bencana alam seperti banjir.
“Di Tuban, Jawa Timur, misalnya, kendati sempat terkendala, petani sudah menanam jagung, buah buahan dan hortikultura namun mati terkena banjir, namun petani kembali menanam ulang tanaman padan dapat panen. Hasilnya juga cukup baik dari segi harga. Sementara di sebagian Kabupaten Bengkulu Tengah dan Kabupaten Lebong, Bengkulu, petani gagal panen karena terendam banjir,” tambahnya
Permasalahan Harga di Tingkat Petani Harus Segera Diselesaikan
Agus Ruli menyatakan kehadiran dari Badan Pangan Nasional diharapkan dapat mengatasi permasalahan sektor pertanian secara komprehensif, dari produksi pangan di tingkat petani, distribusi, hingga stabilisasi harga.
“Kita menunggu tindak lanjut pasca disahkannya Badan Pangan Nasional, bagaimana langkah kongkretnya untuk menjamin kesejahteraan petani dan mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia,” tuturnya.
Ia menyebutkan Badan Pangan Nasional harus diimplementasikan, mengingat keluhan dari para petani selaku produsen pangan maupun konsumen belum tertangani dengan baik.
“Contoh lainnya adalah ketika kenaikan harga minyak goreng yang belakangan ini terjadi. Pada satu sisi, kenaikan bisa saja diartikan bahwa petani pekebun mendapatkan keuntungan yang tinggi oleh kenaikan NTP-nya dan kenaikan harga minyak goreng. Tetapi pada sisi lain, konsumen, terkhusus masyarakat miskin tidak mendapatkan harga yang layak, termasuk petani non pekebun yang ikut menjerit dengan kenaikan tersebut,“ tutupnya.
Kontak Selanjutnya:
Agus Rulis Ardiansyah – Sekretaris Umum DPP SPI – 0812 7616 9187