NTP Oktober Naik, Petani Hortikultura Masih Merana

JAKARTA. Nilai tukar petani (NTP) Oktober 2022 sebesar 107,27 atau naik 0,42 persen dibandingkan NTP bulan sebelumnya. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kenaikan NTP Oktober 2022 dikarenakan indeks harga yang diterima petani (lt) mengalami kenaikan sebesar 0,29 persen, sementara indeks harga yang dibayar petani (lb) mengalami penurunan sebesar 0,13 persen.

Kenaikan NTP Oktober 2022 juga dipengaruhi oleh naiknya lt pada dua subsektor NTP, yakni tanaman pangan (1,07 persen); dan tanaman perkebunan rakyat (1,70 persen). Sementara subsektor lainnya mengalami penurunan, yaitu subsektor hortikultura (4,14 persen); peternakan (0,81 persen); dan perikanan (0,04 persen).

Menanggapi hal tersebut, Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI), Mujahid Widian, menyoroti kenaikan NTP subsektor tanaman pangan yang terlihat dari kenaikan harga gabah dan beras akhir-akhir ini.

“Setelah tujuh bulan belakangan terpuruk, pada bulan Oktober 2022 ini akhirnya NTP subsektor tanaman pangan berada di atas standar impas. Hal tersebut dipengaruhi oleh kenaikan kelompok padi hampir di setiap wilayah Indonesia. Naiknya harga padi mungkin disebabkan oleh berkurangnya jumlah beras di pasar, seiring dengan jumlah beras dan padi yang berkurang selama bulan Oktober, baik akibat gagal panen maupun musim panen sudah mencapai puncaknya, yang panen sedikit,” ujar Mujahid dari Medan, Sumatera Utara, pagi ini (04/11).

“Laporan anggota SPI di berbagai wilayah juga menunjukkan hal yang serupa. Di daerah Tuban, Jawa Timur misalnya, harga gabah kering panen (GKP) mencapai Rp5.500 – Rp5.700/kg; di Indramayu, Jawa Barat juga mengalami kenaikan menjadi Rp6.000/kg,” sambungnya.

“Hal yang perlu dicatat dari NTP tanaman pangan ini adalah kenaikan indeks biaya produksi biaya modal (BPPBM), misalnya seperti biaya pembelian pupuk, biaya transportasi dan biaya produksi lainnya, sementara terjadi penurunan biaya konsumsi rumah tangga,” tambahnya.

Subsektor perkebunan rakyat juga melanjutkan tren positif, yakni naik 1,70 persen dibandingkan bulan sebelumnya. BPS mencatat kelapa sawit dan kopi sebagai komoditas yang menyumbang kenaikan NTP.

“Untuk komoditas kelapa sawit, harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani mengalami kenaikan secara bertahap sejak kebijakan pelarangan ekspor CPO pada April 2022 lalu. Saat ini di tingkat petani harga TBS berkisar Rp1.800/kg sampai Rp2.300/kg, sementara untuk di tingkat pabrik perbedaan harga bisa mencapai Rp400/kg dibandingkan harga di tingkat petani, tergantung dengan biaya angkut dan letak kebun,” katanya.

“Kenaikan harga TBS tersebut juga didorong oleh kebijakan pemerintah untuk menggenjot ekspor CPO dengan membebaskan pungutan ekspor (PE). Kebijakan ini sudah dimulai pada Juli 2022 dan sebenarnya berakhir pada 31 Oktober 2022 lalu. Namun kini diperpanjang lagi hingga Desember 2022,” sambungnya.

“Hal yang perlu dicatat dari NTP perkebunan rakyat ini adalah kenaikan indeks biaya produksi biaya modal (BPPBM), misalnya seperti biaya pembelian pupuk, biaya transportasi dan biaya produksi lainnya, sementara terjadi penurunan biaya konsumsi rumah tangga,” katanya mengingatkan.

Sementara itu untuk subsektor hortikultura, penurunan NTP yang terjadi disebabkan oleh turunnya dua kelompok penyusun NTP hortikultura, yakni sayur-sayuran, khususnya cabai merah dan cabai rawit (5,47 persen) dan buah-buahan, khususnya mangga dan semangka (0,74 persen).

“Penurunan harga cabai terasa sangat signifikan, hal ini juga terjadi di beberapa wilayah anggota SPI seperti di Kampar, Bantul, sampai dengan Kediri. Beberapa faktor penyebabnya antara lain karena kemarin harga cabai tinggi sehingga banyak petani yang beralih ke tanaman cabai, sehingga produksi berlimpah. Selain itu faktor cuaca juga berpengaruh, karena bisa membuat kualitas cabai menjadi berkurang dan harganya menjadi lebih rendah,” ungkapnya.

“Hal yang perlu dicatat dari NTP hortikultura ini adalah kenaikan indeks biaya produksi biaya modal (BPPBM), tidak sebesar di petani tanaman pangan dan perkebunan,” katanya mengingatkan.

Antisipasi Kenaikan Harga Bahan Pangan

Berkaca dari situasi masing-masing susbsektor NTP di atas, Mujahid menyebutkan pembenahan terhadap sektor pertanian Indonesia mendesak untuk dilakukan. Hal ini mengingat tantangan yang dihadapi oleh masing-masing subsektor semakin kompleks.

“Untuk tanaman pangan misalnya, pemerintah menyebut bahwa luas panen dan produksi di tahun 2022 mengalami kenaikan. Namun kondisi yang terjadi di tingkat petani justru menunjukkan situasi yang bertolak belakang, dimana harga gabah dan beras mengalami kenaikan akibat rendahnya produksi di musim panen sebelumnya. Harus ada sinkronisasi antara kondisi riil di lapangan dengan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah,” katanya.

“Jika hal ini tidak diantisipasi, bukan tidak mungkin pemerintah akan salah perhitungan terkait stok maupun cadangan pangan nasional kita, lalu impor akan kembali dilakukan untuk menstabilisasi keadaan. Pada akhirnya kembali lagi petani yang terkena dampaknya, kesejahteraannya,” keluhnya.

Sementara untuk tanaman perkebunan, sejauh ini ekspor masih menjadi orientasi utama. Sehingga cenderung mengabaikan konsumsi maupun kebutuhan di dalam negeri, misalnya untuk konteks minyak goreng sawit.

“Upaya untuk mengedepankan kepentingan dalam negeri belum terlihat dari subsektor tanaman perkebunan rakyat. Data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) nasional menunjukkan di akhir Oktober hingga awal November ini harga minyak goreng sawit mengalami kenaikan di kisaran Rp14.600/kg (curah) dan Rp20.050/kg (kemasan bermerk 2). Kita mewanti-wanti jangan sampai terjadi kenaikan harga minyak goreng seperti yang sebelumnya,” terangnya.

Kedaulatan Pangan sebagai Solusi Persoalan Pangan di Indonesia

Mujahid menyebut pemerintah harus kembali ke pada prinsip-prinsip kedaulatan pangan sebagai dasar perumusan kebijakan pertanian dan pangan di Indonesia.

“Kedaulatan pangan sebagai sebuah paradigma pembangunan pertanian, mendorong setiap bangsa dan rakyat untuk menentukan pangannya secara mandiri, meliputi alat dan sistem produksi serta pemasaran di bidang pertanian, peternakan dan perikanan untuk menghasilkan pangan tanpa tergantung dari kekuatan pasar internasional (UU Pangan 18/2012),” katanya kembali mengingatkan.

“Kedaulatan pangan relevan dengan kekhawatiran pemerintah Indonesia terkait ancaman krisis pangan global yang kembali mengingat. Dengan kedaulatan pangan, kebutuhan nasional dan dalam negeri menjadi prioritas utama, termasuk di dalamnya kepentingan dari para petani dan masyarakat perdesaan sebagai produsen pangan,” sambungnya.

Mujahid menambahkan, bagi SPI, upaya mewujudkan kedaulatan pangan tersebut bisa dilakukan dengan mendorong lahirnya kawasan daulat pangan (KDP) di wilayah-wilayah Indonesia. Melalui KDP, orientasi pemenuhan pangan diubah, yakni pemenuhan kebutuhan pangan di sekitar area ataupun kawasan, bukan untuk ekspor yang hanya menjadi bagian dari rantai pasok global.

“Artinya pangan itu harus terlebih dahulu dipentingkan untuk diri sendiri (kepentingan domestik), baru setelah itu dapat diberikan ke tempat lain. Tentunya hal ini mempengaruhi metode produksinya juga, dimana dalam kedaulatan pangan pertanian yang didorong adalah pertanian agroekologi yang berbasis pada pengetahuan lokal, lingkungan, dan berkelanjutan,” tutupnya.

Kontak Selanjutnya:
Mujahid Widian – Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional DPP SPI – 0813-7523-9059

ARTIKEL TERKAIT
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU