JAKARTA. Serikat Petani Indonesia (SPI) menggelar seminar daring internasional dalam rangka perayaan Hari Ulang Tahunnya (HUT) yang ke-22, 8 Juli 2020. Acara seminar yang dilaksanakan pada Rabu, 15 Juli 2020 ini bertemakan “Pengimplementasian Agroekologi sebagai Jalan dalam Mewujudkan Kedaulatan Pangan”.
Seminar dimulai dengan pembacaan kata sambutan dari Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang disampaikan oleh Ketua Badan Ketahanan Pangan (BKP) Agung Hendriadi mewakili Menteri Pertanian.
“Selamat ulang tahun untuk SPI yang ke-22. Di zaman pandemi ini, petani yang memproduksi pangan bersama tenaga medis adalah garda terdepan negeri ini,” ungkapnya.
“Terkait agroekologi, kita punya beberapa usulan misalnya percepatan musim tanam 2, peningkatan beberapa komoditas pangan untuk mengurangi impor, Diversifikasi pangan lokal, menjadi ubi kayu, kentang, sorghum, penguatan cadangan pangan (beras) dan mengakselarasi pengembangan lumbung pangan desa,” katanya.
Henry Saragih, Ketua Umum SPI menyampaikan, sistem pertanian agroekologi dalam prakteknya dikenal dengan nama yang bermacam-macam namun yang pasti merupakan sistem pertanian yang selaras dengan alam, tidak menggunakan input-input kimia, dan mengurangi ketergantungan dari luar.
“Dari hasil kajian yang dilakukan SPI, pertanian agroekologi lebih efektif, lebih mudah, dan lebih produktif. Ada juga yang mengidentikkan pertanian agroekologi dengan pertanian organik. Intinya agroekologi membuat petani berdaulat, bukan bertani secara organik tapi input-input organiknya masih pabrikan, masih tergantung korporasi,” papar Henry.
“Tak lupa saya mengucapkan terimakasih dari ke Menteri Pertanian yang membuka acara seminar ini dan penghargaan terhadap petani sebagai garda terdepan bersama tenaga medis di masa pandemi ini,” tambahnya.u
Hal senada disampaikan Ketua Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi (P3A) SPI, Muhammad Qomarun Najmi. Ia menjelaskan, di petani pilihan kata agreokologi belum terlalu dikenal namun prakteknya sudah dijalankan.
“Ketika istilah agroekologi ini kita sampaikan kepada petani, ada suatu kebanggaan karena kita merasa apa yang kita lakukan selama ini merupakan hal benar. Agroekologi bisa memberikan kegiatan usaha tani yang efektif dan efisien. Dalam perhitungan kami, dengan bertani secara agroekologi dalam satu hektar bisa menghidupi kebutuhan 30 KK,” papar Qomar.
“Agroekologi juga membangun ikatan produsen dan konsumen sebagai keberlanjutan produksi dan konsumsi,” sambungnya
Kegagalan Sistem Pangan Global
Zainal Arifin Fuad, anggota Komite Koordinasi Internasional La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) menerangkan berdasarkan laporan SOFI (The State of Food Security and Nutrition in the World) yang dikeluarkan oleh Badan Pangan Dunia (FAO) pada tahun 2019 terdapat 821 juta orang di dunia yang kelaparan.
“Jumlah ini berpotensi naik dua kali lipat tahun ini jika melihat kondisi dunia yang dilanda pandemi covid-19,” kata Zainal.
Zainal melanjutkan, ini akibat kesalahan sistem pangan dunia, dimana ada penguasaan korporasi terhadap pangan. Ada revolusi hijau dan juga perjanjian-perjanjian internasional yang menjebak petani. Banyak juga undang-undang yang menjebak petani dan menimbulkan konflik agraria. Korporasi banyak menguasai sumber daya dan pasar. Sistem benih juga bergesar dari tradisional menjadi menguntungkan korporasi.
“Sudah lama La Via Campesina menyampaikan kegagalan dunia memenuhi kebutuhan pangan melalui pendekatan ketahanan pangan namun ini tetap dipertahankan. Perlahan FAO mulai mengakui ada kelemahan dalam konsep ketahanan pangan ini,” imbuhnya.
Zainal melanjutkan, ada beberapa keberhasilan La Via Campesina mempengaruhi FAO dalam hal beralih ke pertanian agroekologi dan mempromosikan kedaulatan pangan. Dalam komite global ketahanan pangan kita juga berjuang mempengaruhi kebijakan global.
“Ini yang dilakukan La Via Campesina di tingkat internal melalui pertanian rakyat, kampung agraria, kawasan agroekologi, koperasi, dan ini menjadi arah La Via Campesina untuk mengajak FAO beralih pada kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan sebenarnya mencakup semua aspek, dimana petani sebagai driver,” paparnya.
Zainal menambahkan, tantangan La Via Campesina selanjutnya adalah untuk memastikan petani kecil tetap bisa berkontribusi di forum-forum global FAO.
“Kita juga mewaspadai kemungkinan terjadinya korporasi agroekologi,” tambahnya.
Pengalaman Dari Korea & India
Kim Jeongyool, narasumber asal Korea Selatan menyampaikan, di negaranya, pemerintahnya mendukung konsep pertanian berbasis lingkungan, yang tidak menggunakan input kimia.
“Pemerintah mendukung petani agar tidak menggunakan agrokimia untuk pupuk dan ada 1.000 dollar per hektar sebagai imbalannya. Pemerintah memberikan uang untuk membeli alat pertanian, pupuk organik. Untuk mendukung kebijakan ini pemerintahah juga membuka kantor untuk layanan ini,” papar pemimpin dari organisasi Korean Women Peasant Association (KWPA) yang juga anggota dari La Via Campesina.
Kim juga menjelaskan, untuk mempopulerkan agroekologi KWPA membuat apa yang disebut dengan “Sister Garden”.
“Sister garden adalah sub dari organisasi kami, KWPA, yang berbentuk koperasi. Anggotanya juga kelompok konsumen yang mengetahui pentingnya menerapkan pertanian berbasis agroekologi. Kami rutin melakukan festival makanan untuk meningkatkan kesadaran publik. Kami juga memiliki platform daring untuk menjual hasil-hasil produk pertanian. Saat ini ada sekitar 1.500 konsumen yang menerima produk dari kebun agroekologi kami tiap minggunya,” paparnya.
Dari India, KM Rajegowda membagi pengalamannya bahwa di negaranya pertanian agroekologi lebih dikenal dengan nama “Zero Budget Natural Farming” (ZBNF). ZBNF diperkenalkan oleh Subash Palekar. ZBNF menolak pertanian kimia yang diwariskan oleh revolusi hijau dan (istilah) pertanian organik yang semakin dikooptasi oleh perusahaan-perusahaan pertanian.
Rajeqowda memaparkan, tingkat bunuh diri petani di India cukup tinggi. Dalam 10 tahun terakhir saja sudah lebih 300.000 petani yang bunuh diri. Penyebabnya adalah para petani tersebut terlilit hutang yang sangat besar karena membeli input-input pertanian dari kimia yang mahal, namun gagal panen dan hasil produksinya tidak mampu mencukupi modal. Akibatnya si petani tidak mampu bayar, dipermalukan di desanya, frustasi, kemudian bunuh diri.
“ZBNF hadir sebagai solusi. ZBNF ingin melawan sistem global yang sangat menyengsarakan petani, tapi di ZBNF kita tidak “menyalahkan” perusahaan-perusahaan agribisnis transnasional tersebut; kita petani sendirilah yang seharusnya jangan pernah mau menggunakan produk-produk input pertanian dari mereka,” lanjut pria yang juga menjadi pimpinan di organisasi KRRS (anggota La Via Campesina).
Rajegowda melanjutkan, disebut ZBNF karena praktek pertanian ini berusaha meminimalkan penggunaan biaya, yang biasanya berasal dari pupuk kimia, pestisida, benih GMO, upah, dan lainnya. Dalam praktek ZBNF, selain menolak penggunaan input kimia, juga memaksimalkan semua yang ada di sekitar lingkungan untuk dimaksimalkan dalam lahan.
“Semua yang dipakai dalam ZBNF ini ada di sekitar kita petani. Itulah mengapa namanya “zero budget” (tanpa biaya)” dan ini selaras dengan konsep pertanian agroekologi,” pungkasnya.
Kontak selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668
Zainal Arifin Fuad – La Via Campesina – 0812-8932-1398