JAKARTA. “Kita membutuhkan kekuatan pangan, kedaulatan pangan. untuk mengantisipasi krisis pangan, kita harus menjamin mengenai hak-hak agraria di warga negara. maka dari itu penting memang untuk mendorong UNDROP sebagai solusi, apalagi Indonesia menjadi dewan HAM PBB”. Hal ini disampaikan oleh Ketua Komisioner KOMNASHAM Ahmad Taufan Damanik dalam seminar daring yang diselenggarakan dalam rangka perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Serikat Petani Indonesia (SPI) ke-22 (14/07).
Ahmad Taufan Damanik melanjutkan, ia khawatir pandemi covid-19 akan menimbulkan resesi global, dan jelas akan berdampak pada Indonesia.
“Saya sangat setuju kepada statemen presiden yang harus menjadikan petani dan sektor pertanian sebagai tulang punggung menghadapi krisis,” sambungnya.
“Di tingkat nasional, kendati belum diadopsi, para pengambil kebijakan harus menjadikan UNDROP sebagai solusi. Mungkin ini yang bisa diturunkan ke depannya, mengenai bagaimana menjadikan pasal-pasal UNDROP menjadi lebih kontekstual di tingkat daerah. Ini yang harus didorong agar setiap pihak-pihak di Indonesia menjadikan prinsip-prinsip UNDROP sebagai norma,” sambungnya.
Dalam kesempatan yang sama, Agung Hendriadi, Ketua Badan Ketahanan Pangan (BKP) menyampaikan, kedaulatan pangan dan kemandirian pangan menjadi sebuah spirit atau fondasi, dan ini menjadi sistem pangan nasional sesuai Undang-Undang (UU) Pangan No.18/2012.
“Mengenai ancaman krisis pangan di tengah pandemi covid-19, BKP bersama kementerian pertanian sudah mengantisipasinya seperti menyerap hasil pertanian dari petani, termasuk juga memastikan lumbung pangan di daerah-daerah,” ungkapnya.
“Ada juga program pertanian keluarga dengan memanfaatkan pekarangan, agar masyarakat dapat mencukupi pangannya sendiri, paling tidak mengurangi biaya yang dikeluarkan untuk pangan,” sambungnya.
Gustav Sirait dari Kementerian Luar Negeri menyampaikan, terkait pandemi covid-19, ada dampak gabungan dari pembatasan mobilitas yang menimbulkan resesi, berdampak pada pangan, dan krisis pangan di beberapa negara. Ini memicu kenaikan kemiskinan dan kelaparan di negara-negara importir pangan.
“Indonesia diharapkan bersama negara-negara berkembang, dapat memperkuat rantai pasok pangan global,” katanya.
Mengenai UNDROP, Gustav menuturkan, pemerintah Indonesia adalah salah pencetus dan pendukungnya di Dewan HAM PBB.
“UNDROP yang diadopsi tahun 2018, awalnya mau jadi Kovenan dan kini menjadi softlaw, meskipun tidak mengikat secara hukum tetapi mengikat secara moral. Ini lebih menyeramkan lagi karena kita bisa dicap tidak bermoral,” ungkapnya.
Gustav melanjutkan, terkait kebijakan luar negeri Indonesia, pemerintah mendukung dekade pertanian keluarga PBB 2018 -2028, yang mengangkat pentingnya kontribusi keluarga petani dan kesejahteraan petani.
“Dalam konteks ini Indonesia telah mengorganisir konferensi regional tentang penguatan ketahanan pangan, nutrisi dan kesejahteraan petani, pada April 2019 ini kemitraan kita bersama termasuk Kementan, Kemendes, FAO dan dihadiri negara-negara Asia. Menghasilkan komunike bersama mengenai pertanian dan kesejahteraan petani, dan digaris bawahi pentingnya kesejahteraan petani, khsusunya perempuan dan pemuda,” paparnya.
Zainal Arifin Fuad, anggota Komite Koordinasi Internasional La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) menegaskan, cukup mendesak untuk untuk menjalankan UNDROP. Laporan SOFI di tahun 2020, 130 juta orang diprediksi akan jatuh ke kelaparan, dan ini mayoritas akan terkena adalah petani. catatan khusus ada 619 juta orang yang kelaparan di tahun 2019,
“Ini juga menjadi urgent mengingat terjadi krisis di dalam krisis, yang terjadi akibat adanya pandemi covid-19. Ada 28 pasal di UNDROP, di antaranya tentang kewajiban negara, hak atas sumber daya alam, hak atas tanah. konsep kedaulatan pangan dalam UNDROP juga dilakukan sebagai reaksi atas ketahanan pangan yang sudah gagal terjadi,” kata Zainal.
Ketua Umum SPI Henry Saragih menambahkan, sejarah UNDROP memang lahir dari kampung-kampung di pelosok Indonesia.
“UNDROP ini memang berasal dari petani, dari hasil diskusi-diskusi petani di lapangan, dari para petani yang tanahnya tergusur, dari petani yang memuliakan benihnya. Ini kemudian mendorong kita untuk merumuskan apa-apa saja hak petani itu, mengacu pada pertanyaan-pertanyaan apa hak petani itu?; mengapa hak petani dirampas? baik itu atas nama pembangunan dan kemajuan lainnya; mengapa petani tidak boleh menentukan cara pertaniannya sendiri?; jadi dulu semasa Orde Baru apabila ada petani yang tidak menggunakan bibit yang dianjurkan oleh pemerintah, maka itu tidak diperbolehkan. Ini yang tidak dapat dibayangkan oleh generasi muda saat ini, apakah itu bibit, apakah itu metode pertaniannya sendiri. Jadi dulu petani sangat dikekang sekali bagaimana cara bertaninya, harus mengikuti cara-cara yang dianjurkan oleh pemerintah,” paparnya.
Henry melanjutkan, pada tahun 2001 dibuatlah Konferensi Pembaruan Agraria, di mana ada Komnas HAM, bersama-sama dengan SPI dan gerakan agraria di Indonesia.
“Hasilnya itulah kita bawa ke Jenewa, ke Dewan HAM. Awalnya kita bertujuan ini harus menjadi sebuah kovenan untuk petani, tetapi pada prosesnya kita tetap berhasil menjadikannya menjadi sebuah deklarasi. Dari awal prosesnya ini memakan waktu 17 tahun, namun terhitung sejak awal perumusannya, ini sudah berumur 25-30 tahun,” tutupnya.
Sementara itu, seminar ini sendiri bertemakan “Peran Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Petani dan Orang yang Bekerja di Pedesaan (UNDROP) sebagai Alat Perjuangan dalam Menegakkan Kedaulatan Pangan di Indoesia serta Aktualisasinya di Era Covid-19 dan Pasca Covid-19”.
Kontak selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668
Zainal Arifin Fuad – La Via Campesina – 0812-8932-1398