Peringatan 3 Tahun UNDROP: Sejarah, Pencapaian dan Tantangan

JAKARTA. Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) memperingati 3 (tiga) tahun disahkannya Deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak Asasi Petani dan Orang yang Bekerja di Pedesaan (United Nations Declaration on The Rights of Peasant and Other People Working in Rural Areas / UNDROP) secara luring di Jakarta dan daring (17/12). 

Ketua Umum SPI Henry Saragih menyampaikan, pengesahan UNDROP merupakan hasil kerja bersama dan panjanh selama 17 tahun oleh berbagai elemen, tidak hanya petani. Jika dianalogikan sebagai sungai, UNDROP ini adalah sungai yang bersumber dari banyak mata air. 

“Dari Indonesia, Thailand, Filipina, Brazil, sampai dengan Eropa. Dulu kita bayangkan eropa tidak terlalu antusias terhadap UNDROP, tetapi pada akhirnya di akhir perjuangan justru bantuan yang kuat dari kawan-kawan Eropa. Saya tidak bsia membayangkan ini berhasil tanpa adanya kerja bersama,” kata Henry secara daring dari Medan, Sumatera Utara.

Ketua Umum SPI Henry Saragih

Henry menceritakan, dirinya takjub atas keberhasilan perjuangan 17 tahun ini.

“Banyak yang menyebutkan deklarasi ini sulit karena memakan banyak waktu, banyak sumber daya manusia. Ini juga dikarenakan terjadinya krisis pangan tahun 2008, yang memicu kesadaran besar tentang rapuhnya perlindungan terhadap petani dan orang yang bekerja di perdesaan,” paparnya.

“Dukungan juga banyak berdatangan dari para pakar, dari Geneva UniversityNew York University, dan lainnya. Begitu juga dari negara-negara yang bersidang di dalamnya. Negara non-blok bisa bulat dan utuh mendukung deklarasi ini,” kenangnya.

Henry melanjutkan, di Indonesia, pengesahan UNDROP memperkuat konstitusi yang sudah ada di Indonesia yang sudah pro petani kecil. 

“Mulai dari TAP MPR No. 9 tahun 2001 tentang Pengelolaaan SDA, sampai kerja bersama antara gerakan rakyat di Indonesia yang mendorong lahirnya UU Perlintan, UU pangan.  Tapi nyatanya ini belum dijalankan secara utuh. Oleh karena itu, perjuangan harus terus kita kumandangakan dan gerakkan secara bersama. Karena pihak-pihak yang anti terhadap hak asasi petani juga terus bergerak,” paparnya.

“Di Indonesia kita lihat dengan lahirnya UU Cipta Kerja, walau akhirnya ini berhasil kita judicial reviewdan jadikan sebagai inkonstitusional bersyarat,” sambungnya.

Henry menegaskan UNDROP membuat kerja-kerja kita menjadi semakin luas lagi. 

“Perjuangan kita ini membutuhkan banyak kekuatan dan jangkauan yang luas. Jangan sampai kita biarkan hidup kita, pangan kita, diserahkan dan diurus oleh orang-orang yang tidak berhak. Maka dari itu petani harus siap dimana pun medannya, mulai dari lahan petanian sampai meja-meja perundingan,” tegasnya.

Hal senada disampaikan Zainal Arifin Fuad, anggota Komite Koordinasi Internasional La Via Campesina(Gerakan Petani Internasional). Ia mengutarakan, tiga tahun yang lalu, PBB telah mengadopsi UNDROP. Ini merupakan perjuangan panjang para petani mulai dari kampung hingga internasional.

“Kita lihat bagaimana terjadi perampasan lahan, sehingga para petani yang merupakan pusat penghasil pangan di perdesaan justru menjadi konflik agraria. Ini menjadi alasan SPI, bersama gerakan rakyat lainnya pada tahun 2001 melakukan konferensi di Cibubur, Jawa Barat untuk mendeklarasikan hak asasi petani Indonesia. Ini yang kemudian kita bawa ke internasional bersama La Via Campesina,” papar Ketua Departemen Luar Negeri DPP SPI ini.

Zainal menyampaikan, UNDROP tidak hanya diperjuangkan oleh SPI dan La Via Campesina, tetapi juga seluruh gerakan rakyat internasional seperti FIAN, CETIM, dan lainnya. 

“Di Jenewa, kita melakukan pendekatan dengan berbagai negara; mulai dari yang punya sisi historis dari Gerakan Nin Blok (GNB) dan Konferensi Asia Afrika (KAA). Ini yang kemudian kita transformasikan semangatnya ke dalam UNDROP,” katanya.

Zainal meneruskan, UNDROP juga memiliki ruh terhadap kedaulatan pangan;!hak atas tanah (reforma agraria); hak atas benih; hak atas air, hak atas kekayaan budaya; hak atas sosial budaya. 

“Perjalanan UNDROP selama 17 tahun ini adalah anugerah bagi kita. Kita saat ini memiliki alat perjuangan untuk memperjuangkan hak-hak tersebut,” tuturnya.

Zainal menggarisbawahi, pada saat yang sama gerakan petani menghadapi tantangan yang besar. 

“Ini yang kemudian menjadi kerja bagi La Via Campesina ke depannya untuk berjuang di PBB untuk menerapkan prosedur khusus, agar UNDROP diterapkan di setiap sistem yang dinaungi oleh PBB; sampai melaksanakan pendidikan dan pemahaman kepada seluruh anggota La Via Campesina dan masyarakat agar UNDROP hidup dan memenuhi hak-hak seluruh orang,” tambahnya.

Testimoni Gerakan Masyarakat Sipil Nasional

Budi Laksana, Sekjen Serikat Nelayan Indonesia (SNI) mengemukakan, petani kecil dan orang yang bekerja di pedesaan sudah punya instrumen yang sangat penting. Ide kecil dari petani kemudian menjadi ide global, khususnya bagi petani dan orang yang bekerja di perdesaan. 

“Ini tidak cukup hanya dengan sosialisasi-sosialisasi dari buku maupun brosur saja. Ini harus menjadi alat perjuangan konstitusional, agar menjadi penyemangat bagi seluruh gerakan rakyat dalam memperjuangkan hak-haknya,” tegasnya.

Hal senada disampaikan Nuruddin, Sekjen Aliansi Petani Indonesia (API). Ia mengingatkan, perjuangan dan proses panjang yang dilakukan SPI bukan hal yang gampang, sejak 2001 selama 17 tahun sampai dengan 2018 UNDROP disahkan.

Sekjen API Nuruddin

“Pada tahun 2001 ini juga sama momentumnya dengan keluarnya TAP MPR No.IX Tahun 1998. Harapan dan alat di tingkat internasional sudah disalurkan, namun memang kita ketahui ini masih sulit untuk dapat diadopsi di level nasional,” katanya.

“Bagaimana UNDROP menjadi instrumen regulasi di tingkat negara? Bagaimana seluruh komponen petani dan organisasi taninya mendesakkan pemerintah agar UNDROP dijadikan acuan? Kekuatan organisasi petani, sebagai bagian konsolidasi politik, penting untuk mendesakkan agar deklarasi ini diarusutamakan di tingkat pemerintah. Pada saat pengarusutamaan, ini harus mendorong Presiden membuat, seperti dikeluarkannya Perpres,” paparnya.

Henry Simarmata, pakar hak asasi petani menerangkan, deklarasi ini muncul dari petani, dan diperjuangkan oleh banyak pihak. 

“Kita memiliki pekerjaan besar untuk mewujudkan UNDROP. Pekerjaan dalam reforma agraria, dalam hak atas benih, dan cita-cita lainnya. Tadi sudah disebutkan bahwa UNDROP ini menjadi perjuangan rakyat dunia, rakyat di Asia, Afrika, sebelum mendapatkan dukungan dari belahan dunia lainnya. Ini yang disebut La Via Campesina sebagai ‘mengglobalkan perjuangan,” katanya.

Henry Simarmata

“Hal yang tak kalah penting adalah bagaimana menggelorakan perjuangan ini tidak hanya di internasional, tetapi juga di tingkat lokal dan nasional,” sambungnya.

Sementara itu Gunawan, penasihat senior Indonesia Human Rights Commission for Social Justice(IHCS) mengemukakan, petani dan gerakan tani harus bersyukur atas keberhasilan dalam menghasilkan UNDROP, sebagai instrumen perlindungan. 

“Ini harus dimaknai sebagai kemenangan besar, bahwa apa yang dilakukan oleh orang-orang biasa (para petani dan desa), bisa menghasilkan suatu peraturan di tingkat PBB,” imbuhnya.

Gunawan mengingatkan, PR yang harus diselesaikan adalah bagaimana di tingkat internasional ini bisa menjadi lebih baku lagi.

“Kita sudah sepakat untuk membangun rencana kerja pertanian nasional dan dasawarsa pertanian keluarga. Ini masuk dalam mekanisme internasional PBB dan di level pemerintah Indonesia juga masuk di Kementerian Pertanian. Kendati masih terdapat kritik dan kekurangan, ini menjadi penting bagi kita sebagai alat mendorong UNDROP. Kita di Indonesia juga sudah memiliki undang-undang tentang perlindungan nelayan, dan masyarakat pesisir. Ini harus menjadi alat untuk mengukur mitra kerja strategis di pemerintahan, siapa yang dapat diajak,” paparnya.

Rahmi Hertanti dari Indonesia for Global Justice (IGJ) menegaskan, komitmen Indonesia sebagai negara yang mendukung negosiasi UNDROP harus dipertanyakan. 

“Ini yang menjadi tugas kita untuk terus mendesak pemerintah, mengingat kebijakan saat ini sangat berpihak pada korporasi,” tegasnya.

“Agenda pembangunan dengan tema transformasi ekonomi, justru dilakukan dengan melanggar hak-hak petani. Ini dilakukan dengan industrialisasi yang didorong oleh perusahaan transnasional dan perusahaan skala besar. Perusahaan transnasional akan semakin menguat, dan mengancam kedaulatan petani dan pangan di Indonesia,” lanjutnya.

Amir Machmud dari FIAN Indonesia menyampaikan, yang dilakukan oleh SPI dengan menggunakan UNDROP sebagai alat ukur hak asasi merupakan langkah progres. Menurutnya, di tingkat nasional hasil monitoring ini bisa menekan agar hak-hak petani dan orang yang bekerja di perdesaan bisa dilindungi oleh negara, sesuai dengan kewajibannya.

“FIAN Indonesia dalam hal ini siap untuk melakukan kerja-kerja nyata bersama SPI dan gerakan rakyat lainnya dalam mendorong implementasi nyata UNDROP,” sambutnya.

Testimoni Gerakan Tani Internasional

Morgan Ody dari Confederence Paysanne (ormas tani asal Perancis) mengemukakan, hak-hak petani menjadi semakin mendapat tantangan akhir-akhir ini. Menurutnya, ini disebabkan oleh perampasan tidak hanya tanah, benih, sampai air sebagai faktor produksi. Selain itu harga di tingkat petani juga tidak layak dan menyulitkan petani untuk sejahtera. 

“Aktivitas dari petani skala kecil adalah kunci untuk pemenuhan pangan di komunitas, termasuk juga memberi pangan dunia. Petani kecil menyediakan pangan 70 persen dunia, bukan korporasi pangan,” tegasnya.

Koordinator Umum La Via Campesina ini melanjutkan, oleh karena itu hak untuk mengontrol tanah, air, benih, untuk aman dan tidak menghadapi kekerasan, merupakan kunci utama.

“La Via Campesina sangat berterima kasih pada SPI karena menginisiatifi gerakan ini, sampai pada akhirnya UNDROP lahir. Tanpa adanya gerakan SPI, UNDROP tidak ada. Atas nama La Via Campesina dan para anggota, kami berterima kasih pada SPI atas kerja besarnya, kerja dalam waktu yang lama,” katanya mengapresiasi.

“Saat ini kita memiliki kerja besar untuk membuat UNDROP diterima oleh publik. Termasuk juga membuat tahapan agar setiap anggota kita di berbagai jenjang menghargai hak ini. Ini bukan hal yang mudah mengingat para korporasi skala besar dan korporasi transnasional memiliki kepentingan yang berlawanan dengan kita,” tambahnya.

Anuka De Silva, petani perempuan asal Srilanka menyebutkan, ia sangat senang diundang dalam kegiatan ini. 

“Selama 18 tahun terakhir ini, SPI telah melakukan kerja luar biasa dalam mendorong UNDROP. Kita memiliki pertarungan yang kuat mulai dari level regional, sampai internasional. Tiga tahun terakhir, kita berjuang dalam hal lobi ke pemerintahan nasional,” katanya.

Anuka melanjutkan, UNDROP membawa peluang besar bagaimana membicarakan hak-hak petani dan orang yang bekerja di perdesaan, membicarakan hak asasi, membicarakan petani.

“Kita memiliki peluang besar untuk melawan neoliberalisme dan korporasi asing yang melanggar hak asing petani,” katanya.

“Kita melihat apa yang terjadi selama pandemi, perusahaan besar berusaha menghancurkan pola pertanian yang didorong oleh petani kecil. Ini mengapa UNDROP penting sebagai instrumen perjuangan, untuk menghadapi aktor-aktor tersebut,” lanjutnya.

Elizabeth Mpofu dari Zimbabwe mengatakan, semua elemen gerakan petani di dunia sudah seharusnya berjuang untuk mengimplementasikan deklarasi ini. 

“Saya sangat senang SPI sudah melakukan solidaritas bersama-sama, untuk mendukung hak asasi petani. Ini membutuhkan dedikasi dan komitmen agar UNDROP dapat diterapkan. Kami di Zimbabwe akan mendukung terus upaya-upaya implementasi UNDROP, meskipun kita memiliki banyak kendala mulai dari WTO dan lainnya,” papar eks Koordinator Umum La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) ini.

David Otieno dari Kenya Peasant League (organisasi petani kecil asal Kenya) ikut menyampaikan, kendati masih relatif lemah, pihaknya menggunakan UNDROP sebagai dasar dan instrumen, sehingga pergerakan petani menjadi lebih global.

“Kami melakukan analisis bahwa saat ini terjadi kepunahan dalam benih lokal kami. Oleh karena itu, penting untuk segera diaplikasikan di level nasional, untuk melindungi hak-hak tersebut. Kita dapat melindungi banyak hal, apabila para petani memahami hak-hak mereka,” katanya.

“Kita harus melakukan perjuangan secara bersama-sama, kolektif, untuk kepentingan bersama,” sambungnya.

Helio dari MOKATIL (ormas tani asal Timor Leste) menyampaikan, pihaknya sudah melakukan pendekatan agar UNDROP dapat diaplikasikan oleh pemerintah. 

“Mengingat situasi politik di nasional yang dinamis, kami menempuh cara-cara konstitusi agar ini dapat dimasukkan ke dalam kebijakan dalam negeri,” katanya.

“Kita juga melakukan perubahan besar dengan memasukkan kedaulatan pangan ke dalam kebijakan publik. Kita melakukan intervensi agar bisa melakukan perubahan di tingkat produksi, sampai dengan distribusinya,” lanjutnya.

Kim Jeon Sool dari Korean Women Peasant Association (KWPA, Asosiasi Petani Perempuan Korea Selatan) menyampaikan, KWPA saat ini tengah melakukan kegiatan untuk membagikan benih kepada masyarakat sekitar. 

“Ini merupakan bagian dari strategi kampanye kita untuk mendorong dan UNDROP ke pada masyarakat umum,” katanya.

Shalmali Gutal dari Focus On Global South menyatakan, UNDROP dapat menjadi alat untuk mengatasi kelaparan, eksploitasi dan pelanggaran-pelanggaran petani dan orang yang bekerja di pedesaan lainnya. 

“Saya berharap dapat menjadi bagian dari perjuangan ini ke depannya, untuk dapat mempromosikan UNDROP ke dalam kehidupan petani dan orang yang bekerja di perdesaan,” imbuhnya.

Raffaele dari CETIM menambahkan, bagaimana kebijakan level internasional bisa menerapkan UNDROP dan membawa dampak ke akar rumput. 

“Saya percaya tindakan-tindakan kita di akar rumput dapat membawa perubahan, dan harus kita lakukan di berbagai tingkatan dan dibuat menjadi lebih efektif,” tutupnya.

Peringatan ini ditutup dengan pemotongan tumpeng di sekretariat DPP SPI di Jakarta Selatan.

ARTIKEL TERKAIT
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU