Peringati Hari Tani 2024, SPI Menyelenggarakan Webinar Internasional Reforma Agraria

BOGOR. Pada hari Sabtu, 7 September 2024, Serikat Petani Indonesia (SPI) menyelenggarakan Seminar Internasional Reforma Agraria dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional ke-64 Tahun 2024. Seminar bertajuk ‘Challenges and Opportunities In Implementing Constitution-Based On Agrarian Reform”.

Hari Tani Nasional ditetapkan oleh Presiden Soekarno Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 169 Tahun 1963. Tanggal 24 September bertepatan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960). UUPA 1960 merupakan dasar dan payung pelaksanaan Reforma Agraria berdasarkan konstitusi.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, dalam sambutan menyampaikan bahwa September ialah bulan perjuangan reforma agraria bagi petani Indonesia. Meskipun pada masa Orde Baru, peringatan HTN menjadi satu hal yang terlarang, padahal itu merupakan bagian dari yang diatur konstitusi.

“Pada HTN 2024 ini, SPI akan melakukan rangkaian kegiatan peringatan HTN satu bulan penuh, mulai dari pekan ini di tanggal 7 September 2024, ditingkat tingkat lokal hingga internasional”, ujar Henry.

“Dalam konstitusi Republik Indonesia, UUD NRI 1945, telah diatur dalam Pasal 33 tentang pelaksanaan Reforma Agraria. Amanat ini juga diturunkan lebih teknis melalui UUPA 1960. Konstitusi juga mengatur bentuk kelembagaan ekonomi yakni koperasi. Koperasi sebagai bentuk dasar kegiatan ekonomi di Indonesia. konstitusi menjadi dasar SPI untuk menggugat sejumlah peraturan dan kebijakan yang merugikan petani, dan nyatanya memang bertentangan dengan konstitusi”, tutur Henry.

Shalmali Guttal Anggota Kelompok Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Deklarasi Hak Asasi Petani dan Orang-orang yang Bekerja di Perdesaan (UNDROP), dalam kesempatan ini menyampaikan bahwa latar belakang UNDROP berakar dari Indonesia, yang digagas SPI.

“Negara-negara harus mengadopsi UNDROP, yang diyakini sejalan dengan konstitusi dan dasar pelaksanaan Reforma Agraria. Tanpa dukungan negara-negara, Kelompok Kerja UNDROP tidak bisa bekerja, mari kita bekerja bersama-sama”, terang Shalmali yang hadir secara daring dari India.

Zainal Arifin Fuad, Koordinator Internasional La Via Campesina (LVC) Regional Asia Tenggara dan Asia Timur, menyambut dengan menegaskan acara ini momentum yang baik dari SPI untuk memperingati dan memperkuat gerakan reforma agraria di dunia.

“Apa yang terjadi saat ini adalah bagaimana perkembangan reforma agraria di dunia menghadapi tantangan. Ini juga menjadi momentum kita untuk memanggil dukungan dan proposal dari LVC untuk mendorong ICCARD (Konferensi Internasional Reforma Agraria dan Pembangunan Perdesaan) pada tahun 2026 nanti di Kolombia”, ujar Zainal

Zainal menambahkan, masalah mengenai perubahan iklim juga penting, karena atas nama perlindungan lahan mereka justru merampas tanah atas nama perlindungan alam. Saya menyebutkan juga data dari SOFI 2024 mengenai jumlah orang kelaparan meningkat, dibandingkan dengan target yang sudah ditetapkan.

Sarwadi, Ketua Ketua Wilayah (BPW) Serikat Petani Indonesia (SPI) Jambi, sekaligus Ketua Tim Reforma Agraria SPI Pusat, sebagai narasumber perwakilan SPI, menjelaskan bahwa konstitusi Indonesia sudah sangat jelas memihak kepada petani kecil.

“Indonesia telah memiliki UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, yang mengatur negara wajib memberikan jaminan tanah kepada petani”, pungkas Sarwadi.

Sementara itu, Elvira Baladad dari Paragos Filipina, menjelaskan Reforma Agraria di Filipina diambil oleh pemerintah dan dijalankan oleh militer, itu pada 1967.

“Kami pernah mengalami peristiwa berdarah dimana 13 petani meninggal karena memperjuangkan haknya atas tanah. Paragos memperjuangkan agar akuisisi lahan diperpanjang sehingga bisa membantu implementasi Reforma Agraria. Karena saat ini banyak petani yang tidak termasuk dalam data pemerintah untuk menerima tanah”, seru Elvira yang hadir jarak jauh dari Manila.

Masalah utama di Filipina yakni petani tidak lagi menanam padi untuk kebutuhan pangan masyarakat Filipina, beras berasal dari impor Thailand.

Situasi di Filipina sebetulnya paradoks di Thailand, Oat dari Assembly of the Poor (AOP) Thailand menerangkan untuk meningkatkan ekspor beras pemerintah berupaya membangun dam, yang mengakibatkan banyak dampak negatif, tidak hanya bagi petani dan masyarakat di sekitar tetapi juga bagi lingkungan. Dampak ekologi saat ini yang dirasakan, dimana terjadi banyak banjir di Thailand.

“Di Thailand Utara, pemerintah berupaya untuk meneruskan Pembangunan banyak dam yang berdampak. Ini dapat menyebabkan banyak banjir di daerah sub-distrik. Kami memiliki anggota sekitar 2.000 orang disitu. AOP menolak proyek ini selama 30 tahun. Kami tengah melanjutkan perlawanan”, tutur Oat.

Hal yang lebih kompleks terjadi di Myanmar. San Wai perwakilan petani Myanmar menyampaikan bahwa masyarakat desa saat ini menghadapi multi krisis multi. Mulai dari perubahan iklim, lalu banjir. Beberapa petani di area pusat gagal panen. Sebagian besar petani tanah hujan.

“Kemudian konflik nasional membuat petani tidak bisa menanam lebih karena situasi mencekam dan juga kesulitan untuk menyebarluaskannya ke daerah lain. Meningkatnya ongkos produksi hingga 3 kali, seperti kenaikan harga pupuk, benih, hingga pengairan. Begitu juga dengan kelangkaan bahan bakar. Petani muda dan buruh muda juga mengalami penurunan karena situasi konflik. Mereka kehilangan tanah, apakah itu diambil alih, dijual, ataukah disewakan kepada pihak lain”, ungkap San Wai.

Selanjutnya Anex dari Mokatil Timor Leste menyampaikan Timor Leste sebagai negara baru. Jadi belum memiliki undang-undang tentang Reforma Agraria. Tetapi saya akan membagikan pengalaman terkait apa yang sedang terjadi di negara kami. Akhir-akhir ini mulai dari organisasi tani dan petani mulai kembali melakukan reklaiming tanah yang sebelumnya diambil oleh kolonial.

“UU mengenai reforma agraria saat ini masih sedang didiskusikan di parlemen, dan sampai saat ini belum ada persetujuan terkait hal tersebut, Mokatil menganggap hal tersebut sebagai isu penting yang harus terus didorong. Karena kami menganggap bahwa tanah itu untuk pertanian, bukan untuk eksplorasi. Sehingga kami punya keterkaitan untuk terus mendorong dalam proses perumusan mengenai Reforma Agraria di internasional”, tutup Anex.

Selanjutnya Kepala Pusat Studi Agraria-IPB University, Bayau Eka Yulian mencatat dalam satu dekade Reforma Agraria di Indonesia belum berhasil menjawab keadilan Agraria.

“Mayoritas dijalankan dalam pendaftaran ulang tanah, bukan redistribusi. Tentang usulan dari CSO dan organisasi tani: Lokasi Prioritas Reforma Agraria. Dari 70 lokasi, progresnya sekitar 30 persen. Karena itu dibutuhkan strategi sandwich, yakni kekuatan dari pemerintah dan organisasi tani”, terang Bayu.

Pada saat yang sama, Gunawan dari Indonesian Human Rights Committe for Social Justice (IHCS), untuk menguatkan konstitusi, kita menggugat UU Penanaman Modal Asing dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani ke Mahkamah Konstitusi RI (MK), karena merugikan petani. MK lalu mengabulkan permohonan. Hal ini membuktikan bahwa hak petani atas tanah, melalui landreform adalah konstitusional.

“Meskipun demikian banyak kasus yang menunjukkan bahwa petani yang menang dalam uji materi, keputusannya ditafsirkan berbeda. Karena itu dalam hal dualisme hukum agraria, perlu adanya inovasi dengan mengawal putusan MK”, imbuh Gunawan.

Pada sesi akhir, Prof. Jun Borras, Guru Besar Erasmus University menyampaikan beberapa poin dari diskusi hari ini. Pertama, logika kapitalisme tentang penggunaan lahan: kepemilikan pribadi (individu atau kolektif) agar memenuhi syarat untuk dikomodifikasi.

“Lalu efisiensi ekonomi. Bagaimana kapitalisme mulai mendukung kepentingan petani atau swasta. Kapitalisme menyukai reforma agraria atau land reform, dan mulai melakukan komodifikasi. Sehingga dibuat cocok dengan kapitalisme dalam mencapai efisiensi ekonomi. Sementara kapitalisme neoliberal menentang redistribusi perusahaan besar (yang sudah produktif)”, ujarnya.

Hampir di seluruh belahan dunia kita menemukan iklim politik saat ini yang bertentangan dengan reforma agraria. Membatalkan reforma agraria yang sudah dilaksanakan. Jika sudah terlanjur dilaksanakan, maka pertahankan sesuai panduan pasar.

Menurut Jun, “Perjuangan reforma agraria telah bertransformasi saat ini. Dengan perkembangan ekonomi, reproduksi sosial, dan kelas pekerja telah mengembangkan banyak pertanyaan tentang reforma agraria: tidak hanya berbicara tentang nilai tukar. Kelas pekerja memiliki banyak strategi yang berbeda dalam perjuangan agraria.

“Orang-orang yang masih memiliki akses terhadap tanah, tetapi sangat rapuh/pengakuannya, kemudian Orang-orang yang tergusur dan pengungsi (permintaan untuk kembali ke tanah mereka atau ke tanah baru/restitusi). Lalu menangkap semua hal yang berkaitan dengan mitigasi perubahan iklim yang membutuhkan lahan (Nature Based Sollution). Memastikan bahwa masyarakat memiliki kepemilikan tanah atau hak atas tanah. Jika tidak ditentukan, maka akan bertentangan dengan kepentingan”, tutup Jun Borras.

Seminar ini dihadiri perwakilan SPI dari seluruh Indonesia di Pusdiklat Nasional DPP-SPI, Bogor, dan secara daring. Kemudian organisasi petani di Asia Tenggara dan Asia Timur, serta jaringan ditingkat nasional dan internasional.

ARTIKEL TERKAIT
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU