JAKARTA. H-1 perayaan Hari Tani Nasional 24 September 2020, Serikat Petani Indonesia (SPI) menyelenggarakan rapat umum daring yang diikuti perwakilan jutaan petani SPI se-nusantara. Rapat ini sendiri bertajuk “Meneguhkan Reforma Agraria untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan #TolakRUUCiptaKerja”.
Ketua Umum SPI Henry Saragih menegaskan, RUU Cipta Kerja kontraproduktif dengan reforma agraria dan kedaulatan pangan.
“Contohnya mengenai penguasaan tanah, pada masa kolonial jangka waktunya hanya, 75 tahun. Bandingkan dengan RUU Cipta Kerja yang mengatur hingga 95 tahun. Ini juga sudah diatur dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dimana hal ini tidak perbolehkan. RUU ini lebih kejam dari penjajah,” kata Henry.
Henry melanjutkan, dalam hal kedaulatan pangan, RUU Cipta Kerja berimplikasi pada UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, dimana bagian ketiga dalam pasal tersebut tentang syarat alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan dihapuskan.
“Hal tersebut selaras dengan esensi utama dari RUU Cipta Kerja, dimana percepatan investasi harus diutamakan walaupun harus mengorbankan aspek penting lainnya, yang dalam konteks ini adalah ketersediaan lahan pangan berkelanjutan di Indonesia,” ungkapnya.
“RUU Cipta kerja oleh karena itu merupakan ancaman terhadap keberadaan lahan pangan berkelanjutan di berbagai wilayah Indonesia,” sambungnya.
Henry menambahkan, RUU ini juga bertentangan dengan Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Masyarakat yang Bekerja di Pedesaan (UNDROP).
“Jadi memang RUU ini kontra dengan kebijakan-kebijakan positif yang pro petani kecil yang sudah lebih dahulu ada, jadi ya kita harus bersatu menolaknya, persatuan nasional menolak RUU Cipta Kerja” ujarnya.
Tak hanya petani, rapat umum ini juga dihadiri oleh perwakilan elemen masyarakat sosial lainnya. Said Iqbal dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyampaikan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjanjikan memastikan beberapa pasal yang ditolak oleh elemen masyarakat sipil untuk tidak dimasukkan dalam RUU Cipta Kerja.
“Beberapa pasal yang menurut kita bermasalah: pegawai kontrak seumur hidup, cuti haid. RUU Cipta Kerja sangat liberal sekali. Petani dan buruh harus bersatu, bersama-sama menolak isi RUU Cipta Kerja,” katanya.
Budi Laksana, Sekjen Serikat Nelayan Indonesia (SNI) mengutarakan, klaster perizinan dalam RUU ini bermasalah bagi nelayan kecil.
“Izin pelayaran atau perikanan asing di pelabuhan menjadi semakin terbuka. Sebaliknya tidak ada sanksi keras bagi para pelaku ilegal fishing, tidak ada pidana, hanya administratif. RUU ini juga meniadakan zonasi yang bertentangan dengan UU Perlindungan Nelayan. Ini tentu akibatkan hancurnya ekosistem laut dan tata kelola perekonomian nelayan, termasuk juga wilayah adat,” katanya.
Hal senada disampaikan Iing Rohimin, Sekjen Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Ia menyebutkan, KNTI sudah menyatakan sikap menolak RUU Cipta Kerja.
“Ada 74 pasal yang bermasalah dari sisi nelayan Indonesia, seperti pengertian pembedaan nelayan kecil dengan nelayan besar yang dihapus. Ini efeknya paling terasa terkait subsidi BBM, yang akan diambil oleh nelayan besar. Ada lagi pasal 7 ayat 2, perlindungan terhadap pembudidaya ikan tidak ada. RUU ini juga memudahkan akses terhadap investasi modal asing,” paparnya.
Prof. Maksum Mahfudz, tokoh Nahdlatul Ulama yang juga menjadi narasumber dalam rapat ini menambahkan, ketika Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 Tahun 1960 dirumuskan, itu merupakan wujud nyata kemenangan bagi kaum tani di Indonesia.
“Maka ketika RUU Cipta Kerja mau disahkan ini harus ditolak. Kita lihat dari aneka kebidangan, kelompok, organisasi, komunitas, atau klaster sudah menolak isinya. Jangan main-main dengan kebaikan bersama rakyat di republik ini,” tambahnya.
Rapat umum ini sendiri adalah bagian dari rangkaian peringatan Hari Tani Nasional 2020 oleh SPI yang dimulai 17 September hingga 30 September 2020 yang diselenggarakan di tiap penjuru tanah air.
Kontak Selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668