JAKARTA. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi mengecam sidang paripurna DPR RI pada 30 Agustus 2022 yang mengesahkan dua perjanjian perdagangan bebas yakni, perjanjian Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dan Indonesia-Korea CEPA (IK-CEPA). Dua perjanjian yang disahkan itu, berpotensi memiliki dampak luas bagi kehidupan rakyat Indonesia. Namun, mirisnya dalam setiap proses pembahasan hingga ratifikasi perjanjian tersebut tidak demokratis dan melibatkan partisipasi publik secara luas. Tidak melibatkan partisipasi publik dalam proses perjanjian internasional ini telah melanggar UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional j.o Putusan MK No. 13/PUU-XVI/2018 tentang Perjanjian Internasional.
Indonesia for Global Justice (IGJ) mengungkapkan bahwa “memang sejak awal proses pembahasan hingga ratifikasi perjanjian RCEP ini minus proses demokrasi dan partisipasi publik dalam pembahasannya. Bahkan, kami beberapa kali mengirimkan surat ke DPR RI untuk membahas perjanjian RCEP dan audiensi perjanjian internasional lainnya tidak mendapat respon positif. Ini cukup kami sayangkan, padahal nantinya perjanjian Internasional ini akan berdampak luas bagi rakyat dan adanya perubahan pada regulasi nasional. Jadi cukup besar dampaknya secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, seharusnya ada ruang bagi demokrasi yang partisipatif dalam setiap proses perjanjian internasional”, ungkap Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ).
“Kami juga mengingatkan kepada DPR RI agar tidak serta merta menerima usulan ratifikasi perjanjian internasional yang sudah disahkan oleh Pemerintah Indonesia. Seharusnya, DPR RI itu jeli dan mengkaji secara baik isi dari perjanjian tersebut. Bahkan perlunya bagi DPR itu melakukan kajian dampak hak asasi manusia terhadap perjanjian internasional sebelum diratifikasi ke dalam hukum nasional. Kajian ini sangat penting agar setiap perjanjian internasional itu tidak melanggar hak asasi manusia beserta hak-hak dasar publik lainnya”, tambah Maulana.
Sejatinya, DPR RI dapat menolak perjanjian perdagangan internasional yang membahayakan kepentingan nasional, hal ini disebutkan dalam Pasal 84 Ayat (6) UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Untuk itu, DPR RI sebagai representasi rakyat harus bijak dan demokratis dalam setiap proses perjanjian perdagangan internasional, tidak hanya menjadi stempel saja atas perjanjian internasional tersebut.
Gunawan, Penasehat Senior Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) menegaskan bahwa “perjanjian internasional yang membawa dampak meluas bagi rakyat, seharusnya dimaknai bahwa persetujuan DPR itu, seharusnya dengan konsultasi publik untuk menjamin bahwa perjanjian internasional yang disahkan itu sesuai dengan prinsip perdamaian, kemerdekaan dan keadilan”, demikian jelas Gunawan.
Potensi Dampak RCEP Bagi Rakyat
Pada isu kesehatan dan akses pada obat-obat terjangkau, perjanjian RCEP ini akan semakin membuka ruang bagi perusahaan untuk mem-patenkan obat-obatan yang membuat harga obat semakin tidak terjangkau.
Perlindungan hak paten terhadap perusahaan farmasi, bukan hanya pada TRIPS atau aturan FTA lainnya, dapat berakibat pada praktek monopoli pada produksi dan harga obat sehingga ketersediaan obat generik akan tertunda dan menghalangi kompetisi harga karena terbatasnya produsen yang dapat memproduksi obat.
“RCEP dapat membahayakan kepentingan nasional, khususnya akses terhadap kesehatan dan obat-obatan, maka sebaiknya proses demokrasi dan partisipatif harusnya diterapkan sehingga masyarakat dan populasi yang terdampak mengetahui apa saja yang dibahas”, Ferry dari Indonesia AIDS Coalition (IAC).
Di sektor perburuhan, perjanjian RCEP adalah ancaman yang nyata karena buruh akan dihadapkan dalam pengaturan RCEP tentang Bab Pergerakan Orang.
Herman Abdulrahman, Ketua Umum FPBI menyampaikan bahwa Bab Pergerakan Orang dalam RCEP akan membuka trend Inter-Corporate Transfer (ICT) yang menggunakan pekerja asing berbakat untuk menunjang efisiensi penggunaan teknologi di Indonesia. Namun, pada akhirnya aturan ini akan berpotensi menghasilkan masalah ketenagakerjaan seperti; kegagalan alih teknologi, berkurangnya lapangan pekerjaan di Indonesia akibat masuknya pekerja dari luar negeri untuk sektor yang diliberalisasi, potensi pekerja hanya berdasarkan sertifikasi, tidak akan mendukung terjadinya alih teknologi kepada pekerja Indonesia,” ungkap Herman.
Bahkan dari total (wege employment) pekerja upahan yang kurang lebih 47 jutaan, kurang lebih 22 juta adalah pekerja informal tanpa kontrak tertulis, pekerja kontrak 15 juta orang, dan 10 juta adalah pekerja tetap. Proporsi itu saja diisi mayoritas pekerja informal, bahkan itu masih ada ada indikasi under estimasi jumlah pekerja formal di Indonesia. Menurut survei Sakernas/World Bank sekitar 40% dari pekerja upahan yang dikategorikan BPS sebagai ‘pekerja formal’ justru tidak memiliki kontrak kerja tertulis/pekerja informal. Bisa dibayangkan kalau pekerja asing juga ikut masuk di tengah supply pekerja yang membludak dan tidak terserap– deindustrialisasi prematur–yang masih terjadi di Indonesia. Tentu, kerja sama untuk mendatangkan investasi itu baik, tapi kalau tutup mata, lalu yang penting buat kebijakannya dulu. Dan tidak melihat apakah usahanya punya growth-potential, atau melakukan joint-venture, local content policy, atau technology transfer, juga melihat apakah produktivitasnya tinggi atau rendah? Jelas itu bencana bagi buruh di Indonesia.
“Untuk bisa bersaing dalam perdagangan jasa tentu dari RCEP, Indonesia harus mencetak pekerja yang memiliki tenaga ahli, ini karena tren investasi yang masuk selalu disertai dengan teknologi yang tidak dikuasai oleh tenaga kerja Indonesia. Sehingga perusahaan asing tersebut akan menggunakan tenaga kerjanya sendiri dalam mengoperasikan teknologinya. Kemampuan untuk bisa memaksimalkan RCEP membutuhkan kualitas SDM termasuk pendidikan”, Herman.
Kemudian, dampak negatif dari RCEP juga akan dirasakan oleh para petani di pedesaan. Afgan Fadilla, Kepala Badan Kampanye Hak Asasi Petani Serikat Petani Indonesia, menyatakan bahwa RCEP tentunya akan meningkatkan impor pangan yang masuk ke Indonesia. Selain itu, perjanjian ini berpotensi mereduksi penguasaan petani atas benih yang dipicu dari aturan kekayaan intelektual yang sejalan dengan WTO dan UPOV. Alhasil, ketergantungan terhadap mekanisme pasar internasional dan korporasi semakin dalam.
“Petani di Indonesia didominasi oleh para petani gurem yang hanya memiliki luasan lahan tidak lebih dari 0,5 ha tanah. Kondisi ini akan diperparah apabila para petani dipaksa bersaing dengan pangan impor seperti gula, daging dan pangan olahan lainnya. Petani pembudidaya benih juga terancam termarginalisasi apabila diaplikasikannya hak paten benih yang dikuasai oleh korporasi. Lebih jauh lagi, kita harus belajar dari persoalan kelapa sawit dan minyak goreng yang mana akibat ketergantungan kita terhadap pasar internasional dan korporasi, masyarakat sulit mengakses minyak goreng dan petani rakyat sulit mendapatkan harga yang layak,” tutup Afgan.
Kontak selanjutnya :
Afgan Fadilla – Kepala Badan Kampanye Hak Asasi Petani Serikat Petani Indonesia – afgankibo@spi.or.id
Rahmat Maulana Sidik – Direktur Eksekutif IGJ – rahmat.maulana@igj.or.id
Gunawan – Penasehat Senior IHCS – bung.gunawan@gmail.com
Ferry Norilla – Indonesia Aids Coalition (IAC) – fnorila@iac.or.id
Herman Abdulrohman – Ketua Umum FPBI – changeuhgar@yahoo.com
.