Reforma Agraria Belum Tuntas, Perjuangan politik Rakyat Harus Diperkuat

Medan. Bertempat di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Serikat Petani Indonesia bekerja sama dengan Pusat Kajian Agraria dan Hak Asasi Petani FISIP USU serta Yayasan Sintesa menyelenggarakan Seminar Nasional Reforma Agraria Abad 21. Seminar ini mengambil tema Perjuangan Reforma Agraria yang “Belum Tuntas” di Indonesia.

Pada kesempatan ini, Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia yang bertindak sebagai Keynote speaker menyampaikan bahwa perjuangan reforma agraria merupakan perjuangan yang telah dilakukan petani sejak lama namun memiliki banyak hambatan, khususnya dari aspek kebijakan dan politik.

“Penguasaan tanah (reclaim) sudah sejak lama kita laksanakan, terhitung dari tahun 1998 sudah ratusan ribu hectare yang kita rebut dan kita kembalikan kepada petani dan orang-orang yang bertanah. Namun Korporasi terus berupaya melakukan perlawanan meskipun kebijakan-kebijakan yang ada sudah menyatakan tanah tersebut sebagai obyek dari reforma agraria. Kemudian pihak korporasi terus melakukan perlawanan politik dengan melakukan perubahan kebijakan berupa undang-undang, dalam Undang-undang tahun 2007 tentang  Modal,  pihak korporasi mendesak agar Hak Guna Usaha (HGU) bisa diberikan selama 95 tahun. Kemudian setelah UU Modal ini dirubah melalui Mahkamah Konstitusi pihak korporasi mendorong lahirnya  Undang-Undang Cipta Kerja, yang merubah hukum agraria yang sudah diatur dalam UU Pokok Agraria No 5 tahun 1960. Dimana HGU itu  hanya 30 tahun” sebut Henry.

Henry juga menambahkan bahwa reforma agraria yang berlangsung saat ini telah digiring ke arah reforma agraria yang keliru, masih jauh dari  reforma agraria sejati yang diperuntukkan untuk menghapus ketimpangan kepenguasaan agraria.

“Sekarang Reforma agraria lebih diarahkan pada menguatkan pada posisi hukum pihak yang selama ini telah menimbulkan penguasaan dan pemilikan tanah, legalisasi atas perampasan tanah rakyat dan pengrusakan hutan yang terjadi. Komitment politik dan rencana nasional untuk melaksanakan reforma agraria dengan membagikan tanah seluas 9 juta hektar kepada orang tak bertanah dan petani masih belum terlaksana”,  tambah Henry.

Henry menutup pidatonya dengan menyampaikan segala hambatan menandakan perjuangan reforma agraria belum selesai dan perlu untuk terus memperkuat perjuangan rakyat dan politik petani dan rakyat.

“Dengan demikian, gerakan rakyat harus terus terdepan untuk memperjuangkan reforma agraria. Perjuangan ini bukan hanya perjuangan petani tetapi juga perjuangan seluruh rakyat miskin di Indonesia dan dunia” tutup Henry.

Dalam seminar ini juga dipaparkan tentang situasi dari konflik agraria dan perjuangan reforma  agraria yang sedang berlangsung di Sumatera Utara, Jambi dan Sumatera Barat. Berdasarkan paparan tersebut bahwa implementasi kebijakan reforma agraria sangatlah lambat dan para petani yang menghadapi konflik agrarian masih terus menjadi korban intimidasi dan kriminalisasi.

Sesi berikutnya dalam seminar ini diisi oleh Randa Putra Sinaga dari Pusat Kajian Hak Asasi Petani FISIP USU dan Saurlin P. Siagian sebagai Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Randa menyampaikan bahwa akumulasi modal telah mengaburkan hubungan kota dengan desa yang bermuara pada kekuatan kapital yang berusaha mengekspansi lahan-lahan agraris di wilayah pedesaan.

“Dari penelitian yang saya lakukan, didapati bahwa anak-anak yang mengemis di sekitaran lampu-lampu merah, sebagian besar mereka bukan berasal dari Medan tetapi dari daerah penopang Medan yang merupakan kawasan perdesaan. Artinya perdesaan tidak mempunyai lahan tempat tinggal lagi di kampungnya. Ini menandakan sebenarnya bahwa lahan-lahan di pedesaan semakin habis diambil oleh pihak-pihak kapital yang secara tidak langsung mendistribusikan masyarakat pedesaan ke kota” Randa menjelaskan.

Randa juga menambahkan bahwa agraria tidak hanya berkutat pada masalah tanah, tetapi juga menyentuh permasalahan budaya, politik, maupun ekonomi.

“Praktik reforma agraria itu hanya merupakan langkah awal. Setelah itu harus mengupayakan yang bersifat keberlanjutan, baik itu dari segi ekonomi, sosial, maupun politik. Hal inilah yang seringkali kita lupa, karena telah merebut tanah dan merasa menang tanpa memperhatikan tahap berkelanjutannya seperti agroekologi” tambah Randa.

Saurlin P. Siagian menyampaikan bahwa konflik agraria merupakan warisan dari masa lalu dan perlahan-lahan sedang diselesaikan.

“Konflik agraria yang ada saat ini bersifat struktural, tidak bisa dilepaskan dari pemerintahan sebelumnya yang berkaitan dengan pembangunan, proyek strategis dan sebagainya. Kehadiran Kementerian Agraria yang secara khusus untuk mengadvokasi isu-isu agraria dan tah, nyatanya belum manpu menjawab permasalahan agraria yng marak terjadi” Saurlin Menjelaskan

“Dari sisi KOMNASHAM juga telah banyak melahirkan produk-produk yang mendukung reforma agraria seperti kajian-kajian yang beberapa diantaranya tentang Standar Norma dan Pengaturan HAM tentang Hak atas Tanah dan SDA. Komnas HAM juga mendorong tentang tanah ulayat dan hat atas tanah masyarakat adat” tutup Saurlin.

Andry Anshary (dua dari kiri), Randa Putra Sinaga (empat dari kiri), Zubaidah (lima dari kiri), Husni Thamrin – Wakil Dekan I FISIP USU (dua dari kanan), Henry Saragih (tiga dari kiri)

Seminar ini ditutup dengan paparan dari narasumber luar negeri, seperti Shalmali Guttal dari Focus on the Global South yang menyampaikan situasi perjuangan reforma agraria di Asia, Saturnino M. Borras dari International Social Studies (Belanda) yang memaparkan situasi gerakan agrarian di tingkat global dan Nelson Mudzingwa dari ZIMSOFF yang menceritakan pengalamannya berjuang di Zimbabwe. Kegiatan ini juga dihadiri oleh Dekan FISIP USU, Dr. Hatta Ridho, S. Sos, MSP, Ketua DPW SPI Sumatera Utara, Zubaidah dan Direktur Yayasan Sintesa, Andry Anshari, serikat buruh, masyarakat adat dan gerakan rakyat lainnya di sumatera Utara

ARTIKEL TERKAIT
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU