Rencana Impor Beras 2023, Mengancam Petani dan Kedaulatan Pangan di Indonesia

JAKARTA. Pemerintah berencana melakukan impor beras untuk mengisi Cadangan Beras Pemerintah (CBP) berdasarkan surat Badan Pangan Nasional (Bapanas) perihal penugasan terhadap Bulog untuk melakukan pengadaan CBP dari luar negeri. Pada tahap ini 500.000 ton secara keseluruhan pemerintah berencana melakukan impor 2 juta ton beras sampai akhir Desember 2023.

Menanggapi hal tersebut Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) menyebut impor beras tersebut merupakan akibat dari lambatnya pemerintah mengambil kebijakan perberasan.

“Ini terjadi karena rentetan Bulog yang tidak menguasai cadangan pangan pemerintah (CBP) dari tahun lalu dan masalah ini berlanjut sampai tahun ini,” katanya dari Jakarta, sore ini (27/03).

Ia menerangkan, akibatnya Bulog tidak bisa menjadi satu kekuatan yang bisa mengintervensi pasar. Karenanya menurut SPI, pemerintah sebelum memutuskan impor beras harus terlebih dahulu memperbaiki peran, fungsi, dan cara kerja Bulog dalam menjalankan tugasnya sebagai cadangan pangan pemerintah (CBP). Baik itu dalam menyerap gabah dari petani ataupun prosedural-prosedural lainnya sehingga Bulog bisa menyerap gabah dari petani dan mendistribusikannya. Sehingga berfungsi sebagai cadangan pangan pemerintah.

“Demikian juga dengan jumlah berapa banyak cadangan pangan pemerintah ini haruslah dibuat aturannya. Apakah 10% dari kebutuhan beras nasional, atau berapa persen? Menurut SPI ini semua karena keteledoran pemerintah yang mengurus pangan dan Bulog sejak tahun 2022 yang tidak melakukan tugasnya,” keluhnya.

Henry Saragih, Ketua Umum SPI

“Kami menyesalkan langkah pemerintah mengambil kebijakan impor beras. Ini merupakan buah dari buruknya pemerintah dalam menangani persoalan pangan, yang hampir tiap tahun selalu berulang,” sambungnya.

Henry meneruskan, terkait CBP, seharusnya ini bisa diantisipasi jauh-jauh hari.

“Kami melihat ini berkaitan dengan lambatnya pemerintah merevisi harga HPP di tingkat petani, sehingga penyerapan beras tidak maksimal. Padahal kalau hal ini dilakukan secara terukur dan jauh-jauh hari, tentu petani akan mempertimbangkan untuk menjual gabahnya kepada Bulog,” terangnya.

“Dan karenanya SPI sampai saat ini tetap mengusulkan agar nilai HPP tetap di Rp5.600/Kg karena biaya produksi sudah Rp5.050/Kg. Kemudian angka HET terlampau tinggi sekali jadi hendaknya diturunkan agar harga beras tidak seperti sekarang ini terlampau mahal di tangan konsumen dan menjadi peluang korporasi-korporasi pangan besar menjadi spekulan di negeri kita ini,” paparnya.

Ia juga melihat kebijakan impor pangan ini tidak berada di momen yang tepat karena saat ini di beberapa wilayah Indonesia tengah panen raya.

“Meskipun ditujukan sebagai CBP dan untuk program bantuan sosial, namun pengumuman impor beras dalam waktu dekat ini pasti berpengaruh, baik itu secara psikologis maupun langsung terhadap harga di tingkat petani. Pemerintah seharusnya belajar dari peristiwa surat edaran badan pangan nasional lalu, yang langsung berimplikasi pada turunnya harga gabah di tingkat petani,” tegasnya.

Henry menambahkan. dasar mengenai diambilnya kebijakan impor tersebut belum dirasa tepat.

“Pertanyaannya apakah memang produksi dalam negeri yang tidak cukup memenuhi kebutuhan nasional, atau memang masalahnya terletak pada ketersediaan anggaran sampai mekanisme penyerapan gabah/beras di tingkat petani? Jika memang terjadi penurunan produksi, akibat bencana banjir maupun hama dan sebagainya, ini harus jelas. Artinya terjadi ketidaksesuaian antara prognosis pemerintah (dalam hal ini BPS) dengan fakta di lapangan,” katanya.

Menurutnya pemerintah masih belum maksimal dalam mengeluarkan kebijakan perberasan yang berpihak pada nasib petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan.

“Mulai dari sisi produksi, kita melihat pemerintah belum maksimal menjalankan reforma agraria yakni meredistribusikan tanah kepada petani Indonesia yang mayoritas gurem. Pemerintah juga belum berhasil menstabilkan harga pupuk maupun sarana produksi lainnya,” tambahnya.

“Belum lagi tidak adanya perlindungan dan jaminan harga yang layak terhadap produksi petani. Ini yang berlarut-larut tak terselesaikan dan membuat semakin ruwet,” imbuhnya.

Henry menekankan, pemerintah terkesan mengambil jalan pintas dengan terus mengandalkan impor pangan untuk mengatasi permasalahan pangan di Indonesia. Hal ini pada prinsipnya semakin menjauhkan pemerintah pada prinsip kedaulatan pangan.

“Kedaulatan pangan seharusnya menjadi paradigma utama pembangunan pertanian di Indonesia. dan hal Ini sebenarnya sudah tercantum di dalam Undang-Undang (UU) Pangan, dimana keharusan untuk mengutamakan produksi dalam negeri dan menjadikan impor sebagai alternatif terakhir. Apakah ini menunjukkan pemerintah sudah mau menerapkan perpu Cipta Kerja yang baru disahkan DPR yang isinya merubah isi pasal UU pangan perihal impor pangan ujarnya,” tutupnya.

Kontak selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668


Berita ini dirilis di berbagai media, seperti:

Koran Tempo, 28 Maret 2023

Bisnis.com, 28 Maret 2023

Koran Tempo, 28 Maret 2023

Bloomberg Technoz, 28 Maret 2023

CNN Indonesia, 28 Maret 2023

Gemapos.id, 28 Maret 2023

ARTIKEL TERKAIT
Hari Tani Nasional 2019: Momentum Presiden Jokowi Lanjutkan ...
Kongres I Gema Petani: Meneguhkan Reforma Agraria, Agroekol...
(Kiri) Ketua Umum SPI Henry Saragih - (Kanan) Presiden RI Joko Widodo Presiden Jokowi, Menteri Pertanian, Gubernur, Bupati Tanam P...
25 Tahun SPI: Berhasil Pertahankan Kawasan Pertanian dari Al...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU