Siaran Pers Bersama: Serikat Petani Indonesia (SPI), Indonesia for Global Justice (IGJ), Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Bina Desa, Solidaritas Perempuan, Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Yayasan Sintesa, Pusat Kajian Agraria dan Hak Asasi Petani (PUSKAHAP) FISIP USU
JAKARTA. Krisis iklim merupakan masalah krusial yang mengancam keberlangsungan hidup umat manusia di seluruh dunia. Dimulai dari 31 Oktober lalu hingga 12 Nopember nanti, COP26 di Glasgow, Skotlandia menjadi salah satu pertemuan yang sangat penting dalam menentukan penanganan krisis iklim tersebut. Merespon COP26, gerakan masyarakat sipil di Indonesia menggelar webinar (07/11) yang bertajuk Situasi Krisis Iklim di Indonesia dan Solusi-Solusi Rakyat menuju Keadilan Iklim.
Ketua Umum SPI Henry Saragih menyampaikan, sejak COP13 tahun 2007 di Bali, SPI bersama La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) mengikuti forum tingkat tinggi tahunan yang melibatkan ratusan negara untuk membicarakan dan menanggulangi isu perubahan iklim global. Pada momen tersebut muncul solusi untuk mengatasi krisis iklim yakni perdagangan karbon. Solusi-solusi yang diambil oleh negara di dunia bukanlah solusi yang permanen, tetapi sebuah solusi yang menimbulkan masalah baru.
“Atas nama mengatasi krisis iklim, perdagangan karbon dilakukan. Hutan-hutan dan tanah yang dikuasai oleh petani diambil alih oleh transnasional atas nama krisis iklim. Begitu juga di pertanian dan pangan. atas nama memenuhi kebutuhan pangan dunia, pertanian diarahkan ke bentuk skala besar, monokultur, industri boros energi yang menggusur pertanian rakyat yang ekologi, dibangun dalam skala lokal-nasional. Ini kenyataan-kenyataan yang kita hadapi saat ini,” paparnya.
Henry menegaskan, akibat dari kerusakan ekologis, adanya eksploitasi terhadap hutan dan alam, baik itu di Sumatera, Kalimantan, mengakibatkan bencana ekologis.
“Para pemimpin dunia yang berhadir di dunia harus sungguh-sungguh mencari solusi konkrit untuk mengatasi krisis iklim. SPI berpandangan ini diwujudkan dengan kedaulatan pangan, dimana pertanian dilakukan secara agroekologis, mendorong pertanian yang bukan monokultur, reforma agraria karena penguasaan sumber agraria yang timpang dan dikuasai segelintir orang, dan pertanian dalam skala lokal-nasional,” tegasnya.
Dani Setiawan, Ketua Harian DPP Kesatuan Nelayan Tradisional (KNTI) menjelaskan, bagi nelayan atau masyarakat pesisir, sebagai produsen utama penyedia protein bagi penduduk dunia, dampak terbesar yang dihadapi oleh nelayan akibat krisis iklim adalah banjir rob.
“Anggota kami melaporkan banyak sekali perkampungan nelayan di Sumatera Utara, pesisir utara pulau jawa dan Jawa Timur, terendam akibar banjir rob dengan intensitas yang sangat tinggi. Begitu juga dengan pembudidaya. Bagi nelayan di Indramayu, banjir rob menggenangi tambak-tambak milik rakyat dan merugikan para nelayan kecil,” keluhnya,
Dani melanjutkan, krisis iklim juga menyebabkan terjadinya perubahan biologis laut. Krisis iklim membuat migrasi ikan semakin jauh, jadi tidak lagi terakses oleh para nelayan kecil dan memaksa harus mencari ke wilayah yang jauh lagi.
“Hilangnya daerah tangkap bagi nelayan akibat cuaca, perubahan peruntukan wilayah-wilayah pesisir (berubah menjadi aktivitas non-perikanan seperti tambang, property, dan lainnya ini memperparah kemiskinan di keluarga nelayan dan juga penurunan jumlah nelayan di Indonesia. Melansir data dari KKP, jumlah nelayan mengalami penurunan dari 3,4 juta menjadi 1,8 juta di tahun 2018. Banyak nelayan yang berpindah profesi, apakah itu ke sektor informal, pergi ke kota, dan sebagainya. Ini akan mengancam kedaulatan pangan dimana nelayan sebagai produsen pangan yang vital,” paparnya.
“Di sisi lain, banyak kearifan lokal yang terbukti berkelanjutan untuk mengatasi dan mengurangi perubahan iklim, dan ini sudah dipraktikan oleh nelayan kecil,” sambungnya.
Pernyataan tersebut didukung oleh Hendarman, Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) SPI Bengkulu. Ia menyampaikan bahwa saat ini petani sulit untuk bercocok tanam akibat sulit untuk memprediksi cuaca yang tidak lagi sesuai dengan kalender pertanian.
Hepy Nur dari KPBI melanjutkan, dalam perspektif buruh isu perubahan iklim memang bukan menjadi isu mainstream yang dibahas. Namun ada beberapa hal yang menjadi perhatian, khususnya buruh di bidang kelistrikan.
“Hal yang ingin kami tambahkan dari aspek buruh adalah penguasaan aset industri atau perusahaan, dalam konteks industri kelistrikan. Ada dorongan yang cukup besar dengan dukungan pendanaan dari Bank Pembangunan Asia (ADB) tentang penghentian pembangkit listrik tenaga fosil. Hal yang kami tekankan adalah adanya transisi yang berkeadilan. Perubahan industi ke arah ramah lingkungan harus memperhatikan nasib pekerja, jangan sampai mengakibatkan pemutusan hubungan kerja bagi buruh,” katanya.
Gunawan dari IHCS menekankan krisis iklim melahirkan spektrum baru konflik agraria, munculnya perampasan tanah dan konflik-konflik agraria baru atas nama pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim.
“Perampasan tanah atas nama lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan juga semakin masif mengingat ruang perampasan tanah terbuka di dalam UU Cipta Kerja. Begitu juga dalam aspek kedaulatan petani. Kita ketahui revisi terhadap UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan dalam UU Cipta Kerja berakibat pada hilangnya pengaturan mengenai investasi di bidang perbenihan. Kita akan didorong untuk menggunakan kekuatan korporasi dibandingkan bersandar kepada kekuatan masyarakat lokal,” katanya.
Parid Ridwanudin dari IGJ menekankan, berapa kali pun COP diselenggarakan, tidak akan mengubah krisis lingkungan hidup global karena kepentingan dagang dan investasi negara-negara maju yang berhimpun dalam G-20 tidak pernah dievaluasi, dikoreksi dan dihentikan. Perdagangan dan investasi yang dijalankan oleh negara-negara G20 selama ini bercorak ekstraktif dan eksploitatif, seperti mendorong deforestasi dan mencemari lautan.
“Dengan demikian, krisis iklim tidak bisa dilepaskan dari wacana dan praktik perdagangan serta investasi antar negara terutama yang didominasi oleh negara-negara yang berhimpun di G-20. Sebanyak 75 persen perdagangan global itu berada di negara-negara G-20. pada saat yang sama 84 persen emisi global dihasilkan dari lalu lintas perdagangan dan investasi ini,” jelasnya.
Parid memaparkan, agenda perdagangan Indonesia dalam kaitanya dengan global value chain pasca omnibus law UU Cipta Kerja adalah mendorong industrialisasi agar tersambung dengan perdagangan internasional. Namun, pada saat yang sama industri Indonesia tetap berpijak pada ekstraktif dan hilirisasi sumber daya alam.
“Sebagai contoh, industrialisasi nikel untuk kepentingan mobil listrik ditujukan untuk memenuhi pasar global kendaraan ramah lingkungan. Tetapi pada saat yang sama memberikan dampak buruk pada masyarakat Indonesia, khususnya di Maluku Utara. Faktanya, berbagai kerusakan mengancam hutan, laut, masyarakat adat, sampai hewan-hewan endemik. Ambisi Indonesia untuk menjadi bagian penting dalam perdagangan internasional, mengorbankan dan menguras habis kelestarian dan ekosistem yang ada,” paparnya.
Parid menambahkan, dalam pelaksanaan COP-26 di paviliun Indonesia terdapat ironi besar, dimana korporasi perusak lingkungan hidup justru menjadi pendukung dan sponsor utama.
“Tidak akan ada kemajuan signifikan dalam COP-26. Karena pemerintah Indonesia menjadikan investasi sebagai jangkar utama kebijakannya, mengundang negara-negara lain dan korporasi skala besar untuk masuk dan merusak sumber-sumber agraria yang ada. Akhirnya, petani, nelayan, masyarakat adat akan terdampak serius,” tambahnya.
Elisha Kartini Samon dari GRAIN menambahkan industri pertanian menjadi penyumbang besar terhadap emisi gas rumah kaca.
“Industri pertanian mulai dari alihfungsi pertanian monokultur, emisi proses produksi, dan penyimpanan dan pengiriman, dilanjutkan dengan penggunaan pestisida dan pupuk kimia secara intensif, model pertanian monokultur, deforestasi, dan jalur perdagangan global,” paparnya.
Kartini menjelaskan, “nature base solution” yang menjadi salah satu solusi yang ditawarkan di COP26 justru merupakan upaya mendorong perampasan lahan yang dimiliki oleh masyarakat adat dan masyarakat yang bergantung pada hutan”
“Climate smart agriculture atau precision agriculture sebagai lobi dari industri pupuk, agar industri pupuk bertahan bahkan dijadikan sebagai solusi atas krisis iklim. Bahkan dalam Global Aliance for Climate Smart Agriculture ini didominasi oleh industri pupuk. Dalam konteks Indonesia, Yara sebagai salah satu industry pupuk dalam aliansi itu akan mampu mengekspor lebih banyak pupuk akibat perjanjian dagang,” paparnya.
Zainal Arifin Fuad dari La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) menambahkan, La Via Campesina aktif untuk mempengaruhi COP. Pada COP di Bali, La Via Campesina bersama gerakan sipil di Indonesia melakukan mobilisasi untuk menolak ini. Begitu juga dengan COP di Paris (penolakan terhadap korporasi Danone), selanjutnya di Madrid dan COP lainnya.
“Solusi yang ditawarkan dalam konferensi perubahan iklim merupakan solusi semu palsu. Solusi tersebut memberikan hak buang angin kepada negara industri yang tetap melanjutkan praktek industrinya yang tidak ramah lingkungan, akibatnya hak asasi petani yang tertuang dalam United Nations Declaration on the Rights of Peasants and Other People Working in Rural Areas (UNDROP – Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Orang Yang Bekerja di Daerah Pedesaan) justru dilanggar,” ungkapnya.
“Solusi yang sebenarnya adalah dengan mengandalkan petani kecil. Petani kecil menurunkan suhu planet. Ini mengapa konsep agroekologi dan kedaulatan pangan menjadi kunci dari gerakan ini. Namun, kita juga perlu mewaspadai korporasi yang juga melakukan adaptasi dengan praktek agroekologi secara monokultur dengan menggusur lahan petani dan masyarakat adat,” sambungnya
Webinar ini juga dihadiri oleh Jyoti Fernandes dari Landworkers Alliance, United Kingdom yang merupakan organisasi anggota dari La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional). Pada kesempatan ini ia menyampaikan tentang perkembangan proses perundingan yang terjadi selama COP26 berlangsung serta protes-protes yang dilakukan saat ini di Glasgow.
Kontak selanjutnya:
Afgan Fadilla, Serikat Petani Indonesia – 081361512131
Parid Ridwanuddin, Peneliti Trade and Climate IGJ – 081237454623