LATAR BELAKANG
Pada tanggal 17 Desember 2018 yang lalu, petani dunia menyambut gembira atas kelahiran Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang hak asasi petani dan masyarakat yang bekerja di pedesaan (United Nations Declaration on the Rights of Peasant and Other People Working in Rural Areas – UNDROP), setelah disahkan teks deklarasi tersebut oleh Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat. Deklarasi PBB ini merupakan sebuah instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) baru yang secara khusus mengatur tentang pengakuan, pemenuhan dan perlindungan HAM yang melekat pada petani dan seluruh masyarakat yang ada di pedesaan.
Indonesia patut berbangga diri sebagai sebuah bangsa, karena UNDROP diinisiasi dan diperjuangkan oleh Bangsa Indonesia melalui Serikat Petani Indonesia (SPI). Sebagai sebuah organisasi petani yang konsisten dalam memperjuangkan kesejahteraan bagi petani di Indonesia, Serikat Petani Indonesia sadar bahwa perjuangannya tidak dapat ditempuh hanya di tingkat nasional tapi juga harus ditempuh di tingkat internasional. Oleh karena itu, Serikat Petani Indonesia terus-menerus menggali arti perjuangan petani dan membentuk proses melahirkannya pada satu set pernyataan-pernyataan hak asasi petani. Selama hampir 20 tahun, Serikat Petani Indonesia bersama gerakan petani internasional La Via Campesina, secara konsisten mengusulkan dan mengawal teks tersebut dalam forum-forum internasional formal maupun non-formal, berhadapan dengan diplomat-diplomat dari berbagai negara untuk menegaskan betapa pentingnya teks tersebut untuk dijadikan sebuah Deklarasi PBB.
Lahirnya UNDROP menambah instrumen HAM dalam kerangka Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ESB) dengan petani dan masyarakat pedesaan sebagai pemegang hak. Sebelum lahirnya UNDROP, hak petani dan masyarakat pedesaan digeneralisir ke dalam instrumen-instrumen HAM lainnya yang sudah ada seperti Konvensi ILO, CEDAW, dan lain-lain, yang menjadikan petani dan masyarakat pedesaan tidak mendapatkan perhatian khusus. Generalisasi tersebut selama ini telah menegasikan peran vital petani terhadap keberlangsungan umat manusia sebagai produsen pangan utama dan sebagai kelompok masyarakat yang memiliki corak khas dalam pandangan sosial dan budayanya. Akibatnya, tindakan-tindakan yang merugikan petani seperti perampasan lahan dan kriminalisasi tidak menjadi konsentrasi utama atau hanya dipandang sebagai tindakan pelanggaran hukum biasa. Keberadaan UNDROP menjadi ruang khusus bagi petani dan masyarakat pedesaan agar hak-haknya diakui, dihormati dan dilindungi, sehingga dapat terus memberi makan untuk seluruh umat manusia dan mewujudkan kedaulatan pangan.
Hak Asasi Petani: Dari Petani ke Masyarakat Dunia
Perjuangan Hak Asasi Petani tidak terlepas dari realitas yang dialami oleh kaum tani di Indonesia. Selama pemerintahan Orde Baru, masalah-masalah yang mengancam kelangsungan hidup kaum tani dan masyarakat pedesaan, seperti konflik agraria, fenomena perampasan tanah, sampai dengan hambatan-hambatan untuk mengakses faktor-faktor produksi pertanian seperti tidak ada habisnya, dan mendesak untuk segera diselesaikan. Hal ini kemudian mendorong sebuah kesadaran mengenai pentingnya pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak yang melekat pada petani di tataran organisasi tani maupun LSM pegiat agraria di Indonesia.
Untuk membakukan dan merumuskan kesadaran tersebut menjadi sebuah kerangka perjuangan, diadakan Konferensi Nasional Pembaharuan Agraria untuk Pemenuhan dan Perlindungan Hak Asasi Petani di Cibubur, Jawa Barat pada tanggal 17 hingga 20 April 2001 (selanjutnya disebut dengan Konferensi Cibubur) yang diselenggarakan oleh Komnas HAM bersama Serikat Petani Indonesia dan organisasi masyarakat sipil, LSM serta akademisi/pegiat agraria di Indonesia.
Konferensi Cibubur menghasilkan beberapa dokumen dan keputusan penting dalam membentuk kerangka awal UNDROP, yakni ‘Deklarasi Hak-Hak Asasi Petani Indonesia’ yang terdiri dari 8 Bagian, dan 67 butir mengenai upaya pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi petani di Indonesia. tidak hanya itu, tanggal 20 April kemudian diperingati sebagai ‘Hari Hak Asasi Petani Indonesia’.
Formalisasi HAP dalam internal organisasi LVC dimulai pada tahun 2002, ketika Serikat Petani Indonesia membawa HAP hasil rumusan Konferensi Cibubur ke Rapat Regional LVC Asia Tenggara dan Asia Timur di Jakarta. Rapat Regional kemudian menghasilkan Deklarasi Pemenuhan dan Perlindungan Hak Asasi Petani. Hal ini menjadi progres tersendiri karena telah membawa isu HAP di Dunia Internasional.
Setelah rapat regional ini, La Via Campesina bersama dengan FoodFirst Information and Action Network (FIAN) Internasional dan Eropa beserta Centre Europe-Tiers Monde (CETIM) mulai membuat laporan terkait pelanggaran-pelanggaran hak asasi petani yang dipresentasikan di hadapan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada tahun 2004, 2006 dan 2008. Kemudian, momen selanjutnya adalah Konferensi Internasional Hak Asasi Petani di Jakarta pada tahun 2008 yang dihadiri oleh ratusan organisasi-organisasi anggota La Via Campesina di dunia serta ribuan anggota SPI. Setelah konferensi ini, naskah dibawa ke forum pengambilan keputusan tertinggi La Via Campesina, yakni Konferensi ke-5 La Via Campesina di Maputo, Mozambik.
Pada tahun 2007-2008, terjadi krisis pangan dunia yang diakibatkan oleh ekonomi spekulasi dan ektratif yang lepas dari pengawasan negara. Pada saat itu, pangan sebetulnya cukup untuk seluruh penduduk dunia, namun nyatanya tidak. Problemnya bukan soal ketersediaan pangan, namun tidak adanya kejelasan dan penguatan peran hak asasi manusia. Ketika krisis pangan terjadi, Majelis Umum PBB di New York dan Dewan Hak Asasi Manusia di Jenewa membentuk “High-Level Panel on the Global Food Crisis and the Right to Food” dimana La Via Campesina diminta untuk segera bersama pelaku penting lainnya menilik krisis pangan dan membangun kerangka hak asasi manusia. La Via Campesina menjawab bahwa hak asasi petani adalah mendasar dalam perang melawan kelaparan dan diskriminasi terhadap penduduk pedesaan di seluruh dunia. Perlindungan hak asasi petani ini secara langsung membangun perlindungan pangan dunia, perlindungan sumber daya penting untuk semua, dan perlindungan sistem pangan yang berkeadilan. Pada tahun 2009, Badan Penasihat Dewan HAM PBB (Advisory Council) melakukan studi tentang diskriminasi hak asasi petani dalam konteks hak atas pangan. Pada bulan Maret 2012, Badan Penasihat ini lalu mempresentasikan studi lebih lanjut tentang pemajuan hal-hak asasi petani. Komite Penasihat akhirnya merekomendasikan agar Dewan HAM PBB untuk membentuk kelompok kerja antarnegara (intergovernmental working group) untuk menegosiasikan dan memfinalisasi sebuah naskah Deklarasi PBB yang mengatur tentang hak asasi petani dan masyarakat yang bekerja di pedesaan.
Dalam proses formal yang berlangsung dari tahun 2013 hingga 2018 tersebut, diplomasi yang dilakukan Serikat Petani Indonesia dalam gerakan petani La Via Campesina adalah cerminan cita-cita perjuangan Asia-Afrika. Serikat Petani Indonesia melihat cita-cita itu terus hidup dalam perjuangan hak asasi petani. Bangsa-bangsa Asia-Afrika segera memandanga pentingnya perjuangan hak asasi petani ini. Bangsa-bangsa seperti India, Afrika Selatan, Mesir, Aljazair, Filipina, diantaranya, langsung menyambut perjuangan ini. Diplomasi Indonesia pun menjadi titik temu dari perjuangan ini. Baik perwakilan pemerintah Indonesia, dan Serikat Petani Indonesia melakukan upaya-upaya yang secara efektif mendorong Asia-Afrika untuk membentuk hak asasi petani ini menjadi hukum internasional. Bersama dengan itu, bangsa-bangsa Amerika Latin, Eropa, Timur-Tengah juga segara melihat upaya perlindungan hak asasi petani ini amat mendasar untuk memperkuat PBB. Peran-peran petani dan masyarakat pedesaan diakui menjadi pembentuk hukum internasional yang melindungi petani dan masyarakat pedesaan dan melestarikan bumi bagi semua.
TUJUAN KEGIATAN
WAKTU DAN TEMPAT
Hari/Tanggal : Rabu, 22 April 2019
Tempat : Gedung YTKI, Jln. Gatot Subroto No. 44, Kota Jakarta Selatan, DKI Jakarta
SUSUNAN ACARA
09.30 – 09.45 WIB : Pembukaan: Menyanyikan lagu Indonesia Raya
09.45 – 10.00 WIB : Kata Sambutan dari Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih
10.00 – 10.15 WIB : Hiburan
10.15 – 11.15 WIB : Seminar:
“Sejarah Hak Asasi Petani di Indonesia”, HS Dillon
“Perjuangan Petani di PBB: Proses formalisasi Hak Asasi Petani dalam Pembuatan Keputusan Internasional”, Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI)
“Deklarasi Hak Asasi Petani dan Orang-Orang yang Bekerja di Pedesaan sebagai Instrumen HAM untuk perlindungan petani di Indonesia”, Ahmad Taufan Damanik, Ketua Komnas HAM RI
Moderator: Zainal Arifin Fuad, Ketua Departemen Luar Negeri, DPP SPI