Solidaritas: Dua Petani Tewas, Konflik Agraria PT. PG Rajawali II Kembali Korbankan Petani

JAKARTA. Bentrokan petani di perbatasan Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Indramayu, Jawa Barat yang terjadi padaSenin 4 Oktober 2021 lalu mengakibatkan meninggalnya dua korban jiwa. Bentrokan tersebut adalah buntut dari konflik antara petani tebu mitra PT. Pabrik Gula (PG) Rajawali II Unit Jatitujuh yang merupakan Anak Perusahaan dari BUMN PT. Rajawali Nusantara Indonesia (PT RNI) dengan petani yang tergabung dalam F-KAMIS (Forum Komunikasi Masyarakat Indramayu Selatan). Konflik ini dimulai sejak PG Rajawali II menjalankan program kemitraan dengan 22 desa penyangga di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Majalengeka. Kemitraan PG Rajawali II menjadi bermasalah karena diduga tanah yang dimitrakan tersebut adalah tanah yang sudah dikuasai oleh petani. Hal inilah yang menjadi akar konflik agraria.

Menanggapi situasi ini, Angga Hermanda Ketua Departemen Politik, Hukum dan Keamanan Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia (DPP-SPI) menyatakan, di tengah pemerintah terus berupaya menunaikan reforma agraria dan percepatan penyelesaian konflik agraria, bentrokan di lapangan yang menyebabkan korban jiwa dan korban kekerasan semestinya bisa dihindarkan.

“Pelepasan kawasan hutan menjadi Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan PG Rajawali II harus dikaji ulang. Demikian juga pihak-pihak yang berkepentingan terhadap tanah konflik, terutama penelusuran dugaan adanya mafia tanah,” papar Angga dari Jakarta pagi ini (13/10).

Angga menerangkan, pemerintah terutama Kementerian Kehutanan dan lingkungan Hidup, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan pemerintah daerah seharusnya duduk bersama untuk segera menyelesaikan konflik agraria ini dengan meredistribusikan sebagian HGU PG Rajawali II kepada petani-petani yang tak bertanah di perbatasan Kab. Indramayu dan Kab. Majalengka.

“Dengan demikian konflik horizontal antar masyarakat tidak kembali terjadi, mengingat inti dari bentrokan adalah ketimpangan”, tegasnya.

Angga memaparkan, pada 22 September 2021 di Istana Bogor, Presiden sudah mengingatkan bahwa pemerintah berkomitmen penuh dalam memberantas mafia-mafia tanah dan menginstruksikan jajaran Polri untuk memperjuangkan hak masyarakat serta menegakkan hukum secara tegas dalam penyelesaian konflik agraria di Tanah Air.

“Kepolisian diminta jangan ragu-ragu mengusut mafia-mafia tanah yang ada dan jangan sampai ada aparat penegak hukum yang mem-backingi mafia tanah. Jangan malah mengambinghitamkan petani,” tekannya.

Angga Hermanda (memegang microphone)

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia (DPW-SPI) Jawa Barat, Tantan Sutandi, menerangkan, sejak program kemitraan berjalan tahun 2018, setidaknya sudah tercatat 4 orang petani meninggal dunia.

“Sementara korban luka tidak terhitung dan tidak ada pertanggung-jawaban dari pihak-pihak yang berkepentingan terhadap tanah tersebut. Sementara petani selalu dikorbankan, baik petani yang tergabung dalam F-KAMIS (Forum Komunikasi Masyarakat Indramayu Selatan), maupun petani mitra perusahaan,” ujar Tantan.

Tantan memaparkan, jika ditelusuri lebih jauh asal usul tanah PG Rajawali II berasal dari pelepasan kawasan hutan yang dikelola Perum Perhutani KPH Majalengka dengan luas sekitar 20.396 hektare. PT PG Rajawali II kemudian mengolah tanah tersebut menjadi perkebunan tebu untuk kepentingan industri gula nasional. Di sisi lain masyarakat sekitar terutama petani yang tidak memiliki tanah atau yang bertanah sempit sulit membangun kehidupan, bahkan untuk menanam tanaman pangan.

“SPI mengutuk konflik agraria yang tak kunjung diselesaikan, yang terus menerus mengorbankan petani di Kab. Indramayu dan Kab. Majelengka. Bentuk kemitraan yang digagas Perhutani maupun PG Rajawali II sesungguhnya tidak mengentaskan kemiskinan. Petani mitra dipaksa menanam tebu dan kayu putih dibandingkan menanam tanaman pangan semisal padi,” paparnya

“Bahkan berdasarkan informasi dari lapangan, petani yang menanam padi kerap diancam jika tidak bermitra dengan Perhutani maupun PG Rajawali II, tanah mereka akan dirampas,” pungkas Tantan.

Oleh karena itu Angga kembali mengingatkan, berbagai konflik agraria yang terus memanas mengharuskan Presiden mengambil langkah tegas, integerasi antar kementerian/lembaga untuk melaksanakan reforma agraria dan mempercepat penyelesaian konflik agraria belum kuat. Lembaga yang ada seperti Tim Reforma Agraria Nasional dan Gugus Tugas Reforma Agraria masih berfokus pada kegiatan sertipikasi tanah, belum mengarusutamakan penyelesaian konflik agraria yang struktural dan mendesak.

“Oleh karena itu, tak bisa ditunda-tunda lagi, Presiden mesti membentuk dan memimpin langsung kelembagaan khusus untuk mencapai target reforma agraria 9 juta hektare dan mempercepat penyelesaian konflik agraria,” tutupnya.

Kontak Selanjutnya:
Angga Hermana – Ketua Departemen Politik, Hukum dan Keamanan Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia (DPP-SPI) – 0812 8383 5818
Tantan Sutandi – Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) SPI Jawa Barat – 0822 4674 6954

ARTIKEL TERKAIT
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU