JAKARTA. Serikat Petani Indonesia (SPI) menolak rencana pemerintah untuk mengembangkan benih kedelai rekayasa genetik atau genetic modified organism (GMO) di Indonesia. Sebelumnya, kemarin (19/09), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dalam keterangannya pasca rapat tertutup terkait tata kelola dan peningkatan produktivitas kedelai, menyebutkan upaya untuk peningkatan produktivitas kedelai di Indonesia akan menggunakan bibit GMO.
Ketua Umum SPI, Henry Saragih menegaskan, SPI menolak mentah-mentah rencana ini.
“Sejak SPI berdiri tahun 1998, kita selalu menolak tegas rencana pemerintah untuk melanggengkan penggunaan benih GMO ini. Pada masa pemerintahan SBY kita sudah menghentikannya. Demikian juga pada masa pemerintahan Jokowi sekarang. Pada tahun 2016 yang lalu, perusahaan benih internasional sudah sempat mendoronh pemerintah untuk melepas benih jagung GMO mereka NK 603,” kata Henry dari Medan, Sumatera Utara siang ini (20/09).
Henry menekankan, pengembangan GMO di Indonesia harus ditolak mengingat benih GMO sendiri masih kontroversial dan akan berdampak langsung bagi kehidupan petani di Indonesia.
“Kami memandang ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah terkait benih GMO ini. Pertama, benih GMO masih kontroversial dari aspek kesehatan dan belum sepenuhnya aman. Informasi yang kami dapatkan, beberapa negara di Eropa bahkan melakukan moratorium terkait penggunaan benih GMO karena memiliki dampak jangka panjang bagi kesehatan manusia, seperti berpotensi menimbulkan kanker,” ujarnya.
“Kedua, benih GMO berpotensi merusak lingkungan serta mengancam keanekaragaman benih lokal yang ada di Indonesia. Kehadiran benih GMO akan menghilangkan keragaman hayati benih nusantara. Kita ketahui dulu ada berbagai varietas kedelai yang umum di Indonesia, seperti gepak ijo, gepak kuning, dan galunggung. Ada juga varietas kedelai wilis yang bijinya besar-besar dan sekarang ada kedelai grobogan,” paparnya.
“Penggunaan benih GMO yang semata-mata mengandalkan produktivitas panen jelas akan mengancam eksistensi dari varietas kedelai lokal,” sambungnya.
Henry meneruskan, alasan ketiga adalah GMO yang diproduksi oleh korporasi akan membuat ketergantungan baru bagi petani di Indonesia.
“Produksi benih GMO yang dikontrol oleh korporasi akan membuat ketergantungan baru bagi petani di Indonesia. Hal ini membuat petani tidak berdaulat atas benihnya sendiri karena selanjutnya akan terus bergantung, padahal benih adalah faktor produksi utama di sektor pertanian,” tegasnya.
Ia menyebutkan upaya pemerintah mengintrodusir penggunaan kedelai GMO merupakan solusi palsu dan menunjukkan ketidakpahaman pemerintah atas permasalahan utama terkait produksi kedelai nasional.
“Kami ingin mengingatkan kembali janji-janji yang sudah diusung oleh pemerintah terkait kedaulatan pangan di Indonesia, yakni program 1.000 Desa Mandiri Benih dan 1.000 Desa Organik. Logikanya bagaimana mungkin kemandirian benih bisa tercapai kalau benih GMO perusahaan terus didorong. Ini adalah kemandirian palsu karena petani ditempatkan sebagai konsumen benih,” imbuhnya.
Henry menekankan, pemerintah harus menutup rapat-rapat wacana pengembangan benih GMO dengan dalih peningkatan produksi pertanian di Indonesia.
“Pemerintah seharusnya mengatasi persoalan-persoalan yang mendasar terlebih dahulu terkait produktivitas pertanian. Seperti misalnya ketersediaan tanah bagi petani, kita ketahui bahwa petani kita sampai saat ini mayoritas gurem. Belum lagi tingginya angka konflik agraria, sehingga petani tidak bisa fokus untuk bertani dan memproduksi pangan untuk komunitas sekitarnya. Ini salah satu masalah mendasar yang harusnya diperbaiki terlebih dahulu,” paparnya.
“Lalu terkait produktivitas, apakah solusinya harus melalui benih GMO? Saya pikir tidak. Pemerintah seharusnya berfokus pada hal-hal yang dapat meningkatkan minat petani lokal menanam kedelai. Misalnya mengenai jaminan harga, karena selain soal produktivitas yang rendah, harga kedelai lokal juga di bawah pangan lainnya. Jika tidak, petani lebih memilih untuk menanam tanaman lainnya,” sambungnya lagi.
“Belum lagi kerja-kerja dari balai pertanian untuk mengembangkan dan penanganan benih lokal, sehingga produktivitasnya dapat meningkat. Termasuk menjajaki alternatif jenis pangan lainnya, seperti kacang koro untuk bahan pangan,” tambahnya.
Henry menambahkan, SPI mendorong pemerintah untuk meneruskan upaya pelaksanaan reforma agraria dan kedaulatan pangan dengan sungguh-sungguh sehingga para petani dan produsen pangan skala kecil lainnya di perdesaan dapat menyimpan, memproduksi dan menukar dan menjual benihnya sendiri demi menjaga keragaman hayati dan kedaulatan pangan.
“Demikian hak petani kecil atas benih sebagaimana yang termaktub dalam Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Masyarakat yang Bekerja di Pedesaan (UNDROP) dan Hak Petani atas Benih Traktak Benih FAO (ITPGRFA), serta UU No.18/2019 tentang Sistem Budidaya Tanaman Berkelanjutan,” tutupnya.
Kontak selanjutnya :
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668