JAKARTA. Meskipun Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) telah diputuskan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, pemerintah masih terus mengimplementasikannya hingga saat ini. Adapun implementasi yang sejauh ini dilakukan – seperti yang telah diperkirakan oleh gerakan rakyat – telah berdampak negatif kepada ruang hidup masyarakat, khususnya masyarakat yang bergantung pada sumber-sumber agraria. Contoh dampak-dampak tersebut diungkapkan oleh dalam webinar yang bertajuk Eskalasi Konflik Agraria Pasca Lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja yang diselenggarakan pada Hari Jum’at, 9 September 2022 lalu.
Sarwadi sebagai perwakilan petani Jambi yang sekaligus Ketua Tim Reforma Agraria Serikat Petani Indonesia menyampaikan dalam webinar tersebut bahwa UUCK merupakan undang-undang yang bertentangan dengan pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia.
“UU Cipta Kerja mengandung pasal-pasal yang sifatnya anti reforma agraria, seperti mengenai Hak Pengelolaan, Bank Tanah, Hak Sarusun bagi Orang Asing, dan legalisasi keterlanjuran korporasi yang selama ini tidak memiliki izin” ungkapnya.
Sarwadi juga menyampaikan bahwa konflik agraria di Jambi semakin meningkat pasca lahirnya UUCK. Konflik ini berujung pada upaya kriminalisasi terdap petani.
“Saat ini, konflik agraria yang dialami oleh petani anggota SPI di Jambi dengan perusahaan-perusahaan perkebunan semakin memuncak. Akibat penerapan UUCK para petani terpaksa harus berhadapan dengan upaya-upaya kriminalisasi, seperti yang dialami oleh 3 orang petani di Pandan Lagan, Jambi yang terpaksa harus berurusan dengan kepolisian, bahkan sempat ditahan tanpa kejelasan. Peristiwa ini juga terjadi di daerah Sukamaju, Rantau Karya dan Merbau, bahkan di Merbau, salah seorang petani telah ditetapkan menjadi tersangka. Upaya-upaya kriminalisasi ini dilakukan atas nama UUCK yang kontra dengan perjuangan petani untuk melaksanakan reforma agraria,” ungkap Sarwadi.
Tidak hanya dalam konteks perkebunan, dampak UUCK juga dirasakan oleh para nelayan kecil. Budi Laksana, Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia, menyampaikan bahwa selain dampak kerugian besar bagi penghidupan para petani, UUCK juga mengabaikan perlindungan terhadap nelayan kecil.
“UU Cipta Kerja membatasi wilayah tangkap dan komoditas bagi nelayan. Jadi misalnya nelayan asal Jawa pergi ke Sumatera, yang biasanya diberikan kebebasan tetapi sekarang dibatasi. Ini ada 3 nelayan asal Cirebon yang berangkat ke Sumatera lalu ditangkap karena perizinannya hanya di Jawa. Ini tidak sesuai dengan karakter asli nelayan kita yang berpindah tempat. Belum lagi, perlindungan terhadap nelayan kecil menjadi terabaikan karena UUCK tidak membedakan antara nelayan kecil, nelayan besar, investasi asing, dan lain sebagainya, itu semua sama di dalam UU Cipta Kerja. Jadi di bawah peraturan ini banyak yang berlindung di balik atas nama nelayan: nyatanya mereka memberi keleluasaan kapal 300 GT bersaing dengan kapal kecil,” tegas Budi.
Kemudian bagi masyarakat adat, UUCK ini juga menjadi ancaman yang serius. Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara menyampaikan bahwa UUCK dibangun dengan narasi perlunya korporasi dalam rangka membuka lapangan kerja. Sementara pekerjaan oleh masyarakat adat merupakan pekerjaan tradisional yang turun-temurun dilakukan.
“Pekerjaan tradisional ini sudah diakui di dalam konvensi internasional ILO 111 tentang perlindungan pekerja tradisional yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Ini termasuk: petani, peladang tradisional, dan lain-lain. UU Cipta Kerja melihat pekerjaan-pekerjaan itu bukan sebagai ‘pekerjaan utama” ungkapnya.
Arman juga menambahkan bahwa UUCK secara nyata mendudukkan masyarakat adat sebagai entitas yang bisa diusir dari wilayah adatnya dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak adatnya.
“Seperti proyek pembangunan bendungan di Rendu yang dilaksanakan tanpa persetujuan masyrakat adat dan pembangunan IKN yang sekurang-kurangnya berdampak langsung pada 22 komunitas masyarakat adat. Jika kita lihat di dalam UU IKN, itu sudah merupakan implementasi dari UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya. Misalnya: pengadaan tanah untuk kepentingan umum, bank tanah, dan sebagainya”
Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) menegaskan bahwa “UU Cipta Kerja pasca Putusan MK telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan cacat formil dalam proses pembentukannya. Ini menandakan bahwa UU Cipta Kerja tidak berlaku sementara sampai ada perbaikan yang melibatkan partisipasi publik dan ruang demokratis bagi rakyat dalam proses pembentukan per-UU. Karenanya, UU Cipta Kerja ini tidak bisa dijadikan landasan hukum dalam implementasinya sebelum diubah sesuai dengan Putusan MK tersebut. Terlebih lagi dalam urusan agraria, tidak boleh mengkriminalisasi hak-hak masyarakat yang diambil dari UU Cipta Kerja sebagai landasan hukumnya. Karena, kalau masih dilakukan berarti Pemerintah telah melakukan pembangkangan konstitusional atas Putusan MK tersebut,” tegas Maulana.
Sebagai penutup dalam Webinar ini, Mujahid Widian Saragih, Ketua Departemen Pengkajian Strategis Serikat Petani Indonesia, menjelaskan bahwa webinar ini diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional 2022 yang tujuannya mengamplifikasi suara-suara masyarakat yang terdampak dari adanya UUCK.
“Webinar ini diselenggarakan atas kerjasama antara Serikat Petani Indonesia dan Indonesia for Global Justice, yang mana keduanya termasuk ke dalam Komite Rakyat untuk Transformasi Sistem Pangan. Webinar ini juga merupakan satu dari 2 webinar yang dilaksanakan dalam rangka menuju Hari Tani Nasional tanggal 24 September Nanti. Adapun webinar kedua akan diselenggarakan pada tanggal 15 September 2022 yang juga akan mengangkat topik Dampak UUCK namun dikhususkan terhadap petani pemulia benih,” tutup Mujahid.
Kontak:
Mujahid Widian Saragih, Serikat Petani Indonesia (SPI) – 0813-7523-9059*
Rahmat Maulana Sidik, Indonesia for Global Justice (IGJ) – rahmat.maulana@igj.or.id