JAKARTA. Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) menggelar webinar internasional, memperingati Hari Perjuangan Petani Internasiona secara daring (20/04). Webinar ini sendiri bertemakan “Memperkuat Perlawanan Terhadap Perdagangan Bebas & Perjanjian Investasi di Asia Tenggara”.
Ketua Umum SPI Henry Saragih dalam sambutannya menyampaikan La Via Campesina (La Via Campesina) menyelenggarakan konferensi ke-II di Txacala, Mexico pada tahun 1996. Pada konferensi itu, pembahasan mengenai reforma agraria sangat kuat, karena menjadi momok bagi petani di berbagai wilayah dunia. Selain itu ada isu GMO (Genetically Modified Organism), dan yang tak kalah hebatnya adalah isu WTO (World Trade Organization, Organisasi Perdagangan Dunia) yang berdiri pada tahun 1995.
“Di tengah kita menyelenggarakan konferensi itu, di Roma juga akan melaksanakan World Food Summit (WFS), Pertemuan Pangan Sedunia. Begitulah, di tengah peristiwa-peristiwa tersebut, terjadi pembantaian terhadap 19 orang petani di Brazil tewas ketika mempertahankan tanahnya. Pembantaian ini ironisnya dilakukan oleh aparat negara. Sejak tahun 1996 itulah, kita memperingati 17 April sebagai Hari Perjuangan Petani Internasional, sampai sekarang,” kata Henry dari Medan, Sumatera Utara.
Henry menjelaskan, kelahiran WTO juga menimbulkan krisis yang lebih luas, tidak hanya petani tetapi juga bagi lingkungan. Dunia bukan menjadi lebih baik dan tidak menjadi lebih adil sejak hadirnya WTO. Kemiskinan dan kelaparan merebak.
“Meskipun perjuangan dan perlawanan kita sudah kuat dan meluas, tetapi WTO masih eksis sampai saat ini. Kita ketahui WTO di Indonesia telah berhasil mempengaruhi pemerintah Indonesia untuk membuat UU Cipta Kerja, dan menghapus ketentuan mengenai impor pangan yang diatur di dalam UU Pangan dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Syukurlah perjuangan kita melalui judicial review, berhasil membatalkan UU Cipta Kerja,” papar Henry.
Henry menambahkan, di tingkat internasional, perdagangan regional menjadi semakin masif untuk mempromosikan perdagangan bebas.
“Bulan Juni nanti, WTO akan melakukan pertemuan Menteri di Jenewa. Kita selaku petani, akan terus melawan dan menentang pertemuan Menteri itu dilakukan,” sambungnya.
Sementara itu, webinar ini sendiri mengundang beberapa pembicara yakni Zainal Arifin Fuad (SPI), Rahmat Maulana Sidik dari Indonesia for Global Justice (IGJ), Joseph Purugganan dari Focus On The Global South, Filipina, dan Anni Mittin dari Panggau Malaysia.
Dalam paparannya, Joseph Purugganan menyampaikan, saat ini WTO melakukan reformasi karena mereka khawatir, pandemi dan covid membuat negara-negara dunia menjadi lebih protektif.
“Poin kunci mengenai reformasi WTO, terdapat pemahaman bahwa WTO perlu direformasi, tetapi tetap ditujukan mengakomodasi kepentingan bisnis dan bagian dari sistem perdagangan global,” katanya.
Ia juga menggarisbawahi mengenai kekuatan korporasi yang berbanding lurus dengan meningkatnya kekerasan dan pelanggaran HAM, impunitas korporasi, dan corporate capture (intervensi dari korporasi dalam pembuatan kebijakan dan peraturan perundang-undangan di suatu negara);
“Arah dari kebijakan nasional dipengaruhi korporasi ini. Hal ini kita lihat semakin dipengaruhi, dan pada kenyataannya terjadi liberalisasi sektor ekonomi (yang menjadi semakin menjadi-jadi) dengan mengatasnamakan respon terhadap penanggulangan krisis dan pandemi,” katanya.
Sementara itu, Rahmad Maulana Sidik mengemukakan, IGJ mencatat puluhan daftar perjanjian perdagangan bebas yang tengah diikuti oleh Indonesia, baik dalam tahap pembahasan maupun proses ratifikasi. Salah satunya yang harus dikritisi dan mendapat perhatian penuh adalah RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) yang saat ini memasuki tahapan ratifikasi. Terdapat beberapa alasan mengapa hal ini harus dikritisi, yakni karena proses negosiasi yang tidak transparan dan tidak adanya partisipasi publik.
“Salah satu dampak dari RCEP adalah di sektor Perlindungan Varietas Tanaman (PVT): Indonesia akan dipaksa untuk merevisi UU PVT, dan dipaksa bergabung dengan UPOV (International Union for the Protection of New Varieties of Plants). Hal ini perlu untuk membuka alur investasi di sektor pertanian, khususnya hak paten yang akan dilegitimasi. Dampak yang paling membahayakan adalah semakin membatasi kreasi petani Indonesia, khususnya pengetahuan terkait benih,” keluhnya.
Dalam kesempatan yang sama, Anni Mittin menjelaskan, Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP) didesain agar dapat ramah terhadap kepentingan investor. CPTPP Saat ini sudah ditandatangani oleh 11 negara seperti Australia, Jepang, Canada, Singapura, dan termasuk di dalamnya Malaysia.
“Salah satu dampak dari CPTPP adalah liberalisasi sektor pertanian di Malaysia. Kami melihat bagaimana seluruh perjanjian perdagangan bebas di dalam CPTPP bertujuan untuk melanggengkan hasil ekspor yang dimiliki, utamanya adalah kelapa sawit (CPO) dan komoditas perkebunan,” keluhnya.
Anni memaparkan dampak CPTPP bagi petani Malaysia antara lain akan ada dampak terhadap kuota dan izin impor yang semakin dipermudah, bahkan berpotensi menjadi bebas biaya. Selanjutnya subsidi ekspor untuk ekspor pertanian akan dikurangi, bagi petani ini akan berdampak pada biaya yang ditanggung oleh petani. Dampak berikutnya mengenai benih, yakni Malaysia didorong untuk bergabung dalam UPOV91, yang berdampak pada hak-hak petani atas benih (menyimpan, membagikan, menukar, dan perlindungan benih).
“CPTPP tidak hanya soal ekonomi, tetapi lebih dari itu. terdapat elemen-elemen lain yang mengancam kedaulatan petani seperti kemiskinan, perlindungan lingkungan. Tantangan yang harus kita jawab adalah bagaimana CPTPP sendiri masih belum banyak dipahami oleh para pihak (parlemen, aparatur negara, dan politisi),” paparnya.
“Kami di Panggau mempromosikan pertanian keluarga dan hak-hak masyarakat adat. Kita perlu juga mendorong agar hak petani, tidak hanya aman tetapi juga untuk mengelola hak atas pangan mereka menjadi lebih efektif,” sambungnya.
Sementara itu, Zainal Arifin Fuad, Ketua Departemen Luar Negeri DPP SPI menyampaikan, konteks Asia sebagai pusat ekspansi tinggi: jumlah penduduk asia yang sangat tinggi, hampir 6 milyar merupakan target pasar yang sangat potensial.
“Itu mengapa kapitalisme akan memaksa negara-negara di Asia menjadi lebih liberal. Ini menyangkut sumber-sumber agraria (tanah, air, tambang), sampai dengan institusi negara yang diliberalisasi dan diprivatisasi,” katanya.
Zainal yang juga merupakan anggota Komite Koordinasi Internasional La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) menambahkan, La Via Campesina telah mengeluarkan panggilan untuk aksi di bulan Juni nanti di Jenewa.
“Seruan ini ditujukan agar kita melakukan aksi di negara masing-masing, tetapi juga bisa melakukan aksi virtual di regional. Tadi juga ada usulan dari Ketua Umum SPI untuk meningkatkans eskalasi perjuangan menuju agenda di Jenewa bulan Juni nanti. Ini sudah dimulai oleh anggota LVC di Korea oleh Korean Peasant League (KPL), yakni aksi menolak CPTPP,” tutupnya.
Kami hanya berharap bagaimana cara mengolah lahan kami agar produktif sebab sebagian besar lahan kami tertidur. Tidak termanfaatkan dengan baik tolonglah SPI membantu desa kami.