Siaran Pers Bersama GERAK LAWAN (Gerakan Rakyat Melawan Neokolonialisme-Imperialisme) : Serikat Petani Indonesia (SPI), Indonesia for Global Justice (IGJ), Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Solidaritas Perempuan, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Perikanan (KIARA), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Bina Desa.
JAKARTA. Gabungan organisasi masyarakat sipil yang terhimpun dalam Gerak Lawan mengecam kehadiran World Trade Organization (WTO, organisasi perdagangan dunia) dengan kebijakan yang merugikan nasib rakyat kecil. Kehadiran WTO bukan melahirkan solusi atas problematika rakyat di negara berkembang-kurang berkembang, justru menghadirkan kesenjangan mendalam bagi pembangunan dan arah ekonomi di negara berkembang-kurang berkembang.
Koalisi memahami bahwa walaupun KTM ke-12 WTO yang seharusnya dilaksanakan pada 30 November – 3 Desember 2021 ditunda pelaksanaannya karena adanya varian virus baru. Namun, perundingan di WTO masih terus berlangsung. Di mana negosiasi yang dilangsungkan itu justru memperkuat dominasi negara maju dalam ekspansi perdagangan global ketimbang mendorong agenda pembangunan negara berkembang-kurang berkembang.
Penolakan ini diwujudkan dengan melakukan aksi damai di depan gedung Kementerian Perdagangan RI dan kantor Kedutaan Besar Swiss di Jakarta (30/11).
Afgan Fadilla dari SPI menyatakan, mekanisme perdagangan dan investasi bebas yang diusung oleh WTO hanya akan menguntungkan bagi korporasi-korporasi pertanian dan pangan karena dibutuhkan kapital yang besar untuk mengikutinya.
“Imbasnya, produk pertanian dan pangan dikuasai oleh korporasi sedangkan petani kecil harus bergantung kepada korporasi atau tergusur. Belum lagi, kebijakan impor yang menjadi turunannya akan terus mengancam kesejahteraan para petani kecil yang ada di Indonesia”, kata Afgan.
Rahmat Maulana Sidik, Kepala Departemen Advokasi IGJ mengatakan, kehadiran WTO sebenarnya tidak ada relevansinya dalam menjawab ketimpangan sosial rakyat. WTO hanya menjadi alat bagi negara maju untuk mendorong isu yang mendukung kepentingan ekonomi-bisnis mereka. Hal itu tampak jelas dengan isu-isu yang didorong oleh negara maju seperti Reformasi WTO, subsidi perikanan, Joint Statement Initiative E-commerce yang dikebut pembahasannya karena didalamnya dominan kepentingan negara maju.
“Sementara negosiasi isu pertanian yang mengusulkan subsidi pertanian bagi petani di negara berkembang-kurang berkembang, serta isu TRIPS Waiver yang diusulkan proposalnya oleh Afrika-India masih mandek pembahasannya bahkan jauh dari kesepakatan bersama. Hal ini menunjukkan WTO sebenarnya tidak sensitivitas terhadap isu kemanusiaan terlebih lagi isu-isu ketimpangan di negara berkembang-kurang berkembang,” paparnya.
Rahmat Maulana melanjutkan, IGJ juga menyoroti isu ketimpangan akses vaksin yang hingga kini masih terus menjadi permasalahan global. Ketimpangan akses vaksin masih akan terus terjadi apabila praktek monopoli paten oleh perusahaan farmasi masih terus dipertahankan di bawah aturan TRIPS WTO. TRIPS (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights) adalah perjanjian yang menetapkan standar minimal untuk regulasi hak kekayaan intelektual (HKI) di negara-negara anggota WTO.
“Untuk itu, dalam aksi ini Gerak Lawan juga secara spesifik menyampaikan tuntutan kepada negara-negara kaya seperti Swiss, Uni Eropa, dan Inggris, untuk segera menyetujui Proposal TRIPS Waiver,” katanya.
“Proposal TRIPS Waiver akan memastikan adanya akses dan distribusi yang adil atas vaksin, obat, dan peralatan medis terkait Covid-19 bagi negara-negara miskin, karena akan menghentikan praktek monopoli paten yang selama ini menghambat akses vaksin di negara-negara berkembang. Hingga saat ini, Proposal TRIPS Waiver masih terus ditolak oleh negara maju. Padahal dunia harus bergerak cepat untuk mengatasi ketimpangan akses dan ancaman mutasi virus,” tambahnya.
Alhafiz Atsari selaku Kabid Hubungan Internasional KNTI menegaskan, dalam pasal 5 draft teks subsidi perikanan di WTO justru melegitimasi negara pensubsidi besar seperti Uni Eropa, Amerika Serikat dan Jepang untuk tetap mempertahankan subsidi yang berkontribusi terhadap overcapacity dan overfishing.
“Tentu ini bertolak belakang dengan Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) poin 14.6. Sementara, subsidi bagi nelayan tradisional dan kecil dikecualikan sebagai subsidi yang harus diterima oleh mereka. Ini menunjukkan ketidakadilan yang nyata dan akan merugikan bagi nelayan tradisional dan kecil,” tegas Hafiz.
Sementara itu, merespon kritis situasi menjelang KTM WTO, KPR menyinggung negosiasi Joint Statement Initiative on Services Domestic Regulation di mana negara-negara yang terlibat meminta komitmen dan disiplin lebih ketat untuk liberalisasi layanan jasa dalam mode 4. Kepentingan isu ini untuk meningkatkan transparansi dan keadilan aturan peraturan sebagai hal mendasar dari pemerintahan yang baik, mendorong JSI Domestic Regulation sebagai peluang untuk memperkuat standar kerja tertentu di seluruh dunia.
“Jika pemerintah mengikuti negosiasi tersebut, maka kondisi ketenagakerjaan akan semakin melonggarkan pasar tenaga kerja murah di indonesia”, ucap Herman Abdulrohman Ketua Umum KPR.
Selanjutnya Arieska Kurniawaty dari Solidaritas Perempuan menegaskan, Deklarasi Perdagangan dan Pemberdayaan Ekonomi Perempuan di KTM ke-11 Buenos Aires sesungguhnya hanyalah “kedok” untuk menutupi dampak yang ditimbulkan dari ketentuan dan aktivitas perdagangan bebas di WTO dan jalur untuk memasukkan isu baru seperti e-commerce dan lingkungan.
“Akses kredit dan pasar yang berusaha ditujukan oleh WTO bagi perempuan, justru akan memperparah situasi ketimpangan bagi perempuan akar rumput. Deklarasi semacam ini seharusnya menyasar pada proyek – proyek neoliberalisme termasuk deregulasi, penghapusan dan penurunan tarif, dan liberalisasi investasi yang memperdalam ketidakadilan terhadap perempuan. Liberalisasi perdagangan yang didorong oleh negara – negara Utara di WTO telah merenggut hak – hak perempuan akar rumput karena hilangnya fasilitas publik seperti jaminan kesehatan, sosial, sanitasi akibat imbas dari berkurangnya pendapatan pemerintah,” paparnya.
Arieska melanjutkan, apabila negara anggota WTO memang berfokus untuk mengatasi ketimpangan gender, proses multilateral seharusnya dijalankan sesuai dengan kepentingan perempuan dan masyarakat di akar rumput alih – alih memajukan kepentingan Negara Utara dan korporasi.
Berikut tuntutan aksi GERAK LAWAN terhadap pemerintah dalam aksi ini: