Catatan Akhir Tahun Pertanian Indonesia 2015: “Kedaulatan Pangan dan Reforma Agraria Telah Dibajak Oleh Kekuatan Pasar”

Pembaruan Agraria Tidak Dilaksanakan
JAKARTA. Dalam kampanye pemilihan presiden 2014, Jokowi-JK dengan tegas mengatakan akan melakukan pembagian lahan 9 juta ha kepada rakyat miskin dan petani kecil yang kemudian dituangkan dalam program Nawacita. Tetapi pada kenyataannya setelah satu tahun hal ini belum juga terwujud.

“Padahal selain tertuang di nawacita, program tersebut secara legalitas termuat dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 60, UU No.41 Tahun 2009 tentang Penyediaan Lahan Pangan Berkelanjutan serta hasil judicial review UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani No.19 tahun 2013 yang di dalamnya juga termuat mengenai pemberian lahan seluas 2 hektar lahan untuk petani,” kata Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) di Jakarta siang ini (20/12).

Terkait hal ini, pada Juli 2015, di saat pertemuan Presiden Jokowi dengan SPI dan API (Aliansi Petani Indonesia), Presiden Jokowi dengan jelas masih menimbang konsep dalam menentukan lahan dan metode pembagian lahan 9 juta ha tersebut.

“Kami menyakini Presiden juga masih mencari masukan dan rumusan untuk pembagian tanah 9 juta ha dari menteri-menteri yang terkait. Hal inilah yang kemudian mendorong Kementrian ATR/BPN yang secara khusus bertanggung jawab terkait pembagian lahan tersebut, mencoba merumuskan peraturan presiden mengenai reforma agraria, tetapi sangat disayangkan kemudian bahwa perumusan peraturan presiden yang terkait hajat hidup orang banyak tersebut diberikan kepada pihak ketiga,” papar Muhammad Nuruddin, Sekjen API.

“Alih-alih sebagai pemenang lelang, pihak swata tersebut melakukan penyusunan Rancangan Peraturan Presiden tentang pembaruan agraria, tetapi sampai dengan saat ini, petani atau rakyat Indonesia jelas tidak tahu kemampuan (track record) pihak ketiga tersebut apakah cukup mampu menyusun rancangan peraturan yang paling berdampak terhadap kesejahteraan petani dan rakyat Indonesia,” sambung Henry.

Di tengah kebingungan dalam menentukan metodologi dan penentuan tanah 9 juta hektar, pemerintah membuka pintu lebar-lebar bagi korporasi untuk berinvestasi di Indonesia, seperti yang diucapkan Presiden dalam World Economic Forum for East Asia di Jakarta pada April 2015. Ini tentu saja menyebabkan perusahaan-perusahaan besar seperti Cargil, Monsanto, Sygenta, Nestle dan beberapa korporasi lainnya yang tergabung dalam PIS Agro (Partnership in Sustainable Agriculture) mendapat konsensi ribuan bahkan ratusan hektar tanah dari pemerintah yang kemudian oleh perusahaan-perusahaan tersebut dipakai untuk berproduksi, di antaranya padi, jagung, kelapa sawit dan coklat.

“Selain itu, pemerintah juga memberikan konsesi lahan ratusan ribu hektar kepada perusahaan swasta untuk melakukan penanaman padi di wilayah Papua. Tidak hanya itu, konsesi lahan diberikan untuk restorasi ekosistem sebagai bagian dari penanganan perubahan iklim tanpa melihat apakah teritori atau kawasan tersebut sudah merupakan tanah garapan petani, terkhusus di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan,” kata Agusdin Pulungan dari Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia (WAMTI).

Konflik Agraria Meningkat
Akibat dari ketidak-konsistenan pemerintah dalam menjalankan program nawacita khususnya mengenai pembagian lahan 9 juta ha tanah, sepanjang tahun 2015 konflik tanah cenderung meningkat. Terlihat dari data yang dikumpulkan oleh SPI sepanjang tahun 2015, jumlah konflik agraria yang terjadi di Indonesia mencapai 231 kasus.

“Angka ini bertambah sekitar 60 % dibanding konflik agraria yang terjadi pada tahun 2014 sebesar 143 kasus. Konflik tersebar di seluruh wilayah di Indonesia dengan total luas lahan konflik agraria seluas 770.341 ha. Dari luasan konflik itu menyebabkan 3 petani tewas, 194 petani menjadi korban kekerasan, 65 petani dikriminalisasi dan lebih dari 2.700 kepala keluarga petani harus tergusur dari lahan pertanian,” kata Henry Saragih.

“Petani selalu menjadi pihak yang selalu kalah dan dikalahkan oleh sistem apabila ingin menyelesaikan konflik agraria yang dialaminya melalui jalur-jalur formal kelembagaan peradilan di negara ini. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar bagi kami untuk memaksa pemerintah mempercepat pembentukan lembaga penyelesaian konflik agraria. Kelembagaan ini yang nanti akan melakukan penyelesaian konflik agraria dengan seadil-adilnya dengan menggunakan prinsip-prinsip pembaruan agraria,” lanjut Henry.

Kedaulatan Pangan Hanya Dipahami Sebagai Peningkatan Produktivitas Pangan
Pelaksanaan program kedaulatan pangan selama tahun 2015 terkesan hanya bagaimana mencapai target yaitu peningkatan produktifitas pangan melalui modernisasi pertanian di bawah ‘pengawasan’ TNI seolah problem utama pangan adalah ketidakdisplinan petani. Pengerahan Korporasi sebagai investor dengan model contract farminguntuk peningkatan produksi pangan, hal ini terlihat dari program-program PIS-Agro, produksi CPO untuk bio-fuel.

“Semua program yang dilaksanakan pemerintah selama tahun 2015 tersebut justru melanggar prinsip kedaulatan pangan dan bahkan memicu perubahan iklim. Akhirnya bahwa kebijakan produksi melupakan kebijakan di alat produksi, sehingga Kementan lebih memilih pemberian alsintan dan input pertaniannya daripada mengusahakan tanah kepada petani sebagaimana yang sudah dijanjikan oleh Presiden Jokowi,” tutur Henry Saragih

Terkait dengan Program Peningkatan Produksi Pajale (Padi, Jagung dan Kedelai), Muhammad Nuruddin mengemukakan, benih yang digunakan menggunakan benih hibrida dan produksi korporasi pertanian. Dalam upaya meningkatkan produksi jagung misalnya, pemerintah melalui Bank Rakyat Indonesia (Bank BRI) bekerjasama dengan perusahaan transnasional seperti Monsanto dan Cargill memberikan kredit dan kemudahan kepada petani. Pada kenyataan skema itu terbukti membuat petani tidak mandiri dan akan terjangkit ketergantungan yang akut.

“Sudah tiga tahun skema kemitraan seperti ini menggoyahkan pertanian berkelanjutan yang sejati yakni agroekologi. Terutama ditandai dengan adanya PIS-AGRI (Partnership for Indonesia’s Sustainable Agriculture) yang menjadikan petani seolah-olah sebagai mitra bagi korporasi,” imbuh Muhammad Nuruddin.

Padahal pada prakteknya petani dijadikan buruh untuk meningkatkan produksi sehingga bahan baku perusahaan tersedia. Terlebih orientasi kerjasama ini lebih kepada pasar luar negeri. PIS Agro menggunakan pertanian berkelanjutan yang semu karena masih menggunakan benih dan pupuk dari perusahaan.

“Target pengurangan emisi 20% kerana skema PIS Agro ini diduga tidak akan tercapai karena emisi akan tetap keluar dari perusahaan-perusahaan mitra PIS Agro yang mengolah produk pertanian hasil petani mitra,” sambung Nuruddin lagi.

Agusdin Pulungan menimpali, berdasarkan itu, keserakahan dan pengerusakan tata kehidupan yang dilakukan korporasi menjadikan semangat agroekologi membutuhkan perjuangan yang besar.

“Kemauan politik dari pemerintah untuk kemajuan pertanian yang berkelanjutan belum terlihat di tahun 2015. Pada hakikatnya keberpihakan atau tidak kepada rakyat akan terukur di tahun-tahun yang mendatang,” sambungnya.

Bentuk Kelembagaan Pangan Sebagai Mandat UU Pangan
Bukan lagi sebuah rahasia apabila antar lembaga pemerintah mempunyai data yang berbeda terkait daya konsumsi masyarakat Indonesia. Hal ini terungkap saat pemerintah kebingungan untuk memutuskan apakah harus impor atau tidak impor, walaupun akhirnya pemerintah kembali melakukan impor beras di tahun 2015 ini sebanyak 2 juta ton beras dari Vietnam dan Thailand. Selain itu, carut marutnya pengelolahaan manajemen pangan di Indonesia baik di level distribusi dan kontrol terhadap harga pasar, semakin menunjukan bahwa pemerintah sebetulnya belum mempunyai tata kelola kelembagaan pangan yang kredible dan mampu menjadi lembaga yang mempunyai akses penuh terhadap stok, distribusi dan menjaga stabilitas harga pangan.

“Peran inilah yang kemudian seharusnya dilakukan oleh Bulog, tetapi pada kenyataannya, sebagai lembaga pangan, Bulog hanya diperankan sebagai operator saja tanpa melihat fungsi sosial Bulog dalam menjaga stabilitas harga pangan dan menyerap produksi dari petani serta mendistribusikan pangan kepada seluruh rakyat Indonesia,” Ungkap Henry Saragih.

Henry meneruskan, di sisi lain Bulog juga diminta untuk melakukan penjualan dengan target keuntungan yang telah ditentukan oleh pemerintah. Hal ini lah yang kemudian menyebabkan Bulog sebagai lembaga pangan mempunyai peran ganda yang saling bertolak belakang, di satu sisi Bulog berfungsi sosial di sisi lain Bulog berperan sebagai perusahaan yang mengejar laba.

“Atas dasar itulah, kelembagaan pangan sudah seharusnya segera dibentuk sesuai dengan mandat UU Pangan. Hal ini sangat penting karena sampai saat ini ketiga lembaga pemerintah, yakni Kementerian Pertanian, Kementrian Perdagangan dan Bulog sendiri tidak selamanya berkoordinasi dengan baik dalam mengambil keputusan impor pangan, meski UU Pangan secara tegas memperketat kebijakan impor pangan,” tegas Henry.

Menurut Muhammad Nuruddin, kebijakan perberasan masih menggunakan skema harga pembelian pemerintah (HPP) tunggal dimana dianggap tidak efektif menstimulasi petani untuk memperbaiki mutu produksi.

“Jika ditilik dari sudut pandang kompetisi produk maka kualitas produk beras nasional dapat terancam dalam medan pasar terbuka, dimana Indonesia juga akan ambil bagian pada awal 2016. Selain itu, jika skema HPP tetap tidak mempertimbangkan kualitas (baik berdasarkan varietas, musim dll) maka juga akan berdampak mempersulit pemerintah untuk melakukan proses penyerapan, dimana juga akan berdampak pada keadaan perberasan hingga dapat memberi jalan mulus bagi impor,” papar Muhammad Nuruddin.

Hal senada disampaikan Agusdin Pulungan. Menurutnya, terlalu banyak lembaga yang terkait dalam kaitan penentuan HPP ini yang salah satunya berakibat pada berbagai kebuntuan regulasi. Ditambah lagi data yang berbeda-beda sebagai acuan kebijakan (misalnya data BPS, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian dll.), yang menjadikannya seringkali tidak secara akurat mampu memperbaiki struktur perberasan dan umumnya pangan di Indonesia.

“Keadaan ini memantik gagasan untuk mengubah skema HPP menjadi HPB (Harga Pembelian Bulog) agar kontrol pangan lebih difokuskan pada fungsi kerja Bulog,” katanya.

Kelembagaan Petani
Henry Saragih menambahkan, hal yang urgen dan krusial dalam proses perjuangan petani, baik sosial ekonomi, sosial politik dan budaya adalah mengenai kelembagaan petani.

“Masih ada diskriminasi terhadap organisasi patani, hal ini terlihat dari belum diubahnya Permentan No.82 Tahun 2013 tentang Pedoman Pembinaan Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani. Dimana hanya petani yang tergabung dalam kelompok tani dan gabungan kelompok tani yang mendapat pembinaan dan akses dari pemerintah,” ungkapnya.

Oleh karena, Muhammad Nuruddin ikut menambahkan, pemerintah harus segera menindaklanjuti hasil keputusan amandemen UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani nomor 19 tahun 2013 melalui putusan Mahkamah Konstitusi nomor 87/PUU-XI/2013 tanggal 5 November 2014 menyatakan, pasal 70 ayat 1 mengenai kelembagaan petani dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani’.

“Dengan demikian, tidak hanya Kelompok Tani (Poktan), Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), Asosiasi Komoditas Pertanian dan Dewan Komoditas Pertanian Nasional saja yang diakui oleh negara, namun juga organisasi atau kelompok tani yang dibentuk dan didirikan oleh petani juga harus diakui,” tegasnya.

Sementara mengenai kelembagaan-kelembagaan petani lainnya yang seharusnya ada, belum berjalan dan terkoordinasi seperti koperasi, Badan Usaha Milik Petani, Lembaga Pembiayaan Petani dan Badan Usaha Milik Desa (Bundes)

“Terakhir, terkait dengan data pertanian, di Indonesia masih belum ada lembaga yang mampu mempunyai data yang cukup akurat dan terkait data pertanian yang komperensif dan terpercaya, sebab antar kelembagaan pemerintah saja data yang mereka keluarkan berbeda terkait data pertaniannya. Basis data terkait pertanian sering terjadi perbedaan di antara kementerian atau sektor, terutama mengenai rencana impor pangan,” tutup Agusdin Pulungan.

Kontak Selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668
Muhammd Nuruddin – Sekjen API – 0812 918 4101
Agusdin Pulungan – WAMTI – 0812 3434 4808

ARTIKEL TERKAIT
Diskusi Terpimpin SPI: "Stop Impor Beras, Pemerintah Gagal W...
SIARAN PERS DAN AKSI TOLAK IMPOR BERAS SPI DAN PARTAI BURUH:...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU