Sumber foto: situs resmi La Via Campesina (viacampesina.org)
Committee on World Food Security (CFS) menyelenggarakan forum tingkat tinggi di Roma pada 12 Mei 2025 lalu dengan topik mengatasi perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan degradasi lahan melalui hak atas pangan.
International Planning Committee for Food Sovereignty (IPC) turut hadir dalam forum tersebut untuk mewakili gerakan produsen pangan skala kecil. Zainal Arifin Fuad, yang merupakan anggota kelompok kerja IPC bidang tanah, air, dan teritori, menarik perhatian pada tantangan nyata yang ditimbulkan oleh solusi palsu yang dipimpin korporasi untuk krisis iklim dan ekologi serta bagaimana mereka mengancam hak atas tanah dan wilayah.
“Kita berada dalam masa berbagai krisis dan bahaya eksistensial bagi perdamaian dan kemanusiaan: krisis kelaparan, krisis iklin dan ekosistem, krisis keanekaragaman hayati, krisis ekonomi dan sosial, serta krisis geopolitik. Laporan dari State of Food Security and Nutrition in the World (SOFI) pada tahun 2024 telah mengkonfirmasi bahwa dunia masih jauh dari jalur yang tepat untuk mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu zero hunger. Prevalensi kekurangan gizi global bertahan pada tingkat yang hampir sama selama tiga tahun berturut-turut setelah COVID-19,” ujar Zainal yang juga menjabat sebagai Komite Koordinasi Internasional (ICC) La Via Campesina serta pimpinan senior dari Serikat Petani Indonesia.
Intervensi tersebut juga menyoroti lima faktor pendorong situasi ini, yaitu perampasan tanah dan sumber daya alam, peningkatan konsentrasi lahan, penciptaan pasar tanah atau bank tanah, pertanian secara kimia dalam skala besar, dan liberalisasi kebijakan perdagangan dan investasi yang memperioritaskan produksi komoditas global dan industri ekstraktif. Faktor-faktor ini telah merampas hak-hak kaum tani, masyarakat pedesaan, dan masyarakat adat, serta secara masif berkontribusi pada perubahan iklim, seperti hilangnya keanekaragaman hayati dan perusakan ekosistem.
“Dalam beberapa tahun terakhir, solusi palsu untuk perubahan iklim dan perusakan ekologi telah muncul, seperti pasar karbon, target konservasi 30×30, penggantian kerugian keanekaragaman hayati, bahkan penggunaan rekayasa genetika sebagai benih pertanian cerdas iklim (CSA). Hal – hal yang disebut solusi ini didorong, alih-alih agroekologi petani yang dapat dan sedang mendinginkan planet ini. Solusi-solusi yang dipimpin oleh korporasi tersebut mengancam hak atas tanah dan wilayah masyarakat pedesaan dan Masyarakat Adat,” tambah Zainal.
Gerakan sosial telah lama menyatakan bahwa sistem pangan dengan produsen pangan skala kecil, seperti petani, petani kecil, perikanan skala kecil, penggembala, penghuni hutan, pemuda, perempuan pedesaan, masyarakat adat, dan petani pegunungan, terutama mereka yang menerapkan agroekologi, sangat penting untuk menyuplai kebutuhan pangan dunia. Mereka adalah penjaga tanah, teritori, dan ekosistem. Tidak sampai di situ, mereka juga berkontribusi dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, dan perlindungan keanekaragaman hayati. Namun, sistem pangan ini bergantung pada akses dan kontrol (kepemilikan) atas lahan, perikanan, hutan, dan sumber daya alam lainnya.
IPC juga mengambil kesempatan ini untuk menekankan pentingnya penyelenggaraan konferensi global antarpemerintah mengenai isu-isu ini. Saat berpidato di hadapan Ketua, Zainal mengatakan, “berdasarkan situasi ini, merupakan pertanda baik dan positif bahwa CFS dan Dewan FAO telah mendukung proposal Kolombia untuk mengadakan International Conference on Agrarian Reform and Rural Development (ICARRD+20) yang kedua pada Februari 2026 mendatang. Ada juga keterkaitan antara ICARRD, Global Alliance Against Hunger and Poverty, United Nations Decade for Family Farming, dan topik dalam panel ini.”
Sumber foto: situs resmi La Via Campesina (viacampesina.org)
Ia juga menambahkan bahwa dengan menerapkan reforma agraria dan kebijakan redistribusi lahan, tidak hanya dapat menghasilkan lebih banyak, tetapi juga menghasilkan produk yang lebih beragam dan berkualitas lebih baik dengan cara yang lebih berkelanjutan, merevitalisasi ekonomi pedesaan, dan menciptakan lapangan kerja di pedesaan.
La Via Campesina dan anggota IPC lainnya sangat yakin bahwa kebijakan redistribusi tanah adalah solusi utama untuk krisis pangan dan ekologi saat ini. Laporan tahun 2024 dari Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia juga menggemakan pandangan ini. Laporan tersebut secara eksplisit menyerukan kepada negara-negara untuk mengimplementasikan langkah-langkah reforma agraria yang mendorong distribusi lahan dan sumber daya yang lebih adil sesuai dengan kewajiban hak asasi manusia, termasuk hak-hak masyarakat adat, petani, dan masyarakat pedesaan dalam konteks kebijakan iklim berbasis hak asasi manusia.
“Oleh karena itu, dialog yang akan dilakukan pada ICARRD+20 yang diusulkan juga harus mengaitkan Voluntary Guidelines FAO tentang Tenurial dengan instrumen lain seperti Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Orang yang Bekerja di Pedesaan (UNDROP), Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP), dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW),” ujar Zainal.
Dalam forum tingkat tinggi tersebut, gerakan sosial turut menekankan bahwa ICARRD+20 juga harus mempromosikan dan mendukung proses kebijakan publik nasional yang partisipatif dan multisektoral yang merespons realitas teritorial, dengan mempertimbangkan keragaman konteks historis dan sosial budaya. Konferensi ini juga menunjukkan bahwa konferensi ini harus menjadi ruang konvergensi untuk mengatasi krisis pangan dan lingkungan yang saling terkait. Intervensi gerakan sosial memperjelas bahwa hasil konferensi yang diusulkan harus disampaikan kembali kepada CFS, FAO, dan Konvensi Rio.
Kepada pemerintah Brazil yang hadir di ruangan, gerakan sosial juga menekankan bahwa COP30 mendatang di Brazil juga dapat membangun proposal konkret menuju ICARRD+20, serta Global Alliance Against Poverty and Hunger, dengan menempatkan isu distribusi lahan dan penggunaan lahan sebagai inti dari pendekatan berbasis hak asasi manusia dalam mengatasi tantangan-tantangan mendesak yang dihadapi dunia saat ini.