JAKARTA. Serikat Petani Indonesia (SPI) menghimpun laporan dari para petani anggotanya yang mengeluhkan kenaikan harga pupuk non subsidi hingga 100 persen pada pekan pertama Januari 2022.
Ketua Umum SPI Henry Saragih menegaskan, tren kenaikan harga pupuk non subsidi sudah berlangsung sejak Oktober 2021. Kenaikan harga pupuk nonsubsidi juga turut mengoreksi pendapatan petani secara nasional. Konsekuensinya, nilai tukar petani atau NTP untuk tahun 2021 masih berada di bawah standar impas.
“Harga pupuk nonsubsidi sekarang naiknya tidak wajar sampai 100 persen yang awalnya pada 2020 akhir harganya hanya Rp280.000 per sak (50 kilogram) pupuk urea, tapi sekarang sampai Rp500.000 per sak bahkan di luar Jawa tembus Rp600.000,” kata Henry dari Medan, Sumatera Utara siang ini (14/01).
Berdasarkan catatan SPI hingga pekan pertama Januari 2022, harga pupuk urea sudah mencapai Rp560.000 per sak. Saat situasi normal harga pupuk itu berada di posisi Rp265.000 hingga Rp285.000 per sak.
“Hanya saja sejak Oktober hingga November 2021, harga pupuk itu mengalami kenaikan menjadi Rp 380.000,” katanya.
Henry melanjutkan, kenaikan harga itu berlanjut pada Desember 2021 yang mencapai Rp480.000 hingga Rp500.000.
“Selain itu, catatan SPI menunjukkan, harga pupuk NPK juga mengalami kenaikan yang signifikan. Misalkan, NPK Mutiara mengalami kenaikan harga mencapai Rp600.000 per sak dari harga sebelumnya di posisi Rp400.000 per 50 kilogram,” paparnya.
“Sementara itu, NPK Phonska mengalami kenaikan menjadi Rp260.000 per sak (25 kilogram) dari harga awal Rp170.000 ribu per sak,” sambungnya.
Mirisnya, Henry menekankan, di Tuban, Jawa Timur misalnya harga komoditas, misalkan padi, tidak kunjung baik bahkan beras di tingkat penggilingan masih Rp 8.000.
“Kalau petani jual rugilah, tidak impas tidak dapat apa-apa, tapi komoditas jagung, petani masih dapat karena harga jual lumayan,” keluhnya.
Selain kenaikan harga pupuk nonsubsidi, Henry menyebutkan, pendapatan petani juga tergerus oleh naiknya biaya pestisida yang sebagian besar masih digunakan oleh petani konvensional.
Solusi
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi (P3A) SPI Qomarun Najmi menerangkan, kompleksnya persoalan pupuk bersubsidi di Indonesia tidak terlepas dari warisan sistem revolusi hijau dalam pertanian di Indonesia.
“Setengah abad revolusi hijau diimplementasikan, sekarang kita tengah merasakan dampak pengunaan pupuk kimia yang berlebihan dari tahun-tahun yang lalu. Penggunaan pupuk kimia yang berlebihan selama puluhan tahun mengakibatkan unsur hara di dalam tanah terus menurun. Hanya yang menjadi pangkal persoalan, jika memang ini (pupuk kima bersubsidi) tidak baik bagi tanah, mengapa ini yang terus-terusan disubsidi,” paparnya.
Untuk mengatasi kompleksnya permasalahan pupuk bersubsidi di Indonesia, pemerintah seharusnya menjajaki berbagai opsi perbaikan ke depannya. Di antaranya adalah pengalihan alokasi anggaran subsidi pupuk menjadi subsidi harga, dan juga mendorong perubahan cara pertanian ke bentuk yang lebih ramah terhadap alam, termasuk dalam hal penggunaan pupuk sebagai input pertanian.
“Subsidi sendiri merupakan bentuk kehadiran negara terhadap berbagai kelompok yang dikategorikan rentan. Idealnya subsidi harus dipertahankan, walaupun harus ada improvisasi bentuk dan metodologi subsidi pupuk. Pemerintah harus menjajaki bentuk-bentuk subsidi lainnya, seperti beralih ke subsidi langsung hasil panen petani,” paparnya.
“Terkait subsidi pupuk idealnya pupuk organik mendapatkan porsi yang lebih besar dibandingkan kategori lainnya. SPI berpandangan petani sebenarnya lebih membutuhkan pupuk organik yang dapat mengembalikan kesuburan tanah. Pupuk ini sebenarnya sudah masuk dalam skema subsidi, tetapi pengadaannya diserahkan ke perusahaan yang ditunjuk pemerintah sehingga hasilnya buruk,” sambungnya.
Ia mengingatkan, penggunaan pupuk organik juga seharusnya semakin masif karena memiliki banyak keuntungan.
“Salah satunya adalah memperbaiki kondisi tanah. Penggunaan pupuk kimia selama puluhan tahun terakhir menghasilkan lahan yang kurang subur, sehingga mempengaruhi produktivitas. Setelah lahan kembali subur karena penggunaan pupuk organik, petani tak perlu mengeluarkan ongkos yang terlalu besar untuk pupuk,” lanjutnya.
Qomarun Najmi mencatat, produksi bisa dihemat sampai Rp. 2 juta per hektare jika menggunakan pupuk organik, bukan pupuk kimia.
“Jadi kesemrawutan pupuk kimia ini merupakan momentum mengakhiri ke tergantungan petani pada pupuk kimia ke pupuk organik, dari pertanian yang tergantung pada input kimia ke pertanian agroekologi yang ramah alam dan membuat petani berdaulat,” imbuhnya.
Qomarun Najmi mengutarakan, menurut data BPS, populasi ternak sapi di indonesia, tahun 2021, ada 18 juta ekor, dan juga masih ada ternak-ternak yang lain juga yang limbahnya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kompos.
“Jadi upaya menjaga sekaligus meningkatkan populasi ternak diperlukan untuk mendukung pengembangan pertanian,” sebutnya.
Qomarun Najmi menambahkan, penegakan aturan hukum pemotongan betina produktif diperlukan untuk menjaga populasi. Penguatan kelembagaan peternak, terutama dalam hal modal material, dan jaminan pasar, diperlukan untuk meningkatkan populasi ternak.
“Peningkatan populasi ternak akan mendekatkan tujuan swasembada daging, sekaligus memastikan ketersediaan pupuk organik yang terjangkau untuk petani,” tutupnya.
Kontak Selanjutnya :
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668
Qomarun Najmi – Ketua Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi (P3A) SPI – 0899 5160 878
Pak Saragih desa kami dulu lah diberdayakan.