JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Nilai Tukar Petani (NTP) September 2022 sebesar 106,82 atau naik 0,49 persen dibanding NTP bulan sebelumnya. Kenaikan tersebut dikarenakan Indeks Harga yang Diterima Petani (lt) mengalami kenaikan sebesar 1,62 persen lebih tinggi dibandingkan kenaikan Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) sebesar 1,13 persen.
Selama September 2022, dua subsektor NTP mengalami kenaikan, yakni Tanaman Pangan (1,49 persen); dan Tanaman Perkebunan rakyat (0,62 persen). Sementara itu, subsektor lainnya mengalami penurunan, seperti hortikultura (-1,86 persen); subsektor peternakan (-0,87 persen); dan subsektor perikanan (-1,17 persen).
Menanggapi hal tersebut, Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia, Mujahid Widian, menyebutkan tren positif NTP nasional pada September 2022 merupakan dampak membaiknya subsektor tanaman pangan. Peningkatan NTP tanaman pangan sendiri sudah berlangsung sejak bulan Agustus lalu, ditandai dengan meningkatnya harga gabah di tingkat petani. trims. Kenaikan harga gabah tentunya akan menaikkan daya beli keluarga petani. Namun karena inflasi tersebut, peningkatan daya beli menjadi tidak optimal, sehingga NTP tanaman pangan tetap saja dibawah standar (99,35).
“Laporan anggota SPI dari berbagai wilayah menyebutkan harga gabah di tingkat petani mengalami kenaikan, demikian juga dengan harga beras. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, mulai dari terbatasnya stok gabah karena produksi padi yang minim; hingga musim tanam antar wilayah yang berbeda, juga turut mempengaruh,i” ujarnya.
“Dari data BPS tersebut juga kita lihat bahwa indeks biaya yang dikeluarkan petani mengalami kenaikan dibandingkan bulan sebelumnya, seperti konsumsi rumah tangga (0,95 persen) dan biaya produksi dan modal (0,96 persen). Hal ini dilihat sebagai dampak dari kenaikan harga BBM yang terjadi pada bulan September lalu. Kondisinya juga tercermin di besar inflasi bulan September 2022 sebesar 1,17 persen (dibandingkan bulan sebelumnya), dan trebesar disumbang oleh biaya transportasi ” tambahnya.
NTP subsektor Hortikultura kembali menunjukkan tren penurunan seperti bulan Agustus 2022 lalu. Adapun penurunan pada Bulan September 2022 ini dipengaruhi oleh kelompok penyusun yakni sayur-sayuran, khususnya tomat dan bawang merah. Kondisi tersebut dirasakan oleh anggota SPI di wilayah Bengkulu, yang mengeluhkan harga tomat anjlok drastis. Petani hortikultura lebih merasakan beban ekonomi dari kenaikan harga BBM dibandingkan petani tanaman pangan. Kenaikan indeks pengeluaran kebutuhan sebesar 1,12% dan kenaikan biaya produksi & biaya modal sebesar 0.96.
“Laporan yang kami terima, di Kepahiang, Bengkulu, harga tomat di tingkat petani berkisar Rp3.500 bahkan ada yang Rp1.000/kg. Tomat sampai tidak ditampung karena harganya yang murah. Sementara untuk cabai, situasinya berbeda-beda di tiap wilayah. Misalnya pulau Sumatera seperti di Aceh, dan Riau, harga cabai mengalami penurunan yang cukup signifikan, sementara di pulau Jawa seperti Kediri, relatif stabil”.
Sementara itu, NTP subsektor perkebunan rakyat juga mencatatkan kenaikan meski dinilai belum signifikan. Laporan dari anggota SPI menyebut pada pertengahan September lalu terdapat kenaikan harga Tandan Buah Segar (TBS), namun menjelang akhir September kembali turun kendati tidak terlalu drastis. Kenaikan konsumsi dan produksi mereka bahkan lebih dari kenaikan yang dialami oleh keluarga petani tanaman pangan dan tanaman hortikultura. Kenaikan kebutuhan konsumsi sebesar 1,17% dan biaya produksi & penambahan modal sebesar 2.17%. Angka-angja tersebut setara dan lebih tinggi dari angka inflasi sebesar 1.17%.
“Untuk komoditas perkebunan khususnya sawit yang orientasinya ekspor, Harga TBS dan CPO tentunya akan akan dipengaruhi oleh harga di tingkat internasional. Hal itu terjadi di bulan September ini, dimana terdapat penurunan harga CPO internasional di kuartal III, bahkan diprediksi akan turun juga pada kuartal ke IV. Namun bila dilihat dari laporan BPS ekspor minyak sawit Jan-Agustus 2022, ekspor sawit terus meningkat seiring dengan dicabutnya kewajiban DMO tersebut. Lebih dari itu, pertanyaan selanjutnya yang muncul apakah kenaikan ekspor tersebut berpengaruh nyata terhadap daya beli keluarga petani secara riel, walau dalam hal ini NTP Tanaman perkebunan rakyat meningkat”.
“Dari laporan yang kami terima, harga TBS sempat berada di atas Rp2.000/kg di tingkat petani pada pertengahan September lalu. Namun karena di internasional turun, maka di akhir September lalu turun ke kisaran Rp1.700/kg. Karena sebelumnya sempat tinggi (harga TBS sebelum kebijakan larangan ekspor CPO dan turunannya), situasi tersebut belum memuaskan petani. Terlebih lagi dengan kenaikan biaya konsumsi dan produksi akhir-akhir ini,” tambahnya.
Mujahid menyebutkan dampak kebijakan pemerintah yang menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi, sudah mulai dirasakan di sektor pertanian. Terkait hal tersebut, ia menilai sudah seharusnya pemerintah mengambil langkah khusus untuk para petani, mengingat dampak akibat kenaikan harga BBM yang cukup signifikan.
“Dilihat dari data BPS bulan September ini, terjadi kenaikan biaya yang dikeluarkan oleh petani (Ib) di seluruh subsektor NTP. Tanpa adanya perbaikan kebijakan, tentu hal ini semakin membebani para petani di Indonesia, karena sebelum kenaikan harga BBM, biaya produksi yang dikeluarkan pertanian konvensional trennya sudah meningkat.”
“Usul kami, sudah selayaknya pemerintah untuk memberikan subsidi input produksi, maupun mekanisme agar harga di tingkat petani terjamin dan layak. Terkhusus pada tanaman Hortikultura, melimpahnya hasil panen Tomat dan Bawang merah secara normal akan menurunkan harga jualnya pada Bulan September. Kebijakan ini tentunya menyasar seluruh petani, tidak hanya terbatas pada Poktan dan Gapoktan saja, melainkan seluruh kelembagaan petani yang ada di Indonesia. Namun sejauh ini kami belum melihat upaya ke arah sana”.
“Lebih lanjut, bentuk intervensi pemerintah tersebut harus dimaknai sebagai keberpihakan untuk membangun kedaulatan pangan di dalam negeri. Pangan harus diproduksi untuk kepentingan nasional, dan ini harus dimulai dengan menerapkan prinsip-prinsip kedaulatan pangan di berbagai kebijakan pertanian,” tutupnya.
Kontak Selanjutnya:
Mujahid Widian – Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional DPP SPI – 0813-7523-9059