Oleh: Henry Saragih *)
JAKARTA. Impor pangan yang meningkat ke indonesia ini sebenarnya terjadi yang paling drastis adalah setelah Indonesia menjadi anggota World Trade Organizations (WTO) yang mengusung perdagangan bebas melalui perjanjian multilateral. WTO berdiri tahun 1994 danIndonesiatermasuk menjadi negara yang paling awal meratifikasi menjadi negara anggota WTO pd tahun 1995. Melalui aturan Agreement on Agriculture (AOA) dari WTO, terbukalah pintu Indonesia untuk pasar perdagangan bebas dan neoliberalisme. Pintu tersebut semakin terbuka, setelah Presiden Soeharto menandatangani Letter of Intent dengan IMF dan Structural Adjustment Program (SAP) dengan Bank Dunia pada tahun 1997. Dua paket tersebut mengharuskanIndonesiaharus melakukan privatisasi, liberalisasi, deregulasi sebagai upaya penyelamatanIndonesiadari krisis ekonomi. Dua paket tersebut ternyata juga memberi andil turunnya Soeharto setelah 32 tahun berkuasa.
Maka sejak 1998 beras impor dgn bebas bea impor, kacang kedelai, buahan-buahan membanjiri seluruh pasar kita ( lihat Tabel 1). Dampak negatif pun mulai bermunculan di banyak negara anggota WTO, sehingga muncullah aksi-aksi penentangan terhadap WTO baik oleh negara maupun organisasi massa tani dan Lembaga Swadaya Masyarakat, mulai dari tingkat nasional hingga regional. Termasuk dalam hal ini adalah Serikat Petani Indonesia dan La Via Campesina ( gerakan Petani Internasional). Di setiap Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO, di situ terjadi aksi protes besar, seperti yang terjadi di KTM III di Seattle-AS pada tahun 1999, KTM IV di Doha 2001, KTM V di Cancun 2003, KTM VI di Hongkong 2005 dan Pertemuan kecil tingkat menteri (Mini Ministerial Meeting) kecil di Geneva tahun 2008.
Ministerial Meeting yang diharapkan ini dapat menyelesaikan agenda Putaran Doha mengalami kebuntuan negosiasi (deadlock). Hal ini juga terjadi pada KTM-KTM sebelumnya. Putaran Doha membicarakan kesepakatan perdagangan bebas, khususnya mengenai isu subsidi dan tarif atas produk pertanian. Sejumlah negara maju menganggap tidak adanya kesepakatan perundingan mengenai Special Safeguard Mechanism (SSM) di sektor pertanian menjadi penyebab utama kebuntuan negosiasi tersebut. Negara maju menolak konsep SSM sebab mekanisme ini dianggap akan menghalangi ekspor produk pertanian mereka. Sebaliknya sejumlah negara berkembang yang dimotori oleh India dan Brazil tetap mempertahankannya dengan pertimbangan bahwa SSM dapat melindungi kepentingan petani mereka, yang menjadi mayoritas penduduknya.
Tabel. Impor dan Ekspor Komoditi Pangan Utama (Beras, Gula, Kedelai)
No |
Komoditi |
Tahun |
Impor (USD) |
Ekspor (USD) |
Keterangan |
1 |
Beras |
1984-1994 |
648.018.000 |
216.010.000 |
Pra-WTO |
1995-2000 |
4.268.200.000 |
3.264.000 |
Pasca WTO |
||
2010 |
360.784.998 |
451.624 |
idem |
||
2 |
Gula |
1984-1994 |
646.063.000 |
613.000 |
Pra-WTO |
1995-2000 |
2.311.474.000 |
10.169.000 |
Pasca WTO |
||
2010 |
1.252.841.493 |
174.803.219 |
idem |
||
3 |
Kedelai |
1984-1994 |
1.579.672.000 |
2.201.000 |
Pra-WTO |
1995-2000 |
1.314.782.000 |
281.000 |
Pasca WTO |
||
2010 |
840.037.048 |
342.814 |
Idem |
Sumber: diolah dari data BPS dan UN COMTRADE
Upaya mengusung perdagangan bebas tidak berhenti pada perjanjian multilateral terlebih pasca WTO terhenti, kaum neoliberal selanjutnya berupaya melakukan Perjanjian Perdagangan Bebas ( Free Trade Agreement-FTA) baik secara regional maupun bileteral. Sampai saat Indonesia telah terikat dalam beberapa FTA baik secara regional maupun bilateral, seperti ASEAN-FTA, ASEAN -China-FTA ( ACFTA), ASEAN-Korea-FTA, ASEAN-Jepang-EPA, ASEAN-Selandia Baru-Australia FTA dan kemudian menyusul diantaranya Asean Eropa Union FTA dan Asean India FTA. Dari semua FTA tersebut, Indonesia mengalami dampak yang sangat nyata oleh ACFTA yang diberlakukan awal tahun 2010. Sebagai contoh adalah serbuan kentang impor dari China di sentra produksi kentang di Jawa Barat dan Jawa Tengah mulai september 2011 yang lalu. Sebagai akibatnya ribuan keluarga petani mengalami kerugian ratusan juta rupiah karena merosotnya harga kentang mereka oleh serbuan kentang impor. Terhadap serbuan impor tersebut ribuan petani kentang dari Kabupaten Banjar Negara bersama dengan Serikat Petani Indonesia melakukan aksi protes ke Istana Negara, Menteri Perdagangan dan DPR, serta melakukan dialog dengan Menteri Pertanian pada tanggal 11 Oktober 2011 yang lalu. Namun meskipun Pemerintah dan DPR berjanji untuk melakukan tindakan, tetap saja kentang impor masuk ke pasar sekitar sentra-sentra produksi kentang.
Dampak negatif ini secara umum dialami oleh jutaan petani di negara-negara berkembang terlepas apakah produk pertanian mereka. Olehkarena itu mengapa SPI dan seluruh anggota La Via Campesina di 150 organisasi tani di 70 negara menolak rezim perdagangan bebas WTO dan FTA, karena produk pertanian bukanlah komoditas perdagangan yang menyebabkan harganya bisa dipermainkan. Sementara akibat perubahan harga tersebut, pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani bisa berubah drastis menuju kondisi kemiskinan dan kelaparan. Olehkarena itu pula SPI dan La Via Campesina
Karena itu kita menolak impor pangan yang bisa kita produksi di dalam negeri, dan menolak eksport barang yang bisa diproduksi di negeri lain.
Adapun alasan sebagai berikut, Pertama, impor akan menyebabkan petani indonesia tidak bisa bersaing dengan harga barang dari luar, karena kelebihan dari produk satu dari negeri lain. Misal kacang kedelai, kita tidak akan bisa bersaing dengan impor kacang kedelai dari Amerika Serikat, Argentina dan Brazil. Di negara-negara tersebut Kedelai ditanam dalam skala jutaan hektar secara industrial. Demikian juga beras di Vietnam juga ditanam dalam skala luas yang hasilnya melebihi dari kebutuhan rakyatnya. Disamping itu pemerintah juga memberikan subsidi kepada petani, sebagai contoh harga kentang menjadi murah karena pemerintah Bangladesh memberikan subsidi eksport sebesar 20 persen dan Pemerintah, China memberikan dukungan dana yang besar bagi petaninya.
Kedua, perdagangan bebas juga menghasilkan variasi model perdagangan berupa transaksi perdagangan yang didasarkan atas proyeksi permintaan dan penawaran, terkait dengan rencana investasi. Sebagai akibatnya komoditas menjadi bahan spekulasi atau disebut dengan komoditas berjangka atau malah yang sifatnya virtual. Dan akhirnya perdagangan pangan masuk dalam transaksi bursa di London dan New York. Tercakup dalam hal ini spekulasi dagang melalui aksi penimbunan untuk menimbulkan kelangkaan produk pertanian sehingga dapat menaikkan harga dan berlanjut pada meningkatknya keuntungan si penimbun. Terkait dengan penimbunan tersebut, Menteri Pertanian memberikan sinyalemen bahwa ada penimbunan beras oleh sejumlah pedagang beras di sejumlah daerah, menyusul menipisnya stok beras Bulog, spekulasi ini menjadi faktor utama yang mendorong kenaikan harga beras di pasaran ( Kompas, 25 Agustus 2011).
Kebijakan impor pangan berimplikasi kepada berpindahnya komoditas pertanian dari sentra produksi ke pasar tujuan yang memerlukan transportasi jarak jauh antar negara. Konsekuensinya kebutuhan finansial untuk biaya transportasi, biaya bahan bakar dan biaya-biaya yang tidak terduga selama perjalanan akan sangat tinggi. Lebih dari itu kemungkinan biaya yang dibutuhkan untuk mendatangkan beras dari Vietnam ke Jakarta lebih murah daripada dari Papua – lahan food estate. Tetapi pada sisi lain, biaya lebih murah mendatangkan beras dari Jawa Tengah atau Lampung. Namun hal ini tidak dilakukan karena kebijakan perberasan tidak memprioritaskan sentra padi di kedua daerah tersebut. Keempat. Impor pangan lambat laun akan menyebabkan hilangnya kebudayaan pangan dari masyarakat lokal. Dan Kelima, impor pangan akan mengurangi devisa suatu negara.
Di samping kebijakan impor, target ketahanan pangan ( baca: ketersediaan pangan) juga merekomendasikan pangan rekayasa genetika. Bahkan Pemerintah telah mengeluarkan Permentan nomor 61/2011 yang mengatur prosedur pengujian, penilaian, pelepasan dan penarikan varietas rekayasa genetika. Seharusnya Pemerintah jangan bermain-main dengan pangan rekayasa genetik, teknologi tersebut belum sepenuhnya terjamin dari segi keamanan pangan dan sudah terbukti merugikan petani skala kecil. Kita harus mencegah benih rekayasa genetika masuk Indonesia. Ada empat hal yang menyebabkan benih rekayasa genetik tidak boleh dikembangkan di Indonesia. Pertama, dari aspek keamanan pangan. Belum ada satu penelitian pun yang menjamin bahwa pangan rekayasa genetik 100 persen aman untuk di konsumsi. Malah dari beberapa riset akhir-akhir ini, pangan hasil rekayasa genetika menjadi penyebab berbagai penyakit.
Kedua, dari aspek lingkungan. Di beberapa negara yang mencoba menanam benih rekayasa genetik terjadi polusi genetik. Lahan-lahan yang bersebelahan dengan tanaman rekayasa genetik berpotensi untuk tercemar oleh gen-gen hasil rekayasa genetik. Sehingga petani di sebelahnya yang menanam tanaman non rekayasa genetik bisa dituduh melanggar hak cipta karena dinilai telah membajak hak cipta perusahaan benih, padahal persilangan tersebut dilakukan oleh alam. Selain itu, tanaman rekayasa genetik berpotensi merusak keseimbangan lingkungan di sekitarnya. Hama dan penyakit tanaman akan lari ke ladang-ladang konvensional sehingga mau tidak mau petani tersebut harus beralih menjadi pengguna benih rekayasa genetik yang harganya mahal.
Ketiga, aspek legal. Belum ada peraturan yang komprehensif mengenai pangan rekayasa genetik. Memang ada Undang-Undang (UU) Pangan, UU Budidaya tanaman, dan UU perlindungan varietas tanaman namun belum ada peraturan turunan dari UU tersebut yang secara rinci mengatur produk pangan rekayasa genetik. Sehingga implementasinya di lapangan berpotensi merugikan konsumen dan para petani.
Keempat, aspek pengusaan ekonomi. Berdasarkan pengalaman petani di berbagai negara dan juga para petani yang pernah menjadi korban percobaan kapas rekayasa genetik di Sulawesi Selatan, gembar-gembor benih yang dikatakan tahan terhadap serangan hama dan produktivitasnya tinggi hanya omong kosong. Malah petani di Sulsel yang beralih ke benih genetik mengalami kerugian besar akibat ketergantungan penyediaan benih. Tiba-tiba harga benih melambung tinggi dan susah dicari, sementara itu petani sendiri tidak bisa mengembangkan benih secara swadaya karena teknologinya sarat modal. Hal ini menyebabkan kerugian yang besar dipihak petani dan mereka mulai membakar ladang-ladang kapas mereka dan segera beralih ke produk non transgenik. Petani hanya dijadikan objek untuk semata-mata keuntungan dagang saja.
Berkaitan dengan keuntungan dagang yang diperoleh lewat jalur spekulasi, penimbunan dan penguasaan teknologi rekayasa genetika yang masih belum aman dari sisi keamanan pangan, maka dalam jangka panjang akses masyarakat terhadap pangan akan semakin sulit dan hal tersebut akan menyebabkan pula terjadinya kelaparan baik di Indonesia maupun dunia internasional. FAO melaporkan bahwa kelaparan pada tahun 2010 mencapai 925 juta di seluruh dunia. Bila trend perdagangan adalah perdagangan bebas, maka tidak menutup kemungkinan angka tersebut akan bertambah seiring dengan perubahan iklim ekstrim.
Oleh karena La Via Campesina sebagai payung gerakan dari SPI di tingkat Internasional memberikan alternatif atas konsep ketahanan pangan yang merekomendasikan kebijakan impor, perdagangan bebas dan rekayasa genetika, serta korporaio pangan dan pertanian sebagaimana yang diuraikan di atas, berupa konsep Kedaulatan Pangan. Konsep kedaulatan pangan (Food Sovereignty) bagi umat manusia di dunia ini dipaparkan pada World Food Summit (WFS) yang dilaksanakan pada bulan November 1996 di Roma, Italia.
Kedaulatan Pangan adalah konsep pemenuhan pangan melalui produksi lokal. Kedaulatan pangan merupakan konsep pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Artinya, kedaulatan pangan sangat menjunjung tinggi prinsip diversifikasi pangan sesuai dengan budaya lokal yang ada. Kedaulatan pangan juga merupakan pemenuhan hak manusia untuk menentukan sistem pertanian dan pangannya sendiri yang lebih menekankan pada pertanian berbasiskan keluarga—yang berdasarkan pada prinsip solidaritas–bukan pertanian berbasiskan agribisnis—yang berdasarkan pada profit semata.
Dalam upaya menciptakan kedaulatan pangan menuju kepada keamanan pangan yang sejati, pemerintah – pemerintah haruslah melaksanakan kebijakan – kebijakan yang mempromosikan keberlanjutan, berlandaskan pada produksi pertanian keluarga, menggantikan peran industri yang berorientasi pertanian eksport dan juga kebijakan impor pangan.
Dengan demikian, kedaulatan pangan sebagai solusi atas ancaman krisis pangan dan berbagai permasalahan yang diuraikan di atas membutuhkan langkah-langkah berikut ini:
Akhirnya semua hal tersebut tergantung dari kemampuan dan kemauan atau willingness Pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan petani, rakyat dan bangsa Indonesia. Semoga.
* Penulis adalah Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), sekaligus Koordinator Umum La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional). Artikel ini juga diterbitkan di Harian Suara Merdeka, edisi Senin, 17 Oktober 2011.
pernyataan yang anda buat sebenarnya tidak beralasan saya orang IT dengan terpaksa konsern pada dunia pertanian
intinya pertanian Indonesia akan maju dengan cara
1. penerapan sistem organik pada tiap proses produksi seperti pemupukan, pengendalian hama penyakit dengan memanfaatkan musuh alami hama dan penyakit
keberadaan pemangsa tikus seperti tyto alba, ular kucing perlu dilindungi
keberadaan pemangsa burung pipit seperti burung pentet elang dsb
pemanfaatan anti patogen dengan memperbesar MO yang bermanfaat akan menekan jumlah patogen karena persaingan hara
2. standarisasi mutu panen
dengan mengikutkan petani pada LSO lembaga sertifikasi organik
sosialisasi grade mutu panen
3. pengolahan turunan panen dengan fabrikasi
sebagai contoh singkong dijadikan tepung mokaf dan dekstrin, tomat => saus
saya yakin pertanian indonesia maju berprospek cerah ke depan