JAKARTA. Jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami peningkatan. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam publikasinya tertanggal 15 Juli 2020 menyebutkan jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 26,42 juta orang pada Maret 2020. Jumlah ini mengalami kenaikan 1,63 juta orang dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di September 2019, dan 1,28 juta pada Maret 2019. Peningkatan jumlah penduduk miskin tersebut dipicu kenaikan harga bahan pokok akibat dari pandemi Covid-19 yang mendera Indonesia sejak awal Maret 2020 lalu.
Masih dalam publikasi yang sama, BPS juga menyebutkan terdapat 12,15 juta orang yang terkategori sebagai penduduk hampir miskin. Kelompok kategori ini bekerja di sektor informal dan menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap kemiskinan dan sangat terkena terdampak pandemi Covid-19.
Menanggapi hal tersebut, Zainal Arifin Fuad, Ketua Departemen Luar Negeri Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) menyebutkan pada dasarnya situasi kemiskinan dan ancaman akan terjadinya kelaparan tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan menjadi sebuah gejala global.
“Kita dapat lihat dari laporan The State of Food Security and Nutrition in the World 2020 (SOFI 2020) yang dirilis oleh FAO bahwa hampir 690 juta orang dalam keadaan kelaparan atau sekitar 8,9 persen dari populasi penduduk dunia saat ini. Angka ini meningkat dibandingkan dengan laporan tahun sebelumnya,” katanya di Jakarta pagi ini (21/07).
Laporan SOFI 2020 juga memperkirakan hampir 2 miliar orang tidak mempunyai kepastian untuk mendapat akses keselamatan, gizi dan makan yang cukup pada tahun 2019. Keadaan ini tentunya berpotensi meningkat mengingat hingga Juni 2020 pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda berakhir.
“Data-data tersebut harus menjadi perhatian kita, meningkatnya jumlah penduduk miskin di Indonesia dan meningkatnya kemiskinan di dunia. Harus kita sadari, kemiskinan dan kelaparan itu erat kaitannya” ujar anggota Komite Koordinasi Internasional La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) ini.
Zainal mengutarakan, meningkatnya kemiskinan ini karena kegagalan sistem pangan global.
“Apalagi dengan adanya pandemi global. Karena itu waktunya implementasi paradigma kedaulatan pangan dengan penerapan Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani & Orang yang Bekerja di Pedesaan (UNDROP) sebagai alat perjuangan untuk mencapainya,” katanya.
Terkait situasi kemiskinan di Indonesia, Sekretaris Umum DPP SPI Agus Ruli Ardiansyah menilai kondisi ini dapat menjadi lebih buruk apabila pemerintah tidak bergerak cepat dan mengambil kebijakan yang tepat.
“Pemerintah harus membuat prioritas kebijakan terkait hal ini. Kita ketahui memang hampir semua sektor terkena dampak dari pandemi Covid-19. Tetapi di antara semua sektor, sektor pertanian terbukti cukup kokoh bertahan” ujarnya.
Agus Ruli juga menyoroti bagaimana pandemi Covid-19 juga mengakibatkan kenaikan jumlah penduduk miskin di wilayah perkotaan, yakni sebesar 1,3 juta orang. Angka ini cukup besar dibandingkan dengan kenaikan di wilayah perdesaan yakni 333,9 ribu orang. Namun demikian, kemiskinan di perdesaan harus lebih diperhatikan, karena meskipun desa sebagai wilayah sumber pangan, namun justru berpotensi besar sebagai kantong-kantong kemiskinan. Menurut BPS, beras masih memberi kontribusi tertinggi pada nilai kemiskinan. tersebut.
“Wilayah perkotaan ini kan hampir bertumpu pada sektor perdagangan dan jasa, jelas terdampak besar karena selama pandemi aktivitas bisa dikatakan berhenti. Berkaca dari hal itu, pemerintah harusnya memperkuat wilayah perdesaan untuk dapat meredam situasi ini, bagaimana agar menyerap para tenaga kerja yang kehilangan pekerjaannya untuk kembali ke desa. Hal ini tentunya dengan memperkuat sektor pertanian” terangnya.
Penguatan sektor pertanian di Indonesia ini dapat dilakukan dengan meredistribusi tanah kepada petani untuk ditanami tanaman pangan, sebagai bagian dari program reforma agraria termasuk juga menjalankan prinsip-prinsip kedaulatan pangan.
”Kita ingat pada bulan Mei lalu Pemerintah sudah mewacanakan terkait redistribusi HGU yang habis masa berlaku dan tanah terlantar untuk mengatasi krisis pangan. Ini harus direalisasikan mengingat sesuai dengan reforma agraria sebagai program strategis nasional,” sambungnya
Oleh karenanya, Agus Ruli menilai upaya pemerintah untuk menyiapkan lumbung pangan atau food estate sebagai upaya mengantisipasi krisisi pangan merupakan langkah yang keliru.
“Kita sudah ingatkan sebelumnya bahwa di tengah krisis pangan ini yang paling cepat dilakukan bukanlah mencetak sawah, melainkan memaksimalkan tanaman pangan di tanah pertanian yang sudah ada, termasuk juga diversifikasi pangan. pemerintah juga harus berkaca dari kegagalan untuk proyek-proyek food estate sebelumnya yakni MIFEE di Papua. Jangan sampai kebijakan ini justru merugikan rakyat dan memicu munculnya konflik agraria,” sambungnya.
Ia meminta pemerintah seharusnya lebih fokus pada kebijakan untuk memaksimalkan penyerapan produksi dari petani di tingkat wilayah. Hal ini mengingat tren penurunan Nilai Tukar Petani (NTP) sudah terjadi sejak Januari 2020, dan terjadi penurunan harga pembelian di tingkat petani hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Baca Juga :
NTP Juli 2020 Naik, Petani Tidak Rasakan Dampaknya
“Kondisi di lapangan masih tidak banyak berubah. Kami mendapati laporan dari anggota SPI di wilayah bahwa ketimpangan harga di tingkat petani, khususnya untuk sayur-sayuran, cukup mencolok. Di Wonosobo misalnya, sudah 3 bulan ini harga cabai dikisaran Rp3.000,- per kilogram. Sementara itu di Kampar, Provinsi Riau yang harga mencapai Rp60.000,- per kilogramnya. Ini kan jelas ada ketimpangan “ tambahnya.
Kontak selanjutnya:
Agus Ruli Ardiansyah: Sekretaris Umum DPP SPI – 0812-7616-9187
Zainal Arifin Fuad : Komite Koordinasi Internasional La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) – 0812-8932-1398
solusi nya segerakan Nawacita Jokowi Reforma Agraria Sejati…redistribusi tanah 9 juta Ha,..untuk petani dan masyarakat yg bekerja di pedesaan karena tanah adalah alat produksi mewujudkan kedaulatan pangan jalan mengatasi krisis pangan…