NTP Januari Naik, Petani Sayur dan Perkebunan Justru Masih Kesulitan

JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai tukar petani (NTP) Nasional Bulan Januari 2023 sebesar 109,84 atau naik 0,77 persen dibanding NTP Bulan Desember 2022. Dalam Berita Resmi Statistik yang dirilis pada 1 Februari 2023 lalu, kenaikan NTP Nasional Januari 2023 disebabkan Indeks Harga yang Diterima Petani (lt) naik sebesar 1,40 persen lebih tinggi dibandingkan kenaikan Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) sebesar 0,63 persen.

Tercatat 3 subsektor NTP mengalami kenaikan selama bulan Januari 2023, yakni: NTP tanaman pangan sebesar 2,07 persen; NTP hortikultura sebesar 1,96 persen; dan NTP perikanan sebesar 0,35 persen. Sebaliknya, 2 subsektor tercatat mengalami penurunan, yaitu NTP perkebunan rakyat sebesar 0,74 persen; dan NTP peternakan sebesar 1,13 persen.

Menanggapi hal tersebut, Departemen Kajian Strategis Nasional, Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI), Mujahid Widian, menyebut tren kenaikan NTP Nasional tersebut tidak terlepas dari masih tingginya harga tanaman pangan, khususnya gabah dan beras, di berbagai wilayah Indonesia.

“Baik itu gabah maupun beras menanjak secara bertahap. Dalam laporan BPS tersebut, tercatat harga gabah mulai dari GKP, GKG, hingga yang luar kualitas, mengalami kenaikan. Kenaikannya juga sudah jauh dari harga pembelian pemerintah (HPP) yang ditetapkan pemerintah. Untuk GKP misalnya kalau mengacu pada HPP itu Cuma Rp4.200/kg di tingkat petani, sementara di bulan Januari 2023 ini sudah Rp5.837/kg”

“Senada dengan data BPS tersebut, laporan dari anggota SPI di berbagai wilayah juga mencatatkan kenaikan harga. Di Pandeglang misalnya, harga gabah basah mencapai Rp5.700/kg; di Indramayu dan Tuban malah lebih tinggi, untuk GKP masing-masing di kisaran Rp6.200/kg dan Rp6.300/kg. Hal ini dipengaruhi beberapa faktor, seperti panen yang belum merata sehingga gabah dan beras masih relatif sedikit jumlahnya, hingga faktor banjir yang mengakibatkan produksi petani terkendala,” kata Mujahid dari Medan, Sumatera Utara, pagi ini (07/02).

Untuk tanaman hortikultura, kenaikan NTP juga berkaitan dengan naiknya harga tanaman cabai dan bawang merah. Sementara untuk jenis tanaman lainnya justru cenderung turun.

“Cabai dan bawang merah harganya memang cenderung naik. Di beberapa wilayah anggota SPI, harga merah di kisaran harga Rp35.000-Rp40.000/kg. Tetapi ada juga yang kenaikannya cukup tinggi, seperti di Aceh Tamiang, harga cabai merah dilaporkan mencapai Rp50.000/kg,”

“Sebaliknya, untuk jenis sayur-sayuran daun harganya mengalami penurunan. Di Deli Serdang misalnya, harga sayur-sayuran seperti bayam, kangkung, kembali turun menjadi Rp2.000-Rp3.000/ikat, setelah sempat mengalami kenaikan pada bulan Desember 2022 lalu. Di Ngablak, Magelang, Jawa Tengah, harga sayuran ikut terjun total, seledri Rp1.000 per kg, pakcoy Rp1.000 per kg, timun Rp1.500 per kg,” paparnya.

“Sementara di Kepahiang, sayuran seperti sawi putih harganya anjlok hingga Rp500/kg, dan banyak petani yang membiarkan sayurannya di lahan dan tidak dipanen karena rendahnya harga,” sebutnya.

“Perlu kerja keras lagi dari pemerintah, khususnya Bulog dan Bapanas untuk mengendalikan harga-harga pangan termasuk sayur-sayuran, sehingga petani mendapatkan keuntungan yang layak dari usaha tani mereka,” sambungnya.

Sementara itu, NTP tanaman perkebunan rakyat pada bulan Januari 2023 mencatatkan penurunan dibandingkan bulan Desember 2022. Penurunan ini merupakan kali pertama, setelah 5 bulan berturut-turut NTP Perkebunan Rakyat mengalami kenaikan.

“Untuk NTP Perkebunan Rakyat, ini sangat dipengaruhi oleh sawit yang menjadi komoditas utama. Laporan dari anggota SPI di beberapa wilayah memang menyebut terjadi sedikit penurunan harga pada bulan Januari 2023 ini. Misalnya di Muaro Jambi, harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat pabrik berada di rentang Rp2.300-Rp2.400/kg, sementara di tingkat petani selisihnya bisa mencapai Rp300/kg lebih rendah dibandingkan harga pabrik. Di beberapa wilayah lain seperti di Pasaman Barat, Kampar, dan Asahan, harga TBS juga berada di rentang harga yang sama” ujarnya.

“Penyebabnya juga karena sawit ditujukan untuk diekspor dan pada bulan Januari harga minyak nabati mengalami penurunan, sehingga berpengaruh terhadap harga TBS di tingkat petani. Laporan FAO ttg indeks harga pangan global per 6 Februari, harga minyak nabati mengalami penurunan,”

“Di samping itu, petani perkebunan yang paling merasakan kenaikan kebutuhan rumah tangga yang paling tinggi dari petani sub-seltor lainnya, tetapi kenaikan paling rendah pada biaya produksi,” sebutnya.

Kenaikan NTP dan Kesejahteraan Petani

Meski NTP nasional menunjukkan tren kenaikan dalam 6 bulan terakhir, masih terdapat banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah. Pemerintah dalam hal ini harus mampu merumuskan strategi yang tepat untuk menjawab keluhan yang dihadapi oleh petani di berbagai sektor pertanian.

“Kalau melihat kenaikan NTP tiap bulannya tentu menggembirakan. Tapi apakah hal tersebut benar-benar dirasakan oleh petani? Apakah kenaikan NTP sudah menjamin kesejahteraan petani tercapai? Menurut SPI hal ini belum tercapai dan kondisi ini berlaku di seluruh subsektor pertanian. Belum ada jaminan atas harga yang layak bagi produksi yang dihasilkan petani. Padahal risiko yang dihadapi semakin tinggi,” katanya.

Mujahid melanjutkan, untuk di tanaman pangan misalnya, kendati saat ini harga gabah maupun beras mengalami kenaikan, tapi hal ini belum sepenuhnya dinikmati oleh petani.

Mujahid Widian

“Situasinya saat ini memasuki panen raya, tetapi belum ada upaya untuk memperbaiki harga pembelian gabah di tingkat petani. Hal ini penting karena kenaikan biaya produksi membuat harga gabah yang digunakan pemerintah sudah tidak relevan. Ini menjadi salah satu penyebab serapan beras pemerintah dari petani tidak maksimal dan berdampak pada cadangan pangan pemerintah,” paparnya.

Ia melanjutkan, oleh karenanya, pemerintah harus segera melakukan perbaikan terhadap kebijakan harga pembelian di tingkat petani. Hal ini penting untuk dilakukan, selain menjamin kesejahteraan petani juga untuk tercapainya serapan pemerintah di panen raya kali ini.

“SPI melakukan kajian terkait harga pembelian tersebut, dan kami mengusulkan di kisaran Rp5.600/kg. Itu sudah memperhatikan berbagai komponen, khususnya biaya modal yang dikeluarkan oleh petani yang terus mengalami peningkatan. Untuk jangka pendek, hal ini penting untuk segera direalisasikan oleh pemerintah” ujarnya.

“Sementara untuk jangka panjang, kembali lagi SPI menekankan pentingnya reforma agraria sebagai upaya untuk menjamin kesejahteraan petani melalui kepemilikan hak atas tanah. Kita ketahui bersama struktur agraria Indonesia ini timpang, dan lebih mirisnya lagi jumlah lahan untuk tanaman pangannya semakin menipis, bahkan kalah dari lahan perkebunan. Maka dari itu, jika kepemilikan atas tanahnya sudah terjamin, hal ini akan berdampak pada produktivitas petani” paparnya.

Ia menambahkan, kenaikan NTP tanaman pangan bisa lebih tinggi jika pemerintah bisa mengendalikan inflasi. Keluarga petani tanaman pangan merasakan kenaikan biaya kebutuhan rumah tangga sebesar 0,64 dan kenaikan biaya produksi sebesar 0,59.

“Namun demikian, kenaikan harga tanaman pangan akan menjadi beban keluarga petani yang masih membeli beras dan juga keluarga miskin kota dan kelas pekerja,” lanjutnya.

“Di samping pengendalian inflasi, negara juga hadir dalam memberi perlindungan dan harga pembelian yang layak seiring dengan kenaikan biaya produksi dan perubahan iklim yang tidak bisa diprediksi,” tutupnya.

Kontak selanjutnya:
Mujahid Widian – Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional DPP SPI – 0813 7523 9059


Berita ini dirilis di beberapa media, antara lain:

Valid News, 07 Februari 2023

ARTIKEL TERKAIT
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU