JAKARTA. La Via Campesina, gerakan petani dunia, merayakan 17 April sebagai Hari Perjuangan Petani Internasional. Petani merayakan Hari Perjuangan Petani ini sejak tahun 1996, dalam rangka menyoroti kerja keras mewujudkan hak atas tanah, serta untuk mengecam kriminalisasi petani di seluruh dunia.
Petani adalah kelompok rentan: terpinggirkan dan menderita kekerasan setiap hari sebagai akibat dari praktik agribisnis dan implementasi kebijakan neoliberal di pedesaan. Untuk itulah, bagi kaum tani, pengesahan Deklarasi PBB untuk Hak Asasi Petani dan rakyat yang bekerja di pedesaan sangat mendesak. Deklarasi ini akan menjadi salah satu alat untuk mendukung perjuangan kaum tani untuk terus hidup dan meningkatkan martabatnya.
17 April 2015 ini, Serikat Petani Indonesia (SPI) akan berfokus untuk merayakan perjuangan bersama melawan perusahaan transnasional dan modal besar penindas petani kecil. Perusahaan-perusahaan raksasa pangan seperti Monsanto, Cargill, dan modal besar layaknya program food estate layak dienyahkan. Mereka mengganggu kedaulatan petani, melanggar hak mendasar petani seperti mengembangkan benih tradisional, serta membuat pasar sulit diakses petani kecil.
Pada bulan lalu, keadaan Nilai Tukar Petani (NTP) tetap suram. NTP kembali turun ke 101,34. Ini artinya petani tidak mendapatkan untung, walaupun banyak komoditas sedang panen. Buah-buahan, perkebunan dan hortikultura termasuk yang terus menderita kerugian.
Henry Saragih, Ketua Umum SPI di Jakarta menyatakan secara khusus, “Pemerintah harus segera bertindak cepat, karena kehadiran korporasi-korporasi yang bergerak di perkebunan tidak memberikan dampak kesejahteraan yang nyata bagi petani perkebunan rakyat.”
Di sektor hortikultura, petani mendapatkan kemenangan kecil karena modal asing tetap dibatasi 30 persen dalam undang-undang. Untuk itu, SPI mendorong pemerintah untuk segera menerbitkan tata cara divestasi untuk hortikultura.
“Berikan saja akses sumber daya untuk petani. Insya Allah petani Indonesia itu amanah, akan mengolah tanah, air, benih bagi pangan yang terhidang untuk keluarga,” pungkas Henry lagi di Jakarta pagi ini (17/04).
Henry melanjutkan, SPI menolak upaya korporatisasi dalam mencapai kedaulatan pangan. Mustahil kedaulatan pangan bisa ditegakkan kalau mengandalkan korporasi pangan.
“Karena itu kita menolak rencana food estate sebagai upaya untuk implementasikan kedaulatan pangan di Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi-JK karena korporasi pangan akhirnya akan mengancam kedaulatan pangan, karena korporasi akan mendikte pemerintah dalam kebijakan-kebijakan pangan. karena itu rencana pemerintah untuk distribusikan tanah 9 juta ha adalah untuk didistribusikan kepada petani untuk dikelola sebagai pertanian keluarga yang terorganisir dalam koperasi-koperasi petani, bukan korporasi pertanian,” paparnya.
Dalam peringatan ini, SPI kembali menyerukan penguatan perjuangan sosial dan organisasi tani di Indonesia. SPI akan terus bekerja keras untuk membuat tuntutan kaum tani jadi nyata: reforma agraria sejati dan serta menegakkan kedaulatan pangan rakyat Indonesia.
Nawa Cita sebagai program pemerintah 2014-2019 sudah eksplisit menyebutkan capaian-capaian untuk hak atas tanah, kedaulatan pangan, dan agar sumber daya agraria bisa dikuasai petani.
Momentum Hari Perjuangan Petani Internasional ini tepat untuk mengingatkan pemerintah, bahwa sumber-sumber tersebut jangan terus dicaplok perusahaan transnasional dan modal besar. Saatnya petani Indonesia berdaulat di atas tanahnya sendiri.
*****
Kontak lebih lanjut:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668