PANDANGAN & SIKAP SERIKAT PETANI INDONESIA MENYAMBUT HARI TANI NASIONAL 24 SEPTEMBER
JAKARTA. Pada tanggal 24 September tiap tahunnya diperingati dengan suka cita oleh kaum tani Indonesia. Inilah harinya petani Indonesia, pada hari itu ditetapkan Undang-Undang N0. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (yang dikenal dengan UUPA 1960) yang mengatur tentang hak-hak dan kewajiban kaum tani, mengatur hak atas tanah, hak atas sumber-sumber agraria untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran petani dan bangsa. Kelahiran UUPA inilah yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Tani Nasional. Penetapannya berdasarkan Keputusan Presiden Soekarno No 169/1963, menandakan bagaimana pentingnya peran dan posisi petani sebagai tulang punggung bangsa.
Sekarang 51 tahun sudah Hari Tani Nasional, ditengah situasi pertanian dan kehidupan diperdesaan tidak mengalami kemajuan berarti. Kemiskinan, kelaparan, konflik agraria serta infrastruktur yang tidak memadai merupakan hal yang lazim dialami sampai kini. Petani Indonesia tetap berharap untuk hidup yang lebih baik dan sejahtera. Karena secara relnya telah tersedia dalam politik agraria UUPA 1960 yang berakar pada kesadaran atas realitas sosio-politik dan sosio-ekonomi rakyat yang sangat tegas ingin menjebol ketidakadilan struktural dalam rangka menyiapkan prakondisi sosial untuk membangun kehidupan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Keberanian dan keberpihakan pemerintah adalah kuncinya.
Situasi pertanian dan perdesaan tergambar secara resmi oleh Biro Pusat Statistik (BPS) bahwa per Maret 2011 masih ada 30.02 juta penduduk berada dalam kondisi miskin dengan komposisi penduduk miskin pedesaan sebanyak 18.97 juta jiwa dan 11.05 juta penduduk miskin perkotaan. Jumlah penduduk yang rentan miskin sebanyak 27 juta jiwa. Tingkat kemiskinan di pedesaan sebenarnya bisa disetarakan dengan jumlah petani gurem, karena mereka inilah kelompok yang rentan. Menurut katagori BPS petani gurem adalah Petani yang tanah garapan kurang dari 0.5 ha. Hasil Sensus Pertanian terakhir (2003) menunjukkan bahwa jumlah Kepala keluarga petani gurem berjumlah 13.7 juta jiwa (53.9% KK Petani) dan hasil proyeksi SPI jumlah keluarga petani gurem pada tahun 2008 berjumlah 15.6 juta jiwa (55.1%). Bila setiap KK mempunyai 3 anak saja, maka jumlah penduduk miskin berjumlah 78 juta jiwa. Tingginya angka prosentase petani gurem tersebut juga menggambarkan betapa ketimpangan agraria begitu besar yang pada akhirnya telah dan akan menyebabkan ratusan konflik agraria. Badan Pertanahan Nasional (2011) mencatat 2.791 kasus pertanahan pada tahun 2011.
Dari sisi jumlah tenaga kerja di bidang pertanian, BPS (2011) mencatat jumlah tenaga kerja pertanian sekitar 42.47 juta jiwa sebagai penyumbang tertinggi jumlah tenaga kerja Indonesia. maka hal ini dapat diartikan hasil jerih tenaga kerja mereka belum dapat mengangkat dari jurang kemiskinan. Lebih dari itu kemiskinan pedesaan dan pertanian tersebut juga menampakkan masa depan yang suram ditinjau dari jumlah petani muda sebagai generasi penerus orang tua petani mereka. Hasil penelitian Perhimpunan Sarjana Petani Indonesia menunjukkan ketersediaan petani pada saat ini di lumbung-lumbung pertanian didominasi oleh struktur usia di atas 45 tahun. Krisis petani muda terjadi di Cianjur ( Jawa Barat), Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi (2011).
Pertanian di Indonesia secara umum masih subsisten, dimana kepemilikan lahan yang sempit yang berdampak kepada pendapatan yang rendah. Pada sisi lain petani juga tidak memiliki sertifikat yang biasa digunakan untuk agunan. Situasi ini menjadikan petani selalu terjebak kepada tengkulak maupun rentenir yang memberikan pinjaman dengan bunga yang tinggi. Hal ini menjadi solusi walaupun petani tercekik, karena para tengkulak maupun rentenir memberikan kemudahan dalam proses kredit.
Untuk mengatasi kemiskinan, ketimpangan agraria dan konflik agraria, pemerintah berjanji mendistribusikan tanah-tanah kepada para petani melalui Program Pembaruan Agraria nasional (PPAN). Janji tersebut disampaikan saat peresmian program strategis pertanahan yang digagas oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) di kawasan Berikat Nusantara, Cilincing, Jakarta Utara bulan Januari 2010. Untuk kedua kalinya janji tersebut disampaikan pada bulan September 2010 di Istana melalui Staff Khusus Presiden (SKP) Bidang Pangan dan energi dan SKP bidang otonomi dan pembangunan daerah. Untuk ketiga kalinya janji diungkapkan pada bulan Oktober dalam peringatan Hari Tani Nasional ke 50 di Istana Bogor. Bahkan menurut Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) saat ini sudah dirumuskan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Reforma Agraria. Lebih dari itu sebagai anggota FAO, Indonesia juga seharusnya melaksanakan pembaruan agraria sebagai salah satu rekomendasi dari International Conferrence on Agrarian Reform and Rural Development pada tahun 2006 di Porto Alegre.
Aih-alih menjalankan Janji-janji tersebut di atas pemerintah justru mengeluarkan kebijakan negara melalui berbagai undang-undang berikut turunannya yang menyimpang dari UUD 1945 pasal 33 dan UUPA 5 tahun 1960. Sebagai contohnya adalah Undang-undang No. 7/2004 tentang sumber daya air yang mengakibatkan privatisasi sumber air, Undang-Undang No. 18/2004 tentang perkebunan yang mengakibatkan ratusan petani dikriminalkan, Perpres 36/2005 dan revisinya Perpres 65/2006 tentang pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum (sekarang sedang dibahas RUU Pengadaan tanah untuk pembangunan), dan Undang-Undang No. 25/2007 tentang penanaman modal, yang membenarkan pemodal menguasai secara dominan disektor pertanian pangan dan perkebunan. Terakhir adalah kebijakan korporatisasi pertanian dan pangan (food estate), yang intinya adalah memberikan ruang dan otoritas besar bagi korporasi besar untuk menguasai lahan pertanian dan produksinya.
Dengan situasi seperti diatas, menata ketimpangan dan ketidakadilan struktur agraria yang terjadi, maka sangat mendesak bagi Indonesia untuk melaksanakan Pembaruan Agraria yang Sejati, yakni suatu upaya korektif untuk menata ulang struktur agraria yang timpang – yang memungkinkan eksploitasi manusia atas manusia – menuju tatanan baru dengan struktur yang bersendikan kepada keadilan agraria. Keadilan agraria yang dimaksud adalah suatu keadaan dimana dijaminnya tidak adanya konsentrasi dalam penguasaan dan pemanfaatan agraria pada segelintir orang. Kemudian didukung dengan kebijakan harga pembelian hasil produksi pertanian, tata niaga yang berpihak pada produsen kecil dan mekanisme keuangan bagi petani. Disamping itu memprioritaskan pembangunan infrastruktur yang mempercepat pembangunan perdesaan dan mendukung pertanian rakyat.
Sikap dan tuntutan:
Pada Peringatan Hari Tani Nasional (HTN) ke 51 ini kami mendesak dan menuntut kepada Pemerintah dalam hal ini Presiden Republik Indonesia, Kementrian Pertanian, Kementrian Negara BUMN, Kementrian Kehutanan, Kementrian Koperasi dan UKM, Badan Pertanahan Nasional, Kepolisian RI dan DPR RI, agar:
Rangkaian Peringatan Hari Tani Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI)
Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI).
Henry Saragih (Ketua Umum)
Info lebih lanjut:
Henry Saragih | Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) | 0811 655 668
Agus Ruli Ardiansyah | Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) | 0812 20707673
Achmad Ya’kub | Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) | 08177 1234 7
================================================================
Tuntutan ini disampaikan Serikat Petani Indonesia (SPI) pada Peringatan Hari Tani Nasional ke 51 bersama:
Aliansi Petani Indonesia (API ), Serikat Petani Pasundan (SPP), Serikat Nelayan Indonesia (SNI ), Serikat Buruh Indonesia (SBI), Lingkar studi Aksi Demokrasi Indonesia (LSADI), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Bina Desa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Kom. Kajian dan Lakuna Bina Bangsa, GMI, DPN KB Marhaenis, Pemuda Demokrat, KASBI , Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia (ISMPI), Forum Komunikasi Mahasiswa Pertanian Indonesia (FKMPI), dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)