DENPASAR. Serikat Petani Indonesia (SPI) bergabung dalam ribuan massa aksi GERAK LAWAN (Gerakan Rakyat Indonesia Melawan Neokolonialisme – Imperialisme) dan Social Movements for an Alternative Asia (SMAA-Gerakan Sosial untuk Alternatif Asia) dalam aksi akhiri WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) di Renon, Denpasar, Bali, tadi pagi (03/12). Aksi yang diikuti oleh lebih dari 30 negara adalah untuk menyikapi Konferensi Tingkat Menteri (KTM) 9 WTO yang diselenggarakan di Nusa Dua Bali pada 3 – 6 Desember 2013.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyampaikan segala hal di WTO adalah tentang perdagangan dan keuntungan semata. WTO bukanlah forum demokratis, banyak negara dan kepentingan dipinggirkan oleh perusahaan transnasional, dan negara-negara industri,
“Masalah subsisi negara-negara maju akhirnya menyebabkan ketidakdilan perdagangan dan praktek dumping. WTO-lah salah penyebab krisis pangan, krisis iklim dan krisis finansial,” paparnya di Denpasar.
Henry menambahkan, oleh kita karena itu SPI bersama La Via Campesina (Organisasi Petani Internasional) mengusung kedaulatan pangan.
“Kedaulatan pangan merupakan hak setiap orang, masyarakat, dan negara untuk mengakses dan mengendalikan aneka sumberdaya produktif serta mentukan dan mengendalikan sistem (produksi, distribusi, konsum) pangan sendiri sesaui kondisi ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya khas masing-masing,” tuturnya.
Henry menambahkan, alternatif-alternatif kedaulatan pangan ini telah dilakukan mulai dari tingkatan lokal, nasional, regional, hingga internasional.
“Di tingkatan lokal kami membangun kawasan-kawasan yang mempraktekkan pertanian agroekologi berbasis keluarga tani. Oleh karena itu kami meminta agar WTO keluar dari pertanian,” tambahnya.