JAKARTA. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) telah mengeluarkan kebijakan tentang asuransi pertanian pada Agustus 2015 lalu.
Asuransi pertanian dibuat untuk menanggulangi masalah gagal panen. Asuransi memang hanya tersedia untuk tanaman padi. Menurut Kementerian Pertanian, pada tahun 2015, kasus gagal panen mencapai sekitar 88.575 hektar.
Bagaimana mekanismenya? Singkatnya begini. Petani padi ikut asuransi dengan perusahaan asuransi yang ditunjuk pemerintah. Petani juga harus membayar premi, yang awam untuk asuransi: besarnya adalah Rp 180.000 per hektar per musim tanam.
Namun untuk pembayaran premi ini, ada subsidi pemerintah. Petani hanya cukup membayar Rp 36.000 per hektar per musim–atau sekira 20 persen dari total. Sisanya ditanggung pemerintah.
Nah, jika terjadi gagal panen dengan intensitas kerusakan 75 persen atau lebih, maka petani berhak mendapatkan ganti untung. Besarnya? Rp 6 juta per hektar per musim tanam.
Asuransi ini sendiri merupakan mandat dari UU No. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (yang akrab dengan akronim UU Perlintan). Namun ada beberapa pertanyaan serius terkait asuransi tersebut–dan mengapa setelah hampir setahun implementasinya sulit laku di kalangan petani.
“Ada beberapa sebab,” kata Ditjen PSP Kementan melalui advertorialnya di media massa. Pertama, petani kurang memahami manfaat dan prosedur asuransi. Kedua, petani tak bisa merasakan manfaat langsung asuransi kecuali gagal panen dan bisa mencairkan klaim. Ketiga, premi asuransi dianggap membebani.
Dalam kesempatan berbeda, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyampaikan beberapa keluhan dari petani mengenai asuransi ini.
“Yang pertama dari penerima (beneficiaries) program. Jika ini implementasi UU Perlintan, harusnya harus berlaku untuk semua petani,” ujar Henry di Jakarta pagi ini (03/03).
Menurutnya ini sama sekali merujuk ke turunan dari Permentan 40/2015 yaitu Keputusan Menteri Pertanian RI nomor 2/2016 tentang Pedoman Bantuan Premi Asuransi Usahatani Padi.
“Sehingga penerima manfaat masih kelompok tani saja bukan Kelembagaan Petani berdasarkan Pasal 70 ayat (1) UU Perlintan hasil Putusan MK,” ungkapnya.
Ia melanjutkan, “dan salah kaprahnya, baik form asuransi maupun beneficiaries di desa, tetap diperuntukkan bagi kelompok tani binaan pemerintah–tidak berlaku umum. Ini ‘kan diskriminasi, sementara UU Perlintannya sudah di-judicial review agar manfaatnya bisa ke semua organisasi tani.”
“Pertanyaan selanjutnya yang muncul dari petani anggota SPI adalah kenapa hanya padi? Ini hanya meneruskan berasisasi Orde Baru: petani padi terus yang digenjot pemerintah,” ujar Henry.
“Sementara, hampir semua usaha tani berisiko tinggi karena perubahan iklim saat ini,” terang dia. “Hortikultura, peternakan lokal–terutama unggas, amat terancam,” tutup Henry.