JAKARTA. Badan Pangan Nasional RI resmi mengeluarkan kebijakan baru terkait Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah dan Beras, dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Beras. Berdasarkan Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 4 tahun 2024 dan Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 5 tahun 2024, HPP dan HET mengalami perubahan, berturut-turut menjadi Rp6.000/kg (HPP); dan Rp12.500-Rp13.500/kg (mengacu pada zonasi).
Menanggapi hal terebut, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan, Peraturan kepala Badan Pangan Nasional ini keluar di waktu yang kurang tepat. Dalam pernyataanya, ia menilai keputusan ini kurang tepat karena musim panen utama sudah berlalu. Kemudian sesaat lagi akan memasuki musim panen kedua atau gadu, dan menjelang akhir tahun nanti panen ketiga (paceklik). Dimana jumlah gabah yang dipanen dari musim tanam kedua dan ketiga biasanya lebih sedikit, dan harga gabah cenderung lebih tinggi. Dalam konteks ini, keputusan tersebut tidak efektif dalam melindungi petani.
“Sementara itu produsen besar dan pedagang besar mungkin mendapatkan manfaat dari situasi ini, hal tersebut dapat merugikan produsen kecil yang mungkin terpaksa menjual gabah dengan harga rendah selama musim panen utama. Ini menciptakan ketidakseimbangan dalam rantai pasok pangan dan dapat memperburuk ketimpangan ekonomi antara produsen besar dan produsen kecil”, ujar Henry.
Penurunan harga gabah di tingkat petani tercermin dari penurunan Nilai Tukar Petani (NTP) subsektor Tanaman Pangan. Henry menyebut selama tahun 2024 ini, NTP Tanaman Pangan mengalami penurunan bersamaan dengan musim panen raya padi di beberapa wilayah.
“Jika kita melihat grafik NTP Tanaman Pangan, terjadi penurunan yang cukup besar dari bulan Februari 2024 hingga Mei 2024 ini. Bahkan penurunan ini juga mempengaruhi NTP nasional, yang trennya juga menunjukkan penurunan dalam 3 bulan terakhir. Secara momen, ini bersamaan dengan musim panen raya di beberapa wilayah produsen padi”, ujarnya.
Penting bagi kebijakan pemerintah untuk mempertimbangkan dampaknya terhadap semua pihak yang terlibat dalam rantai pasok pangan, termasuk produsen kecil. Perlindungan terhadap produsen kecil dapat mencakup kebijakan harga yang adil, insentif untuk meningkatkan produktivitas, dan akses yang lebih baik ke pasar. Dengan demikian, pemerintah dapat menciptakan lingkungan yang lebih seimbang dan inklusif bagi semua pemangku kepentingan dalam sektor pertanian.
“Menurut kami, kalau ini untuk persiapan mengantisipasi panen raya, katakanlah nanti tahun 2025, jadi harga HPP ini juga belum sesuai dengan tuntutan petani. Karena harga pokok produksi saja pun gabah itu menurut kita sudah Rp6.000 modalnya sebagaimana yang sudah kita sampaikan yang harusnya HPP ini sebesar Rp7.000. Kemudian jarak antara HPP Gabah dengan HET Beras, terutama beras premium rentang harga terlampau jauh. Harusnya HET itu masih bisa diturunkan lagi”, tutur Henry.
Perbedaan yang signifikan antara HPP gabah dan HET beras, terutama untuk beras premium, mungkin mengindikasikan kurangnya keseimbangan atau koordinasi dalam kebijakan harga antara berbagai komoditas pangan. Dalam hal ini, penyesuaian lebih lanjut pada HET beras mungkin diperlukan agar lebih sesuai dengan harga yang ditetapkan untuk gabah, sehingga memastikan keadilan bagi para petani dan stabilitas harga di pasar.
Sebagai gambaran, berikut data primer anggota SPI dari sentra produksi padi per 10 Juni 2024.
“Merujuk data diatas, perlindungan dan pemberdayaan petani belum berhasil dijalankan, karena ternyata pada masa panen raya kemarin HPP tidak ditegakkan karena banyak gabah-gabah petani yang dibeli dengan harga Rp5.000 per kg, bahkan ada di beberapa kasus di bawah Rp5.000 per kg. Demikian juga HET di musim panen raya saja pun, harga beras masih juga ditemui di beberapa tempat melampaui dari harga HET, apalagi saat panen musim gadu ini, ataupun di musim paceklik nanti.
Meskipun begitu SPI tetap mengapresiasi kehadiran pemerintah dalam tata niaga perberasan. Hanya saja pemerintah perlu mempertimbangkan pembaruan kebijakan harga yang lebih komprehensif dan responsif terhadap kebutuhan petani serta dinamika pasar. Ini mungkin melibatkan dialog yang lebih luas dengan para pemangku kepentingan dalam sektor pertanian dan pangan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil mencerminkan kondisi dan aspirasi yang sebenarnya dari berbagai pihak yang terlibat.
Dengan demikian, kebijakan harga dapat menjadi lebih efektif dalam mencapai tujuan melindungi petani, menjaga stabilitas harga pangan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif di sektor pertanian. Sebagaimana yang telah diatur dalam UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, serta Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Orang-orang yang Bekerja di Perdesaan (UNDROP).