Kami, petani perempuan dari Kolombia, Republik Domenika, Korea Selatan, Indonesia, Spanyol, Thailand, Malaysia dan Timor Leste, berkumpul di Yakarta dan membicarakan kondisi petani perempuan di seluruh.
Kondisi yang sulit di pedesaan dan tidak punya tanah memaksa perempuan untuk pergi ke perkotaan dan keluar negeri untuk menjadi buruh berupah rendah. Kemiskinan meluas di pedesaan dan perempuan tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk memberi makan keluarga, menyebabkan meningkatnya gizi buruk baik di perkotaan maupun pedesaan.
Tanggung jawab untuk merawat keluarga berada di tangan perempuan, kekurangan dan ketidak pastian pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi anak-anak juga memaksa perempuan untuk bekerja dengan jam kerja yang panjang dan upah rendah.
Perempuan yang bekerja di lading dan menggunakan pupuk kimia rentan terhadap penyakit. Penggunaan pupuk kimia mengancam baik tubuh manusia dan juga lingkungan, terutama saat digunakan oleh mereka yang buta huruf dan tidak mampu membaca instruksi serta tidak ada siapa pun yang dapat menerangkan cara penggunaan produk tersebut.
Perempuan juga menderita kekerasan yang dilakukan oleh suami, rekan atau pimpinan tempat kerja mereka. Kekerasan yang diderita bisa secara fisik atau mental dan bahkan mengancam keselamatan mereka.
Kebijakan pertanian global yang dipaksakan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan Dana Moneter Internasional (IMF), kini diperparah dengan krisis pangan, memaksa petani untuk berhutang bagi pertanian mereka yang pada akhirnya menyebabkan mereka terbelit hutang dan memaksa mereka meninggalkan tanah pertanian mereka. Banyak petani melakukan bunuh diri ketika mereka tidak mampu melunasi hutang-hutang mereka, di banyak kasus hutang memaksa laki-laki untuk meninggalkan wilayah pedesaan untuk mencari pekerjaan di perkotaan, meninggalkan perempuan sendirian memikul beban rumah tangga pertanian.
Lebih lanjut, di banyak konflik agrarian perempuan berjuang di garis terdepan dengan resiko membahayakan dirinya.
Kaum muda tidak lagi berkeinginan menjadi petani karena pekerjaan ini tidak diakui secara social dan tidak memiliki upah yang layak. Lebih lanjut, membeli lahan pertanian tidak lah murah akibat spekulasi sebagai akibat dari pembangunan atau industrialisasi: perumahan, wilayah industri, kawasan perdagangan, dan infrastruktur yang mendorong meningkatnya harga tanah. Dalam situasi ini petani yang telah lama mengolah lahan tergusur ke wilayah yang kurang subur dan kehilangan keanekaragaman hayati.
Di banyak Negara, petani tidak diperkenankan untuk menjaga, melestarikan, melakukan pertukaran dan menanam benih mereka sendiri, menyebabkan hilangnya pengetahuan local dalam pertanian dan petani diwajibkan untuk membeli benih yang dihasilakn oleh perusahaan transnasional yang hanya memikirkan keuntungan mereka semata. Perusahaan-perusahaan ini menciptakan tanaman transgenic (GMO) dan tanaman sejenis (monokultur) yang menyebabkan hilangnya berbagai spesies dan keanekaragaman hayati secara umum.
Perjanjian perdagangan bebas yang dilakukan oleh pemerintah tanpa berkonsultasi dengan rakyat mendorong masuknya pangan impor yang mengancam kedaulatan pangan bangsa dan mengabaikan aspek makanan yang sehat dan aman. Seperti perdagangan bebas antara Korea dan Amerika Serikat, yang diawali oleh perjanjian daging sapi impor dari Amerika Serikat. Perjanjian perdagangan bebas mempengaruhi Negara dan juga perempuan secara pribadi. Salah satu contoh, melalui perjanjian perdagangan bebas Indonesia akan mengimpor makanan laut ke Jepang sebagai pertukaran bagi ijin perawat-perawat Indoseia untuk bekerja di Jepang.
Melihat kesulitan-kesulitan yang dihadapi perempuan dalam keseharian kami sebagai petani; Pertemuan Perempuan Internasional untuk Hak Asasi Petani di Jakarta menuntut:
Semua pelanggaran hak asasi petani yang terjadi dalam keseharian kita harus segera dihentikan.
Untuk menerapkan sebuah Konvensi Internasional Hak Asasi Petani sebagai perjuangan bagi pengakuan para petani, Konvensi ini agar menjadi sebuah instrument untuk menegakkan hak-hak para petani da menjamin pemenuhannya oleh pemerintah.
Sangat lah penting agar konvensi ini mengakui secara formal peran para petani perempuan dalam pertanian. Petani perempuan harus mendapat pelayanan kesehatan dan pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka.
Jakarta, 20 Juni 2008