Catatan Penting Atas UU Perlintan

Diskusi UU P3 di DPP SPI Jakarta

JAKARTA. DPR RI akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan) menjadi sebuah Undang-Undang (UU) pada pada selasa (09/07). Berdasarkan hal ini Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) melakukan diskusi membedah UU Perlintan di kantor sekretariat DPP SPI di Jakarta, kemarin sore (11/07).

Ketua Umum SPI Henry Saragih mengungkapkan diskusi kali ini digelar SPI untuk mengkritisi UU yang baru saja disahkan DPR ini. Di satu sisi pengesahan UU ini adalah sebuah kemajuan, namun di sisi lain ternyata isi UU ini tidak mengatur hal paling pokok yang dibutuhkan oleh petani.

“Tanah adalah hal mutlak yang dibutuhkan petani namun tidak dijelaskan dalam UU ini. UU Perlintan ini juga berpotensi membuka arus kapitalisasi pertanian melalui asuransi pertanian yang dilakukan oleh bank swasta, saya khawatirkan BUMN dan BUMD kalah cepat dengan pelaku usaha asuransi, dan hal itu membahayakan bagi petani,” ungkap Henry.

Henry juga menjelaskan UU Perlintan ini akan semakin menghilangkan peran Ormas tani karena rakyat (baca:petani) hanya diberikan kesempatan beorganisasi di dalam wadah yang sudah ditentukan oleh pemerintah.

“Jadi ini serasa balik ke zaman orde baru, pemberlakuan organisasi tunggal yang ditentukan oleh negara. Hal ini dibuktikan dengan pasal 69 dan 70 UU Perlintan ini. “Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mendorong dan memfasilitasi terbentuknya kelembagaan petani dan kelembagaan ekonomi petani (pasal 69); Kelembagaan petani sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat (1) terdiri atas kelompok tani, gabungan kelompok tani, asosiasi komoditas pertanian, dan dewan komoditas pertanian nasional (pasal 70). Ormas tani seperti SPI, API, dan lainnya jelas-jelas tidak ada disebutkan,” papar Henry.

Hal senada juga disampaikan oleh Gunawan dari Indonesia Human Right Commision for Social Justice (IHCS). Menurutnya UU Perlintan ini tidak jelas mengatur soal tanah. Hal ini terlihat dari hanya konsolidasi tanah, tanah pertanian terlantar dan tanah negara bebas yang bisa diredistribusikan kepada petani, itupun bukan menjadi hak milik melainkan hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan sebagaimana diatur dalam pasal 59 UU Perlintan.

“Hak sewa tanah juga menimbulkan ketidakpastian hukum sebab bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 Tahun 1960 yang menyatakan bahwa penggunaan tanah negara dilakukan dengan hak pakai yang bukan sewa menyewa (Pasal 41 UUPA 1960),” ungkap Gunawan.

Gunawan menambahkan, dengan petani menyewa negara, menjadikan feodalisme hidup kembali, dimana negara menjadi tuan tanah dan petani menjadi penggarap, yang mana kesulitan petani membayar sewa akan membawa petani dalam perangkap lintah darah dan sistem ijon.

“Sisa-sisa penghisapan feodalisme inilah yang sesungguhnya hendak diberantas oleh UUPA 1960,” tambah Gunawan.

Diskusi UU P3 di DPP Serikat Petani Indonesia, Jakarta

Dalam kesempatan yang sama, pakar agraria Indonesia Gunawan Wiradi yang juga hadir dalam diskusi kali ini kembali menegaskan, UU Perlintan ini tidak jelas melindungi siapa.

“Petani paling sering digusur. Seharusnya “tanah” untuk petani itu yang dilindungi. Inilah akibat DPR yang tidak serius dan cuma mau menghibur. Asuransi pertanian bukan melindungi tapi riskan menjerat,” tegas pria berusia 80 tahun penyandang gelar Honoris Causa dari Institut Pertanian Bogor (IPB).

Guru besar emeritus bidang sosiologi Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr Sediono MP Tjondronegoro menyampaikan UU Perlintan ini harus berdasarkan UUPA No.5 Tahun 1960 atau setidaknya TAP MPR No.9 Tahun 2011.

“Jadi dalam hal ini negara bukan pemilik tanah, tapi hanya memiliki wewenang mengatur. Jadi perihal sewa tanah itu patut dipertanyakan. Impor bahan pangan yang saat ini marak terjadi juga disebabkan karena petani tidak punya cukup tanah, ” katanya.

Sementara itu diskusi yang diakhiri dengan buka puasa bersama ini dihadiri oleh sejumlah Ormas dan Lembaga pendukung gerakan tani seperti Aliansi Petani Indonesia (API), Bina Desa, Institute for Global Justice, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Indonesia, IHCS, Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), dan lainnya.

ARTIKEL TERKAIT
SPI Ikuti Kemah Pemuda Tani La Via Campesina di Thailand
Kolaborasi SPI di Sekolah Tani Muda Yogyakarta
Kemiskinan di Desa Meningkat, Redistribusi Lahan Semakin Men...
Antara Sukabumi dan Karnataka
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU