“Siapa yang kehilangan air, maka suatu saat akan kehilangan tanah”
Sumatera Barat merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang berada di pesisir pantai barat pulau sumatera yang berhadapan langsung dengan Samudra Hindia. Propinsi ini dianugerahi dengan tiga gunung api, lembah dan rawa serta aliran sungai hingga menjadikan tanahsubur. Sumatera Barat juga memiliki banyak daerah yang berupa rawa sebagai tampungan air dari hulu, disini juga merupakan tempat tumbuhnya berbagai jenis ikan dan pepohonan, rotan dan tanaman obat-obat.
Namun kesuburan tanah ini tidaklah menjadikan keluarga tani sejahtera dalam menjalani kehidupan sehari-hari, namun menjadi sumber sengketa atas kerakusan kaum kapitalis dengan memperalat rezim guna mencaai tujuan mereka. Banyak peraturan yang telah diregulasi, banyak badan usaha negara yang telah diprivatisasi dan banyak sudah darah petani dan anak petani tertumpah ke tanah ibu pertiwi dalam perjuangan menegakkan kedaulatan kaum tani.
Organisasi tani yang kian terdidik dan terorganisirlah sebagai salah satu cara dan usaha dalam menegakan hak-hak kaum tani di atas tanahnya sendiri.
Tata Kelola Tanah Menurut Sistem Adat
Tanah di Sumatera Barat merupakan satu kesatuan dengan manusianya, hal ini disebut dalam tataran adat masyarakat adat Minangkabau dengan sebutan sako dan pusako. Sako merupakan struktur dan gelar pimpinan adat sedangkan pusako adalah luasan tanah yang dikuasai masing-masing marga. Sebaran tanah setiap marga ini dikenal dengan sebutan tanah ulayat. Tanah ulayat ini juga dibagi dalam beberapa bagian yakni :
1. Tanah Ulayat Negeri. Tanah ini merupakan tanah milik bersama seluruh rakyat nagari yang hasilnya adalah untuk dukungan pemerintahan nagari dalam menjalankan roda pemerintahan dengan kata lain tanah ini hanya boleh diolah untuk nagari.
2. Tanah ulayat marga. Tanah ini dimiliki oleh seluruh anggota marga yang dipimpin oleh pimpinan marga yang bergelar Datuak, dalam pengelohan tanah ini harus dimulai dengan musyawarah seluruh anggota suku dan bisa dilaksanakan pengelolaannya apabila seluruh anggota suku bersepakat.
3. Tanah ulayat kaum (indu). Tanah ini merupakan milik satu keturunan saja atau keluarga besar yang sebelumnya hutan dan sebelum menjadi tanah kaum adalah tanah nagari, namun saat ini tidak ada lagi tanah nagari yang bisa dijadikan tanah kaum karena ketersediaan tanah sudah sempit.
4. Tanah keluarga. Tanah ini berawal dari tanah ulayat marga, sebelum menjadi tanah keluarga, bagi laki-laki meminta izin dulu pada pimpinan marga untuk mengolah tanah yang masih kosong atau masih berupa hutan dan seteah diolah atau ditanami dan maka akan menjadi tanah keluara.
Secara umum tanah kaum dikelola atas nama perempuan dan dikuasakan oleh pimpinan marga dan tanah kelurga dibagi rata pada anak-anak karena itu adalah usaha dari ayahnya.
Dalam konsep adat sistem tata kelola tanah terdiri dari lima jenis, diantaraya adalah:
1. Tanah untuk pemukiman. Tanah untuk pemukiman ini merupakan sebagai pusat kampung atau yang disebut dengan nagari, dalam nagari ini selain pemukiman atau rumah penduduk juga terdapat untuk fasilitas umum, perkantoran, ibadah dan MCK.
2. Tanah untuk tanaman pangan. Suku minang dari awal mengunakan beras sebagai makanan pokok maka tanaman pangan adalah padi yang ditanam di areal sawah atau ladang. Selain beras juga mengenal tanaman rubia senagai penghasil sagu dan ini merupakan makan sela keluarga, rumbia ini lebih banyak tumbuh di daerah rawa jadi selain untuk rumbia rawa ini juga berfungsi sebagai tempat berkembang biak berbagai jenis ikan sebagai lauk.
3. Tanah untuk perladangan. Tanah yang diperuntukan bagi perladangan, ditanami dengan tanaman hortikulutra atau tanaman jangka pendek berupa sayur-sayuran.
4. Tanah untuk pengembalaan. Tanah yang diperuntukan bagi pengembalaan ternak berupa kambing, sapi dan kerbau sekalian menjadi areal guna menanam tanaman tua berupa kelapa, kayu manis, karet dan atau pepohonan yang nantinya bermanfaat bagi keluarga atau marga dalam pembangunan rumah gadang.
5. Tanah untuk persiapan atau hutan belantara. Hutan belantara selain digunakan bagi kebutuhan kayu api juga berfungsi dalam menjaga keberadaan keanekaragaman berbagai tumbuh-tumbuhan obat-obatan serta berburu binatang seperti rusan dan kijang serta kambing hutan.
Ekspansi perkebunan kelapa sawit
Data dari Badan Pengawasan Persaingan Usaha Republik Indonesia menyebutkan bahwa untuk Provinsi Sumatera Barat pada tahun 1980 tidak terdapat perkebunan kelapa sawit, namun pada tahun 1990 luas perkebunan kelapa sawit adalah 35.604 ha, tahun 2005 luas perkebunan kelapa sawit terdapat 324.332 ha, dan tahun 2012 luas perkebunan sawit terdapat 344.352 ha (www. bkpm.go.id).
Jadi relevansi kegiatan ini dengan politik dan ekonomi adalah:
Perjuangan kaum tani
Dari awal pembangunan kelapa sawit di Provinsi Sumatera Barat, tepatnya di Kabupaten Pasaman Barat memang ditolak oleh petani dan atau masyarakat dengan semboyan “kami petani tidak bisa makan sawit tetapi makan beras”. Namun karena ini adalah pilot project pemerintah yang berupa usaha negara yang masuk dalam Badan Usaha Milik Negara maka rezim saat itu memaksanakan dengan mengerahkan militer dan memasukkan para pensiunan militer atau kerabat dekat penguasa sebagai peserta plasma.
Sistem pengelolaan perkebunan sawit dibagi menjadi dua bagian pertama disebut dengan “inti” yakni kebun yang langsung dikelola dan hasilnya untuk perusahaan, kedua “plasma” yang mana kebun ini dikelola awal oleh perusahaan dan setelah bebas hutang diserahkan pada petani.
Sengketa mulai bergelora di provinsi ini pada tahun 1990 dengan masuknya perusahaan perkebunan kelapa sawit swasta, yang mana perusahaan mengarap tanah yang tidak diserahkan oleh kelurga tani namun masuk dalam HGU perusahaan. Namun pada tahun ini perlawanan kaum tani dipatahkan oleh kekuatan militer karena waktu itu kekuasaan dipegang oleh militer.
Pada tahun 1998 terjadinya reformasi maka kaum tani menyatakan dan memproklamirkan berdirinya organisasi tani sebagai wadah berama dalam mewujudkan kemandirian dan anti terhadap penindasan.
Tabel daftar kasus masyarakat dengan perkebunan kelapa sawit di Kab. Pasaman Barat, Sumatera Barat (SPI)
Penutup
Walaupun masih sedikit tanah yang berhasil diperjuangkan dan telah kembali ke tangan petani namun perjuangan masih dilanjutkan dan beberapa tahun belakangan merupakan bagian dari proses memperkuat diri dengan belajar dari setiap proses perjuangan dan selalu memperbaiki organisasi guna tercapainya cita-cita luhur keluarga tani dalam memnuhi kebutuhan anggota keluarga.
Kebaikan yang tercerai berai akan dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir dan oleh sebab itu hanya satu cara yakni perkuat organisasi dan teguhkan hati dalam barisan perjuangan. Viva reforma agraria, hidup petani!!!
*Penulis adalah anggota Majelis Nasional Petani (MNP) Serikat Petani Indonesia (SPI) asal Sumatera Barat
pemerintah sebaiknya membuat kebijakan industri hulu dan hilir , utk perkebunan kelapa sawit buatlh program perkebunan rakyat sedangkan perusahaan sbg penerima hasil perkebunan utk industri CPO nya , kalo ini yg dijalnkan akan terjadi sinergi antara rakyat dg perusahaan . dn tidak akn muncul pertkaian antara perusahaan dg rakyat, ini terjadi karena pemerintah memberikan lampu hijau kepad perusahaan untuk menguasai lahan utk perkebunan , kalau rakyat dibimbing dn dibina sekaligus pemberi pinjaman seperti UKM lah atau apa utk perkebunan rakyat . ini kalo dijalankan wouh sangan bagus sekali. karena itu prospeknya bagus sekali. tapi yg sy lihat pmerintah bukan itu yg dipilih tetapi lebih memilih pada perusahaan , sy gk th ap yg membuat kok begitu. lebih seneng rakyatnya sengsara dari pada makmur. lebih seneng rakyatnya jadi buruh dinegeri sendiri. mbok ya sinergikan itu program perkebunan rakyat. pemerintah yang memfasilitasi, jangan mendahulukan kepentingan pribadi lah. okey soo utk pemerintah buat aja konsepnya wong indonesia bukan orang goblok lagi kok . bnk yg pinter . gandeng itu para ilmuan profesional , wong yag sudah jalan sudah banyak kok. dan hasilnya bagus , mengapa kok mau meniru aja, ada apa ?