Dalam melakukan perjuangan agraria, rakyat tani harus bisa bekerjasama dengan segenap pihak termasuk dengan kaum ulama. Hal tersebut mengemuka dalam seminar dan bedah jurnal “Gerak Ulama dan Politik Agraria” yang diadakan oleh SPI bersama dengan Lakpesdam NU di Jakarta (24/7). Seminar tersebut digelar sebagai rangkaian kegiatan HUT SPI ke-10.
Peran ulama ini sangat penting karena sebagian besar petani tinggal di pedesaan dan bersinggungan dengan pendidikan pesantren. Bahkan diantara petani tersebut banyak yang mengenyam pendidikan di pesantren mengingat pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terbuka bagi rakyat pedesaan yang miskin. “Kita tidak ingin sejarah kelam yang terjadi tahun 60-an terulang, dimana terjadi konflik horizontal antara kaum tani dengan kaum pesantren yang dipimpin ulama. Oleh karena itu ulama harus dilibatkan dalam perjuangan pembaruan agraria demi terwujudnya struktur penguasaan agraria yang lebih adil,” ujar Ketua Umum SPI Henry Saragih.
Pentingnya keterlibatan ulama dalam politik agraria ini ditegaskan juga oleh Ketua PBNU KH Masdar Mas’udi. Dalam kerangka ulama dan politik agraria, ada stigma bahwa ulama tidak tepat untuk mengurusi permasalahan duniawi seperti masalah pangan dan tanah. “Padahal, ada hadis rasulullah menyebutkan bahwa manusia itu bersekutu dalam tiga hal yaitu akses terhadap sumber daya air, sumber pangan dan sumber energi.
Masdar juga mengemukakan saaat ini ada kemandegan dalam gerakan ulama di Indonesai akibat kurangya sumber daya manusia. Saat ini pembanguan yang terjadi adalah penindasan kaum kecil, makanya pembangunan tidak berkah. Hasilnya adalah kefakiran yang menyebabkan kukufuran.
Hal senada juga disampaikan Redaktur Jurnal Tashwirul Afkar, Mun’im. Menurutnya ulama yang dimotori NU harus turun untuk memperjuangkan hal-hal yang kongkrit bagi rakyat. “Jika NU ingin membantu petani penting untuk membantu penguasaan tanah, air dan benih,” tegas dia.
Terakhir, Profesor Makshum dari Universitas Gajah Mada berharap agar para agamawan mau mengkoreksi diri secara kolektif dalam mengubah ketidak jelasan arah bangsa ini. “Seperti yang bisa kita lihat di Philipine lewat People’s Power atau di Iran lewat kempemimpinan satu komando Ayatullah,” ujar dia.
Makshum juga mengemukakan peran akademisi sudah sangat tidak bisa diharapkan, karena seringkali yang dihadapi ialah birokrasi dan kekuasaan dimana pemilik uang bisa mengadu antar akademisi. Namun kaum ulama masih memiliki posisi penting untuk didengarkan. “Sayangya hingga kini dari agama apa pun belum ada yang menyuarakan perlindungan tanah bagi kaum tani dan bangsa,” tandas dia.