JAKARTA. Resiko terbesar dari pelaksanaan perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement-FTA) Uni Eropa(UE)-Indonesia adalah terhadap kedaulatan pangan dan pertanian pangan di Indonesia. Di satu sisi, ekspor pertanian Uni Eropa akan meningkat sebagai konsekuensi dari pengurangan bea masuk, yang akan berdampak buruk terhadap petani Indonesia. Di sisi lain, pengurangan bea masuk ke pasar Eropa akan mendorong perekonomian Indonesia menjadi lebih terspesialisasi pada produksi dan ekspor bahan baku, komoditas yang belum diproses (bahan baku), yang tidak berkontribusi banyak untuk pembangunan.
Berdasarkan hal ini Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama Institute of Global Justice (IGJ), Aliansi Petani Indonesia (API), Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Institut Kajian Krisis dan Strategi Pembangunan Alternatif (INKRISPENA), Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) menyelenggarakan seminar bertemakan “Konsolidasi Nasional Gerakan Sosial Menghadapi Tantangan Hubungan Indonesia-Uni Eropa” di Jakarta, 25 April 2012.
Dari sisi pertanian, Achmad Ya’kub, Ketua Departemen Kajian Strategis, Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI menyampaikan bahwa jika FTA ditandatangni Uni Eropa dan Indonesia, sebagian besar bea masuk yang diterapkan oleh Indonesia pada produk pertanian Uni Eropa akan ditekan.
“Tidak diragukan lagi produk pertanian Uni Eropa akan menjadi lebih kompetitif di pasar Indonesia dan akan terjadi peningkatan ekspor Uni Eropa untuk produk susu, sereal, daging, gula, dan pangan olahan. Semuanya tentu saja akan mengancam pembangunan pertanian dan kedaulatan pangan Indonesia,” ungkap Ya’kub.
Ya’kub juga menegaskan bahwa perdagangan bebas UE-Indonesia dampaknya hanya akan merugikan masyarakat/produsen kecil di Indonesia. Hal ini pun secara jelas dinyatakan dalam studi potensi dampak FTA ASEAN yang dilakukan oleh Komisi Eropa. Analisis ini menyimpulkan bahwa: “dalam jangka panjang ekspor gandum Uni Eropa ke negara-negara ASEAN akan meningkat “; ” sebagian besar negara ASEAN akan mengalami penurunan dalam output [sereal & biji-bijian] akibat FTA”; “Namun, mengingat pentingnya sektor ini bagi negara-negara ASEAN hal ini bisa diartikan sebagai dampak yang substansial “; “harga dan output yang lebih rendah berarti pendapatan riil yang lebih rendah bagi para produsen”; “pertanian kecil akan tersingkir, untuk kepentingan perusahaan pertanian besar “;” di negara-negara ASEAN hal ini akan mempengaruhi tenaga kerja tidak terampil dan terampil “, dan” ini berarti bahwa daerah pedesaan akan mengalami peningkatan level kemiskinan (Penilaian Keberlanjutan Dampak Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) Uni Eropa dan ASEAN, Lampiran, 2009.)
Indra Sakti Lubis dari La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) menekankan bahwa bagi petani Indonesia langkah negosiasi FTA-Uni Eropa sangat mengkhawatirkan. Dalam mekanisme WTO (World Trade Organization-Organisasi Perdagangan Dunia) saja, banyak negara yang bertekuk lutut untuk meliberalkan kebijakan pertanian dan pangannya yang berakibat buruk bagi petani kecil. Apalagi ambisi FTA Uni Eropa ini akan lebih liberal dari perjanjian di WTO. Bisa dipastikan ancaman kemiskinan di pedesaan, pelanggaraan hak asasi petani dengan rezim paten, perampasan lahan, dan rusaknya tata niaga produksi pertanian akan semakin buruk.
“Bicara tentang kedalatan rakyat bahwasannya gerakan rakyat harus berada dalam garda terdepan dalam perjuangan, dalam hal ini perjuangan SPI tidak hanya melawan WTO tapi juga melawan segala bentuk perjanjian yang merugikan petani termasuk rencana perjanjian perdagangan Uni Eropa Indonesia,” ungkap Indra.
Suchjar Effendi, Direktur Eksektif IGJ mengemukakan bahwa berdasarkan Europe 2020 dan Global Trade dari Lisbon Treaty menunjukkan strategi Eropa untuk kembali mengekspansi negara-negara lain untuk mengambil bahan baku dan sumber daya alam negara lain.
“Di tengah situasi Eropa yang sedang kolaps, mereka berusaha mencari pasar danarea ekspansi baru untuk mengembalikan perekonomian mereka,” ungkapnya.