JAKARTA. Memperingati Hari Hak Asasi Petani Nasional 20 April, Serikat Petani Indonesia (SPI) sebagai organisasi perjuangan massa tani telah menyusun konsep pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi petani baik di level nasional dan internasional bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya. Berdasarkan hal tersebut, Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPI menyelenggarakan sebuah diskusi terbatas dengan tajuk “Membedah Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan) Untuk Memastikan Keberpihakan Negara kepada Petani” di sekretariat DPP SPI di Jakarta, kemarin (23/04).
Dalam diskusi tersebut, Ketua Umum SPI Henry Saragih mengungkapkan, SPI mengkehendaki diadakannya pertemuan lagi dengan Panja RUU Perlintan untuk membicarakan pemasukan hak asasi petani dan pembaruan agraria dalam RUU Perlintan.
“Kami petani SPI meminta agar hak asasi petani dan pembaruan Agraria ada di dalam RUU Perlintan. Ini suatu keharusan,” ungkap Henry.
Henry yang juga Koordinator Umum La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) selanjutnya menjelaskan, belajar dari anggota La Via Campesina yang berada di Jepang dan Korea Selatan, hak petani di kedua tersebut dilindungi dengan baik. Akan tetapi karena pemerintahan di kedua negara tersebut lebih mengutamakan industrialisasi, maka pertanian dikorbankan.
“Oleh karena itu, dalam RUU Perlintan juga harus ada perlindungan petani dari ancaman pasar global,” tuturnya.
Henry menambahkan, terkait asuransi petani, harus hati-hati dalam mengelolanya. Jangan terlalu banyak persoalan administratif yang berpotensi membingungkan petani. Selain itu, jika terlalu banyak administrasi, berpotensi rumit dalam pelaksanaan.
Sementara itu menurut Gunawan dari Indonesia Human Rights for Social Justice (IHCS), bantuan kepada petani jangan berupa uang (contohnya BLT-Bantuan Langsung Tunai), karena hal itu tidak akan cukup. Tetapi bantuan yang diberikan untuk petani seharusnya tanah untuk berproduksi, perlindungan produk pertanian, yang bersifat prasarana dan sarana pertanian.
“RUU Perlintan juga masih kurang menjelaskan mengenai redistribusi tanah untuk petani, sumbernya dari mana,” kata Gunawan.
Perwakilan dari Asosiasi Petani Indonesia (API), Fadil Kirom menyebutkan bahwa RUU Perlintan seharusnya memberikan kriteria pendapatan petani. Misalnya, petani yang pendapatannya kurang dari satu juta rupiah, maka petani tersebut juga harus dilindungi dalam RUU Perlintan. Hal itu juga berarti memperhatikan standar pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Menurutnya, pendapatan petani pangan biasanya stabil dan petani holtikultura pendapatannya fluaktuatif.
“Sistem pengawasan dalam RUU Perlintan masih sangat longgar. Perlu ada sistem pengawasan dalam undang-undang ini; untuk penanganan puso dan asuransi,” sebutnya.
Iwan Nurdin dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menambahkan perlu ditetapkan pensiun untuk petani, berapa batas usia maksimal bagi seorang petani untuk menggarap sawahnya. Selain itu, jika tidak ada lahan pertanian, maka harus dicarikan lahan pertaniannya.
Menanggapi hal ini, Herman Khaeron selaku Ketua Panja RUU Perlintan DPR-RI yang juga hadir dalam diskusi ini mengatakan, sebenarnya seluruh pertanyaan dan masukan sudah dijawab dalam draft RUU Perlintan yang lengkap. Oleh karena itu dia juga berjanji untuk memberikan draft terbaru RUU Perlintan kepada SPI, dan ormas serta lembaga lainnya.
“Nanti kami akan undang SPI dan organisasi-organisasi tani lainnya dalam waktu dekat ini untuk penyusunan akhir draft RUU Perlintan,” tegasnya.
Diskusi ini juga dihadiri oleh guru besar agraria Indonesia, Gunawan Wiradi. Dia mengingatkan pentingnya dijalankan TAP MPR No.IX/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, serta UUPA No.5 Tahun 1960.