Salah satu upaya memperkuat perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat dan petani atas wilayah hutan, Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama Daulat Institut menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “RUU Kehutanan 2025, Perubahan UU 41/1999 tentang Hutan Adat dan Masyarakat Adat dan BAYAN 001/MUI-SB/V/2025.MUI Sumatera Barat tentang Tanah Ulayat”.
Diskusi ini diadakan secara daring pada Jumat (23/05/2025) dengan menghadirkan berbagai tokoh dari kalangan petani, akademisi, dan lembaga keagamaan, di antaranya Dr. Wendra Yunaldi (Ketua Komisi Hukum MUISumatera Barat dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat), Hafiz Saragih (Pusat Bantuan Hukum Petani SPI), dan Hendarman (Wakil Ketua Tim Reforma Agraria SPI), serta dimoderatori oleh Didi Rahmadi dari Daulat Institut.
Henry Saragih selaku Ketua Umum SPI dalam sambutannya menyampaikan bahwa penting untuk memastikan perubahan Undang-Undang Kehutanan benar-benar berpihak pada rakyat dan prinsip-prinsip keadilan sosial. “Dengan dikeluarkannya undang-undang Cipta Kerja, ada pasal – pasal dari Undang-Undang Kehutanan yg sebenarnya sudah diubah dan diganti. Tetapi beberapa pihak memandang perubahan itu belum cukup mengakomodasi kepentingan – kepentingan yang ada, karena itu perlu adanya perubahan lagi terhadap Undang – undang Kehutanan ini,” ujarnya.
Henry juga menegaskan pentingnya upaya intervensi dari pihak rakyat untuk mempengaruhi dan memberikan masukan, agar Undang-Undang kehutanan yg akan diubah ini sesuai dengan kepentingan petani, masyarakat adat, dan masyarakat desa.
Wendra Yunaldi selaku Ketua Komisi Bidang Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat menyampaikan bahwa Bayan 001/MUI/SB/V/2025 tentang Tanah Ulayat ini bukan yg pertama. Sebelumnya udah ada bayan-bayan atau surat terbuka yang dikeluarkan terkait dengan masalah tanah di Sumatera Barat.
Wendra memaparkan bahwa secara norma adat Minangkabau, tanah ulayat ada empat yaitu tanah ulayat rajo, ulayat nagari, ulayat suku, dan ulayat kaum. “Di perda nomor 6 tahun 2023 tentang tanah ulayat, dihilangkan ulayat rajo dalam perda itu. Sementara kalau kami melihat dari MUI, rata – rata hutan yang hari ini diakui sebagai hutan lindung oleh pemerintah kebanyakan adalah tanah ulayat rajo dan nagari. Hal ini menimbulkan masalah tersendiri terhadap keberadaan tanah ulayat termasuk masyarakat yang mendiaminya,” ungkapnya.
Hal ini berdampak pada masyarakat yang lahir dan sudah lama mendiami tanah tersebut, sekarang tidak dapat membuat sertifikat kepemilikan karena tanah tersebut sudah menjadi hutan lindung.
Wendra yang juga merupakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat menjelaskan pada PP 18 dan Permen 14, MUI Sumbar sepakat perlu pendataan tanah agar jelas, pendataan yang dimaksud hanya sampai register yang artinya cukup didata luasnya berapa dan siapa pemiliknya, tanpa perlu disertifikasikan menjadi hak pengelolaan lahan.
“Saya memahami, khusus di Sumatera Barat, sebelum negara ada tanah itu adalah milik kaum adat. Maka negara harus konsisten melihat pasal 18 dan 33, tidak bisa hanya pasal 33 sebagai argumentasi hukum tanpa melihat pasal 18,” pungkasnya.
Sementara itu, Hafiz Saragih dari Pusat Bantuan Hukum Petani SPI memparkan bahwa konflik agraria yang terjadi di Sumatera Barat mayoritas bertempat di Pasaman Barat, enam di antaranya adalah SPI Basis Nagari Kapa dengan PT. PHP I Wilmar Group, SPI Basis Nagari Aia Gadang dengan PT. Anam Koto, SPI Basis Nagari Muaro Kiawai dengan PT. Anam Koto, SPI Basis Batang Limbau dengan PTPN 6 Kinali, dan SPI Basis Gunung Bungkuk dengan kehutanan dan PSN.
Adapun tipologi konflik yang terjadi di lapangan ini terbagi dua, yaitu HGU Perusahaan dan Kehutanan. “Kita tahu rata-rata ketika perusahaan atau perkebunan itu datang ke Sumatera Barat khsusunya, mereka pasti meminta izin kepada pemilik ulayat untuk kemudian disepakati sebuah perjanjian berupa pembangunan plasma. Namun, karena pembangunan plasma tersebut tidak direalisasikan inilah yang menimbulkan konflik agraria. Sehingga masyarakat bergerak dan menuntut,” ujar Hafiz.
Selain itu, faktor lain yang menyebabkan konflik agraria di Sumatera Barat adalah titik HGU yang tidak sesuai lokasi dan perampasan tanah ulayat tanpa adanya penyerahan lahan.
“Kemudian tipologi kedua ini kehutanan, yang sampai saat ini cukup lebih pelik, ditambah per hari ini ada proses perubahan Undang-Undang Kehutanan di DPR,” ungkapnya.
Terdapat tiga faktor yang dipaparkan oleh Hafiz dalam hal ini, yaitu tanah ulayat nagari diklaim masuk ke dalam kawasan hutan, pemerintah daerah menjadikan tanah ulayat sebagai lokasi PSN yang notabenenya ada petani yang sudah menguasai dan mengerjakan lahan tersebut, dan terakhir adalah hasil pertanian petani mendapatkan diskriminasi dengan bantuan aparat penegak hukum.
“Reforma agraria adalah sebagai manifestasi pengembalian fungsi tanah ulayat, dengan tujuan untuk mengelesaikan konflik agraria di tanah-tanah ulayat dan juga mengembalikan tanah ulayat nagari kepada masyarakat nagari setelah masa izin HGU perusahaan selesai,” pungkasnya.
Hendarman selaku wakil ketua tim reforma agraria SPI pada kesempatan ini menyampaikan pandangannya mengenai fokus utama revisi undang-undang 41/1999 tentang Hutan Adat dan Masyarakat ini. “Salah satu fokus utamanya adalah menyesuaikan definisi dan pengaturan mengenai hutan adat, serta memperbaiki mekanisme pengakuan hak masyarakat adat atas wilayah hutan yang selama ini belum berjalan efektif,” ujar Hendarman.
Hendarman juga menyampaikan bahwa revisi ini harus berkaitan dengan United Nations Declaration on the Rights of Peasant and Other People Working in Rural Areas (UNDROP) atau Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Rakyat yang Bekerja di Pedesaan. “Saya melihat bahwa harus ada keterkaitan dengan UNDROP. Ini yang sampai hari ini belum diimplementasikan di Indonesia,” ujarnya.
Hendarman memaparkan penyesuaian yang direkomendasikan terhadap beberapa pasal dalam RUU agar sejalan dengan prinsip UNDROP. Rekomendasi ini menekankan pentingnya pengakuan terhadap masyarakat adat tanpa harus melalui Perda (Pasal 67A), serta pelibatan aktif mereka dalam pengambilan keputusan, terutama terkait status kawasan hutan (Pasal 18B). Selain itu, dalam pengelolaan hutan sosial (Pasal 29A dan 29B), masyarakat adat harus diberi hak kelola penuh, bukan sekadar akses. Proses pengukuhan kawasan hutan (Pasal 35) juga perlu melibatkan pengetahuan lokal. Dalam penyelesaian tumpang tindih (Pasal 19), harus dipastikan perlindungan masyarakat secara adil. Terakhir, masyarakat adat perlu ditegaskan haknya untuk mengelola dan melestarikan hutan sesuai dengan budaya dan pengetahuan lokal (Pasal 68).