Oleh: Tri Hariyono *
Islam telah memberikan pedoman mendasar mengenai cara pandang manusia terhadap tanah atau alam. Tanah dan kesatuan ekologisnya merupakan makhluk yang bertasbih kepada Sang Khalik. Di dalam Alquran banyak sekali disebutkan mengenai alam yang bertasbih kepada Allah (QS Al Isra: 44). Oleh karena itu dalam pandangan Islam, alam tidak pernah semata-mata diposisikan sebagai benda mati atau benda ekonomi (property/capital) yang dapat diperjual-belikan selayaknya benda pada umumnya (Tholchah Hasan, 2002). Tatkala alam dirusak secara fisik maupun sosial dan ekologinya, maka kerusakan itu akan berdampak luas dan melahirkan kerusakan-kerusakan lanjutan (kemiskinan, konflik, hilangnya keragaman hayati, parahnya kondisi lingkungan, dsb.) (QS Al Maidah: 32). Secara ontologis alam bukanlah semata-mata bidang tanah atau benda, namun ia adalah ruang hidup dan menghidupkan. Inilah dasar pijakan cara pandang Islam terhadap eksistensi alam.
Antara manusia dan tanah, pada dasarnya terdapat suatu hubungan yang erat dan penting. Kebudayaan Jawa mencatat ungkapan: sadumuk bathuk senyari bumi, ditohi pecahing dodo lan wutahing lurido—yang berarti bahwa dalam soal tanah, pertumpahan darah sangat dimungkinkan. Hal ini menunjukkan suatu masalah yang sangat mendasar. Pertama. Bahwa tanah berkait langsung dengan kehidupan dan kualitas hidup manusia. Di atas tanahlah manusia mengembangkan kebudayaan, berproduksi untuk memenuhi kebutuhan materialnya. Kedua, keterpisahan manusia dengan tanah, akan menjadi pangkal dari kesengsaraan atau penderitaan manusia—di zaman raja-raja sangat terlihat bagaimana akibat dari tidak dikuasainya tanah; sebagian mereka menjadi budak manusia lain (Hariyono, 2013).
Kepemilikan atau pengusaan manusia atas tanah, pertama-tama terkait langsung dengan strategi untuk mempertahankan hidup dan kehidupan manusia. Dengan demikian, seseorang akan membutuhkan suatu batas minimal, sehingga dirinya dapat memenuhi kehidupan materialnya. Jika batas tersebut tidak dipenuhi, maka sangat besar kemungkinkan orang tersebut akan gagal memenuhi kebutuhan materialnya sebagaimana standar umum.
Dalam Islam, pada dasarnya kepemilikan atas tanah dan harta benda lain setelah diberikan oleh Allah kepada makhluknya, selanjutnya akan menjadi hak pribadi. Mengenai perihal kepemilikan tanah tersebut, di dalam al-Quran tidak menjelaskannya secara eksplisit, namun hanya menetapkan hak manusia untuk mengelola, menanami dan memiliki hasil produksinya (Abdul Jalil, 2000: 43). Baru kemudian di jelaskan di dalam fikih bahwa kepemilikan tanah tersebut diperoleh dari Istila, yakni penguasaan melalui perang, pembebasan, atau cara pendudukan lain tanpa kekerasan dan Kedua Istiqrar, yakni penguasaan melalui pewarisan secara turun temurun atau alih milik dari orang lain dengan jual beli, dan lain sebagainya (Tolchah Hasan,1994:87). Sehingga pada masa Nabi prioritas utama atas kepemilikan sebidang tanah pada masa itu berada di tangan pemerintah, dan selanjutnya diperuntukkan untuk individual. Karenanya pemerintah dapat menghadiahkan, membatasi maupun menarik kepemilikan sebidang tanah dari seseorang sesuai dengan kemaslahatan masyarakat.
Ada pun hak-hak atas tanah fikih membaginya ke dalam dua macam; (1) Tanah yang dapat dimiliki oleh pribadi (haqqu al-tamlik), dan; (2) tanah-tanah yang diatur oleh pemerintah untuk kepentingan umum, yang disebut dengan al-Hima. Di masa Nabi Muhammad, terlaksana pula kebijakan pembagian tanah dari tanah terlantar, dan penetapan tanah untuk kepentingan umum. Semisal ketika Rasulullah saw membagikan tanah kepada Zubair RA sebagaimana hadist yang disampaikan dari Asma’ binti Abu Bakar R>A bahwa Rasulullah SAW telah memberikan kapling tanah kepada Az-Zubair ra di Khaibar, yang di dalamnya terdapat pepohonan dan kebun kurma. Begitupun juga terhadap Abu Tsalabah al-Khusyani ra, Rasulullah saw memberikan tanah kepadanya dengan menyertakan pula surat pengkaplingan tanah. Kebijakan pemberian tanah juga dilakukan Nabi Muhammad saw kepada orang-orang yang baru masuk Islam. Seperti yang dilakukan Rasulullah saw terhadap pemuka Bani Hanifah, Mujja’ah Al-Yamamah. Kepadanya Rasulullah saw menulis sebuah Surat keterangan pemberian tanah, yang berbunyi:
“Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini adalah surat keterangan yang telah ditulis Muhammad Rasulullah kepada Mujja’ah bin Murarah bin Sulma. Sesungguhnyaaku telah memberikan sekapling tanah kepadamu di Daerah Ghaurah,Ghurabah, dan Hubul. Barang siapa yang mempersoalkan masalah ini kepadamu, maka datanglah menghadap kepadaku”.
Melalui riwayat-riwayat tersebut, berarti telah menunjukkan bahwa Rasulullah saw melakukan tindakan atas kondisi umat Islam yang tidak mempunyai tanah dengan memberinya tanah, supaya dengan tanah itu mereka dapat tinggal dan mengolahnya untuk kehidupannya. Sedangkan untuk orang-orang yang baru masuk Islam, Nabi Muhammad saw melakukannya sebagai upaya agar menguatkan hati dan keimanan mereka pada Islam, karena mereka adalah golongan yang rentan baik dari segi iman maupun ekonomi.
Di samping membagikan tanah untuk kemudian menjadi hak milik pihak yang diberinya, Nabi Muhammad pun melakukan kebijakan terkait tanah larangan (Hima) untuk kepentingan umum. Rasulullah saw menetapkan hima atas air, padang rumput, dan api. Ketiganya itu merupakan sumber publik atau sumber penghidupan orang banyak, dimana setiap orang mempunyai hak terhadapnya. Oleh karenanya, Rasulullah saw melarang melakukan privatisasi terhadap ketiganya, dengan alasan agar masyarakat banyak tidak terzalimi. Kebijakan pertanahan yang dilakukan oleh Rasulullah saw, dilanjutkan pula oleh para penerusnya, terutama para sahabat dan khalifah seperti; Abu Bakar ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, dan Ali bin Abi Thalib ra.
Reforma Agraria dalam Pandangan Islam
Tujuan dilaksanakannya reforma agraria adalah agar tanah tidak hanya dikuasai atau dimiliki oleh segelintir orang/pihak tertentu. Dalam konteks Indonesia penguasaan yang timpang itu berupa ketimpangan vertikal, yakni ketimpangan kepemilikan di antara kelompok masyarakat sendiri. Terdapat sedikit orang memiliki banyak tanah, dan sebaliknya terdapat banyak orang yang memiliki sedikit tanah atau bahkan tidak memiliki tanah sama sekali.
Juga terdapat ketimpangan dari sisi alokasi tanah untuk berbagai penggunaan oleh beragam sektor. Hal ini dikenal juga dengan istilah ketimpangan sektoral, yakni tidak adilnya alokasi tanah yang digunakan untuk sektor pertanian, sektor kehutanan, sektor pertambangan, energi dan mineral, sektor industri, sektor perumahan, sektor pariwisata dan sebagainya. Masing-masing sektor ini juga memiliki ketimpangan penguasaan antara tanah yang dialokasikan untuk masyarakat dengan yang dialokasikan untuk korporasi dan kepentingan umum/negara. Sektor pertanian/pangan dan alokasi untuk masyarakat seringkali tergusur oleh kepentingan pihak pemodal ataupun negara. Mutlak dibutuhkan kebijakan yang mampu merombak kedua struktur ketidakadilan tersebut, yakni melalui kebijakan reforma agraria.
Terhadap yang pertama, Islam telah menegaskan bahwa (sumber) kekayaan tidak boleh berputar pada orang kaya saja (QS Al hasyr: 7). Sebab dampak dari konsentrasi kepemilikan itu akan merusak hubungan sosial-ekonomi (ketidak-adilan) dan kerusakan alam sebagaimana yang telah disinggung di atas. Allah telah melarang umat manusia melakukan kerusakan terhadap alam (dan bangunan sosial/kebudayaan yang ada di atasnya), padahal kondisi sebelumnya telah diciptakan oleh Allah dengan wujud penciptaan yang sebaik-baiknya (QS Al A’raf: 56). Merombak struktur yang tidak adil menuju pada keadilan adalah wajib (Luthfi,2019:2). Islam sangat menjunjung tinggi penegakan keadilan, bahkan ketakwaan seseorang (terlebih pemimpin) itu dinilai dari tingkat keadilannya. Berlaku adillah, karena itu lebih dekat derajatnya menuju ketakwaan (QS. Al Maidah: 8). Derajat ketakwaan seseorang atau suatu rezim diukur dari sikap atau kebijakannya yang adil. Tidak ada ketakwaan tanpa keadilan. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa memperjuangkan reforma agraria sebagai ikhtiar penciptaan keadilan adalah sesuatu yang sangat spiritual, suatu perjalanan menuju ketakwaan pada Allah SWT (Luthfi,2019:2).
Perlunya Reforma Agraria
Pengalaman yang dilakukan oleh Rasulullah di atas bisa dijadikan sebagai landasan dan acuan tentang perlunya reforma agraria, “Manusia-manusia tani” atau “petani” inilah menurut pasal 1 UU No. 2/1960, sebagai subyek dalam melakukan pembaruan agraria karena hanya merekalah yang mata pencaharian pokoknya mengusahakan tanah untuk pertanian. Mereka yang bekerja di sektor pertanian sebagai pemilik-penggarap, penggarap dan buruh tani itulah yang pada hakekatnya merupakan sasaran pembangunan dalam bidang pertanian dan sekaligus merupakan pelaku-pelaku aktif dalam kegiatan pembangunan sektor pertanian.
Reforma agraria menurut Gunawan Wiradi (2005), adalah penataan kembali (atau penataan ulang) susunan kepemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber agraria (terutama tanah), untuk kepentingan rakyat kecil (petani, buruh tani, dan lain-lainnya), secara menyeluruh dan konprehensif (lengkap). Lebih jauh Gunawan Wiradi menjelaskan, yang dimaksud dengan “menyeluruh dan komprehensif” adalah: (1) sasarannya bukan hanya tanah pertanian, tetapi juga tanah-tanah kehutanan, perkebunan, pertambangan, pengairan, kelautan dan lain-lain termasuk juga tanah-tanah terlantar. Pendek kata, semua sumber agraria, termasuk hak air, proteksi dari perubahan iklim, dan keanekaragaman hayati. (2) Program reforma tanah (dan sumber agrarian lainnya) harus disertai dengan program-program penunjangnya, seperti penyuluhan dan pendidikan tentang teknologi produksi, program perkreditan, pemasaran dan sebagainya. Tujuan pelaksanaan reforma agraria adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rakyat, khususnya para petani kecil secara adil dan merata, sehingga terbuka kesempatan untuk mengembangkan diri mencapai kemakmuran, sebagai bagian dari pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila.
Konsepsi mengenai pengelolaan agraria sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah di atas seharusnya bisa menjadi titik tolak kita dalam membangun orientasi pembangunan nasional pertanian kita. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa proses produksi akan dipengaruhi oleh sistem kepemilikan sarana produksi. Sarana produksi yang dikuasai secara individual, akan memungkinkan terjadi eksploitasi manusia. Untuk itu dibutuhkan sistem dimana pemilikan sarana produksi (yang menguasai hajat hidup orang banyak) yang tidak ekploitatif terhadap manusia (Hariyono: 2017). Reforma agraria adalah jawaban untuk menegakkan keadilan dan memberantas kemiskinan sehingga tercipta suatu kehidupan yang lebih baik dan bermakna. Upaya reforma agraria tidak bisa bersifat eksklusif, melainkan perlu memasuki dimensi yang lebih luas, termasuk mendorong pembaruan dalam corak produksi dan terbangunnya suatu tatanan baru — dengan nilai-nilai yang baru. Dengan demikian, maka berarti dibutuhkan politik agraria baru, yang tidak lagi berdasarkan pada corak produksi kapitalisme, melainkan corak produksi yang berpihak pada mereka yang tuna kisma (petani miskin, petani gurem, buruh tani—dan mereka yang berada di lapis bawah struktur sosial) — (“dan mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah”-QS.4:75).
Menyadari pentingnya memperjuangkan reforma agraria sebagaimana dijelaskan di atas, Serikat Petani Indonesia (SPI) memandang perlu memberikan perhatian pada anggota, para kader dan aktivis tani lainnya yang selama ini memperjuangkannya. Dalam kenyataannya organisasi tani SPI, aktivis agraria atau lingkungan, lembaga hukum atau masyarakat, dan individu-individu yang memperjuangkannya itu justru mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, dilecehkan, bahkan dikriminalisasi. Stigmatisasi negatif tidak urung disematkan pada mereka.
Perjuangan menegakkan pembaruan dan keadilan agraria itu bukanlah hal yang mudah. Al-Qur’an menamainya itu sebagai perjuangan mulia nan penuh terjal (al aqobah) (Ahmad Nasih Luthfi,2019:3). Apa saja yang tergolong al aqobah itu? Dalam Al-Qur’an (QS Al Balad: 11-18) Allah menyebut beberapa perjuangan yang tergolong mulia itu, yakni: perjuangan dalam menciptakan tatanan negeri (al balad) yang bebas dari perbudakan dan segala sistem yang mengeksploitasi (ayat 13); memberi makan (material) pada mereka yang miskin, dan memberi makan pikiran dan batin (pengetahuan dan moral) pada mereka yang dimiskinkan (ayat 14); kepedulian pada anak yatim dan mereka yang diyatimkan secara sistemik (ayat 15); atau kepada mereka yang miskin tak terkira (ayat 16), yang seringkali diabaikan bahkan oleh masyarakat itu sendiri. Allah juga memberi pedoman bahwa dalam memperjuangkan itu harus dilakukan dengan cara sabar, didasari pengetahuan, saling mengingatkan, dan atas motivasi kasih sayang dan bukan karena kebencian (ayat 17). Mereka para pejuang itulah yang layak mendapat gelar “Ashabul maimanah” atau kelompok kanan, yakni orang yang nanti di akhirat akan menerima dengan tangan kanan (sebagai tanda amal baik) catatan perbuatannya selama hidup di dunia (ayat 18). Mereka yang mencipatakan kondisi sebaliknya (kufr) itulah yang justru disebut sebagai “Ashabul Masy’amah” atau kelompok kiri (ayat 19). Kepedulian, kesungguhan perjuangan, sabar, berbekal pengetahuan, akhlaqul karimah, adalah nilai-nilai yang ditunjukkan dalam firman Allah ini.
Mereka yang memperjuangkan alam dan tanah agar kembali mendapatkan martabah yang terhormat itu harus memperoleh dukungan dari segenap pihak; bukan malah sebaliknya dikriminalisasi atau difitnah dengan tuduhan-tuduhan yang bertujuan menjatuhkan mereka, seperti dituduh anti kemajuan, komunis, subversif, bahkan ateis. Justru mereka para pejuang itulah yang sedang men-tajalli-kan dimensi keagamaan atau keislaman ke dalam praktik keseharian sebagai makhluk yang diciptakan dari tanah, hidup berdampingan dengan alam dan segenap makhluk di dalamnya.
Dapat dikatakan bawah Islam pada dasarnya mendukung terhadap agenda reforma agraria, Secara akidah, Islam memilki konsep tentang tanah. Dalam Islam tanah merupakan milik Tuhan. Jadi manusia tidak memiliki hak untuk memiliki selama-lamanya atau private ownership. Karena pada dasarnya kita hanya meminjam tanah tersebut dari Tuhan. Di samping itu keadilan secara akidah – terutama dalamnya dengan keadilan agraria — menjadi perhatian yang serius dalam Islam. Demikian.
Hidup Petani..!!
Selamat Hari Perjuangan Petani Internasional
Refrensi:
Ahmad Nashih Luthfi (2019), Prinsip-prinsip Islam dalam Pengelolaan Masalah Agraria, Artikel Pribadi.
Abdul Jalil, dkk. (2000) Fikih Rakyat: Pertautan Fikih dengan Kekuasaan, Yogjakarta: LKiS.
Tolchah Hasan, (1994) “Fikih Pertanahan”, dalam Masdar Farid Mas’udi (ed), Teologi Tanah, Jakarta: P3M.
Tolchah Hasan (2002), “Pertanahan dari perspektif agama Islam dan budaya muslim menuju pembangunan Indonesia yang berkeadilan dan berkelanjutan”, dalam Adhie, Brahmana dan Hasan Basri Nata Menggala (ed.), Reformasi Pertanahan, Pemberdayaan Hak-hak atas Tanah ditinjau dari Apsek Hukum, Sosial, Politik, Ekonomi, Hankam, Teknis, Agama dan Budaya, (Bandung: Mandar Maju)
Tri Hariyono (2013), Menghidupkan Tanah Mati untuk Kesejahteraan Petani: Belajar dari Sejarah Nabi Muhammad SAW. Dalam https://spi.or.id/menghidupkan-tanah-mati-untuk-kesejahteraan-petani-belajar-dari-sejarah-nabi-muhammad-saw/
Tri Hariyono (2017), Islam dan Keadilan Agraria, dalam https://spi.or.id/islam-dan-keadilan-agraria/
*Penulis adalah Sekretaris DPW SPI DIY