Oleh: Trie Hariyono***
Betapa pentingnya persoalan agraria dalam Islam, tercermin dari kerasnya nada Nabi Muhammad SAW saat menyoroti orang-orang yang melakukan perampasan lahan secara aniaya terhadap tanah orang lain dengan cara yang bathil. Ketegasannya ini tercermin dalam sebuah hadist: “Barangsiapa mengambil satu jengkal tanah yang bukan haknya, ia akan dikalungi tanah seberat tujuh lapis bumi di hari kiamat” (HR Muslim). Hadits tersebut diriwayatkan oleh sahabat Sa’id bin Zaid setelah mengalami sengketa tanah dengan seorang perempuan bernama Arwa binti Uways, yang mengadukan sengketa ini kepada Marwan bin Hakam yang saat itu menjabat khalifah Dinasti Umayyah. Merasa direnggut haknya oleh Arwa binti Uways, Sa’id bin Zaid sampai mengucapkan kutukan bahwa jika benar haknya direnggut, “Semoga Allah membutakan matanya dan mematikannya di tanahnya”, yang kemudian terkabul: Arwa hidup buta di sisa hidupnya sampai meninggal.
Hadits tersebut, dan latar belakang periwayatannya yang mengikutinya kemudian, menunjukkan bahwa sedari awal, misi dakwah Islam telah menyentuh dimensi materiil dari kehidupan sosial itu sendiri, prasyarat-prasyarat bagi kehidupan berupa tanah di mana manusia hidup, dengan segenap tetek-bengek persoalannya. Dengan kata lain, Islam telah berhadapan secara materialis dengan fakta bahwa prasyarat kehidupan itu dapat berlangsung dengan tidak adil dan sarat konflik, dan Islam mau tak mau dituntut menjawab persoalan itu demi menegakkan suatu tatanan sosial yang lain dimana keadilan terwujud dan dimungkinkan.
Ketimpangan Tanah dalam Masyarakat Islam
Kerasnya nada Nabi Muhammad SAW terkait dengan persoalan agraria di atas, mengisyaratkan bahwa problem agraria telah hadir semenjak eranya, dan tampaknya berlarut-larut terus terjadi di kalangan umat Islam di periode-periode kemudian. Selama berabad-abad setelah beliau wafat, persoalan agraria semakin hadir sebagai persoalan urgen dalam kehidupan umat Islam, sehingga membutuhkan respons yang lebih komprehensif. Perkembangan ini, secara historis-materialis, dapat ditelusuri dari konfigurasi sosial yang dinamis sepanjang pewahyuan Islam (Al-Fayyadl, 2016).
Pertama-tama dimulai dari fakta sosial di Mekkah, berupa ketimpangan pemilikan tanah dan ketimpangan kelas sosial antara para elite Arab yang kaya-raya dan kaum budak yang tak berkepemilikan, pemboikotan atas rasulullah dan pengikutnya dan pengusirannya dari Mekkah, migrasi ke Abyssenia (Ethiopia), hingga peristiwa besar hijrah ke Madinah dan terbentuknya komunitas Islam generasi awal (al-sabiqun al-awwalun) di antara Muhajirin dan Anshor, yang tak bertanah dan yang bertanah, serta terjadinya alih kepemilikan antara umat Muslim dan penduduk asli Madinah dari Kaum Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani).
Konfigurasi ini berlanjut lebih dinamis dan penuh gejolak seiring meluasnya wilayah umat Islam, yang memunculkan persoalan tentang distribusi lahan, pemanfaatan lahan, peran pemerintah dalam penanganan agraria, serta — yang selalu muncul dan berulang — ketimpangan lahan yang diakibatkan oleh konsentrasi kepemilikan oleh elite-elite baru dalam masyarakat Islam.
Faktor tanah senantiasa menjadi faktor penting dalam konfigurasi sosial umat Islam, sebagaimana direkam oleh Ira M. Lapidus dengan pendekatan “sejarah global”-nya dalam A History of Islamic Societies (1988). Tanah dan kepemilikan tanah menjadi faktor-faktor yang menentukan bagi perebutan kekuasaan di kalangan umat Islam, yang dapat memicu pergolakan sosial dalam rupa pemberontakan politik dan perlawanan rakyat jelata.
Tanah, dengan demikian, merupakan faktor yang penting bagi kestabilan sekaligus krisis suatu tatanan sosial umat Islam. Namun, kita layak bertanya dengan penuh keheranan: mengapa dengan sedemikian pentingnya persoalan agraria ini, hingga kini umat Islam, baik di Indonesia maupun di dunia, tidak kunjung menemukan format pemikiran yang komprehensif, integral, dan solutif, serta berwawasan jangka panjang tentang suatu “konsepsi agraria yang Islami”? Tiadanya format pemikiran ini mengakibatkan kosongnya keberpihakan ideologis umat Islam dalam persoalan agraria. Persoalan agraria tetap dianggap persoalan sekunder yang sewaktu-waktu saja perlu dibahas, namun kembali terlupakan dalam wacana keislaman sehari-hari.
Keadilan Agraria dalam Islam
Gagasan-gagasan agraria dalam wacana Islam Indonesia mengalami pemiskinan, karena ketiadaan perhatian yang memadai terhadap jasa para ulama dan tokoh-tokoh Islam dalam pemikiran dan perjuangan agraria. Tiadanya wawasan historis dalam melihat persoalan agraria itu mengakibatkan umat Islam, di satu sisi, terus menjadi korban bagi ketidakadilan agraria tanpa jalan keluar untuk memutus lingkaran setan yang diciptakannya, dan di sisi lain, turut menjadi trouble factor dari permasalahan agraria itu sendiri.
Islam telah memperbolehkan memiliki lahan dan kegunaannya. Namun hal tersebut patut didasarkan pada prinsip (1) bahwa apa yang dimiliki seseorang terdapat milik orang lain; dan (2) telah dengan tegas dikatakan “supaya harta itu jangan sampai beredar diantara orang-orang kaya diantara kamu (QS. 59:7) — berati Islam menentang adanya akumulasi, dominasi dan konsentrasi. Manusia ada bukan untuk makan. Akan tetapi tidak bisa diingkari bahwa tanpa usaha untuk memenuhi kebutuhan material tersebut, manusia akan menjemput kematian. Berproduksi atau bekerja untuk memenuhi kebutuhan material, merupakan tugas hidup manusia.
Ada sebuah cerita menarik mengenai masalah agraria dalam Islam yang dijelaskan oleh Gita Anggraini dalam bukunya, Islam dan Agraria: Telaah Normatif dan Historis Perjuangan Islam dalam Merombak Ketidakadilan Agraria. Sahabat Umar bin Khattab RA pernah tidak menyetujui keputusan sahabat Abu Bakar As-Shidiq RA ketika memberikan kaplingan tanah yang cukup luas kepada Tolhah bin Ubaidillah. Menurut sahabat Umar, hal itu dinilai kurang adil bagi umat Islam yang lainnya, karena jumlah umat Islam bertambah banyak. Seharusnya kepemilikan itu bisa dinikmati umat secara luas. Tidak untuk dinikmati segelintir orang saja. Dan atas protes sahabat Umar itu, kemudian Abu Bakar membatalkannya.
Dalam kasus itu, yang menjadi titik tolak sahabat Umar dalam melihat masalah tersebut adalah sisi keadilannya. Di mana penguasaan ataupun penggunaan tanah harus dilihat dalam kerangka kemanfaatan umat secara luas. Tidak untuk dinikmati secara personal atau segolongan kelompok tertentu. Seperti juga dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid, Rasullulah Saw pernah mengatakan, “Seluruh umat manusia mendapatkan hak yang sama di dalam air, padang rumput, dan api” . Di sini menjelaskan bagaimana kepemilikan kebutuhan dasar manusia, yang di situ dicontohkan adalah air, padang rumput dan api, seharusnya bisa dinikmati oleh umat secara luas. Hal ini, jika kita kontekstualisasikan hari ini, tanah juga menjadi bagian kebutuhan dasar manusia untuk hidup. Dimana, saat ini tanah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan dasar manusia, dari sanalah mereka mendapat makanan dan juga air. Ketika tanahnya hilang, akan kehilangan juga sumber dasar kehidupannya.
Konsepsi mengenai pengelolaan agraria sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah dan sahabat di atas seharusnya bisa menjadi titik tolak kita dalam membangun orientasi pembangunan nasional pertanian kita. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa proses produksi akan dipengaruhi oleh sistem kepemilikan sarana produksi. Sarana produksi yang dikuasai secara individual, akan memungkinkan terjadi eksploitasi manusia. Untuk itu dibutuhkan sistem dimana pemilikan sarana produksi (yang menguasai hajat hidup orang banyak) yang tidak ekploitatif terhadap manusia.
Reforma agraria adalah jawaban untuk menegakkan keadilan dan memberantas kemiskinan sehingga tercipta suatu kehidupan yang lebih baik dan bermakna. Upaya reforma agraria tidak bisa bersifat eksklusif, melainkan perlu memasuki dimensi yang lebih luas, termasuk mendorong pembaruan dalam corak produksi dan terbangunnya suatu tatanan baru — dengan nilai-nilai yang baru. Dengan demikian, maka berarti dibutuhkan politik agraria baru, yang tidak lagi berdasarkan pada corak produksi kapitalisme, melainkan corak produksi yang berpihak pada mereka yang tuna kisma (petani miskin, petani gurem, buruh tani—dan mereka yang berada di lapis bawah struktur sosial) — (“dan mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah”-QS.4:75).
Dengan demikian, dapat dikatakan bawah Islam pada dasarnya mendukung terhadap agenda reforma agraria, Secara akidah, Islam memilki konsep tentang tanah. Dalam Islam tanah merupakan milik Tuhan. Jadi manusia tidak memiliki hak untuk memiliki selama-lamanya atau private ownership. Karena pada dasarnya kita hanya meminjam tanah tersebut dari Tuhan. Di samping itu keadilan secara akidah – terutama dalamnya dengan keadilan agraria — menjadi perhaatian yang serius dalam Islam.
Demikian..
** Penulis adalah Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Yogyakarta