Petani tak bertanah adalah istilah halus dari buruh tani. Petani tanpa tanah pertanian bagaikan sopir tanpa mobil. Sungguh pahit hidupnya, karena petani tanpa tanah untuk bertani sulit disebut sebagai petani. Atas dasar itu, banyak orang menyebutkan tanah adalah hak asasi petani, tanpa tanah kehidupan seseorang sebagai petani akan tenggelam.
Oleh karena itu, sudah lama diperjuangkan agar petani mempunyai tanah sebagai alat produksi. Islam telah memperbolehkan memiliki lahan dan kegunaannya. Namun hal tersebut patut didasarkan pada prinsip (1) bahwa apa yang dimiliki seseorang terdapat milik orang lain; dan (2) telah dengan tegas dikatakan “supaya harta itu jangan sampai beredar diantara orang-orang kaya diantara kamu (QS. 59:7)—berati Islam menentang adanya akumulasi, dominasi dan konsentrasi.
Ini berarti dalam konteks pembaruan agraria, dibutuhkan politik agraria baru, yang tidak lagi bercorak produksi kapitalis, melainkan corak produksi yang lebih berpihak pada mereka yang tuna kisma (petani miskin, petani gurem, buruh tani—dan mereka berada dilapis bawah struktur sosial). Tulisan ini mencoba memaparkan pengalaman Nabi Muhammad SAW dan sahabat yang menganjurkan menghidupkan tanah yang terlantar (atau) mati untuk kemudian diolah dan dimanfaatkan sebagai alat produksi pada mereka yang tuna kisma sepaya menjadi sejahtera kehidupannya. Namun sebelum itu akan dijelaskan terlebih dahulu dipaparkan relasi antara manusia dengan tanah.
Manusia dan Tanah
Antara manusia dan tanah, pada dasarnya terdapat suatu hubungan yang erat dan penting. Kebudayaan Jawa mencatat ungkapan: sadumuk bathuk senyari bumi, ditohi pecahing dodo lan wutahing lurido—yang berarti bahwa dalam soal tanah, pertumpahan darah sangat dimungkinkan. Hal ini menunjukkan suatu masalah yang sangat mendasar. Pertama. Bahwa tanah berkait langsung dengan kehidupan dan kualitas hidup manusia. Di atas tanahlah manusia mengembangkan kebudayaan, berproduksi untuk memenuhi kebutuhan materialnya. Kedua, keterpisahan manusia dengan tanah, akan menjadi pangkal dari kesengsaraan atau penderitaan manusia—di zaman raja-raja sangat terlihat bagaimana akibat dari tidak dikuasainya tanah; sebagian mereka menjadi budak manusia lain.
Kepemilikan atau pengusaan manusia atas tanah, pertama-tama terkait langsung dengan strategi untuk mempertahankan hidup dan kehidupan manusia. Dengan demikian, seseorang akan membutuhkan suatu batas minimal, sehingga dirinya dapat memenuhi kehidupan materialnya. Jika batas tersebut tidak dipenuhi, maka sangat besar kemungkinkan orang tersebut akan gagal memenuhi kebutuhan materialnya sebagaimana standar umum.
Menghidupkan Tanah Mati
Untuk mencukupi batas minimal sebagaimana dimaksudkan diatas, pada masa Rasulullah SAW dibolehkan dan bahkan diperintahkan untuk mengelola tanah yang mati dan terlantar untuk dimanfaatkan dan diolahnya menjadi lahan yang produktif sehingga dari pemanfaatan lahan mati tersebut standar umum kebutuhan materialnya bisa tercukupi.
Tanah mati adalah tanah yang tidak nampak dimiliki oleh seseorang, dan tidak nampak oleh bekas-bekas apapun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan ataupun yang lain. Menghidupkannya berarti mengelola tanah dengan menanamnya, atau menjadikan tanah tersebut siap untuk langsung ditanami. Dengan kata lain menghidupkan tanah mati (ihya’ul mawat) adalah memanfaatkan tanah untuk keperluan apapun, sehingga bisa menghidupkannya. Tiap tanah mati apabila telah dihidupkan oleh orang, maka tanah tersebut telah menjadi milik yang bersangkutan. Syara’ telah menjadikan tanah tersebut sebagai milik orang yang menghidupkannya, berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Aisyah bahwa Rasulullah saw. pernah bersabdah: “Siapa saja yang telah mengelola sebidang tanah, yang bukan menjadi hak orang lain, maka dialah yang lebih berhak”. Imam Abu Dawud juga meriwayatkan, bahwa Nabi SAW, telah bersabda: “siapa saja yang telah memagari sebidang tanah dengan pagar, maka tanah itu adalah miliknya”. Di samping itu Imam Bukhari juga meriwayatkan hadist dari Umar dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda: “Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah hak miliknya”.
Menghidupkan tanah (ihya’ul mawat) berbeda faktanya dengan pemberian cuma-cuma (iqtha’). Perbedaannya adalah, bahwa ihya’ul mawat berhubungan dengan tanah mati, yang tidak nampak dimiliki oleh seseorang, juga tidak ada nampak adanya bekas-bekas apapun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan ataupun yang lain. Sedangkan iqtha’ adalah memberikan tanah yang sudah dikelola dan siap untuk langsung ditanami, atau tanah yang nampak sebelumnya telah dimiliki oleh seseorang. Sedangkan memagari tanah (tahjir) statusnya adalah sama dengan menghidupkan tanah, sebagaimana yang didasarkan pada nash hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di atas, karena dengan memagari tanah itu telah menjadikan orang yang memagarinya memiliki hak untuk mengelola. Begitu pula, orang yang memagarinya berhak melarang orang lain yang ingin menghidupkan tanah yang sudah dipagarinya. Apabila orang tersebut memaksa, lalu dia menghidupkan tanah yang sudah dipagari orang tersebut, maka dia tetap tidak berhak memilikinya, dan tanah tersebut harus dikembalikan kepada orang yang memagari sebelumnya. Apabila orang yang memagarinya tersebut menjualnya, maka ia berhak mendapatkan harga dari hasil penjualannya. Sebab hal itu merupakan hak yang dikompensasi dengan harga tertentu, sehingga dia juga diperbolehkan untuk melakukan pertukaran atas tanah tersebut. Kalau orang yang memagari tersebut telah meninggal, maka kepemilikannya bisa diwarisi oleh ahli warisnya, sebagaimana kepemilikan-kepemilikan yang lain. Mereka juga bisa mengelolanya sesuai dengan ketentuan syara’, sebagaimana pembagian harta yang lainnya.
Dengan demikian, bahwa memagari tanah sekaligus menghidupkannya adalah hanya berlaku untuk tanah mati, bukan tanah yang lain. Pernyataan Umar: “Orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang telah dipagarinya) setelah (membiarkannya) selama tiga tahun”, adalah orang yang memagari tanah mati. Sedangkan tanah yang tidak mati, maka tidak bisa dimiliki dengan cara memagari, serta tidak dengan cara menghidupkannya, melainkan dengan cara pemberian cuma-cuma dari imam (khilafah). Sebab, menghidupkan tanah dan memagarinya telah dinyatakan hanya untuk tanah mati. Disamping itu pernyataan Umar di atas, telah menjadikan tahjir dengan batas waktu tiga tahun, apabila tanah tersebut dibiarkan hingga lewat dari waktu tiga tahun, kemudian tanah itu dihidupkan oleh orang lain, maka dialah (yang menghidupkan lagi) yang lebih berhak.
Dibedakan antara tanah yang mati dengan tanah yang tidak mati ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW telah memubahkan kepada individu untuk memiliki tanah mati dengan cara menghidupkannya dan memagarinya, sehingga hal itu merupakan sesuatu yang mubah. Oleh karena itu untuk menghidupkan dan memagarinya tidak perlu izin dari imam (khalifah). Sedangkan tanah-tanah yang tidak mati, tidak bisa dimiliki kecuali bila tanah tersebut diberikan secara cuma-cuma oleh imam (khalifah), sebab ia tidak termasuk hal-hal yang mubah untuk semua orang, namun hanya mubah untuk imam. Itulah kemudian yang disebut dengan sebutan tanah-tanah milik negara.
Perlunya Pembaruan Agraria
Pengalaman yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat –menghidupkan tanah mati—di atas bisa dijadikan sebagai landasan dan acuan tentang perlunya pembaruan agraria, “Manusia-manusia tani” atau “petani” inilah menurut pasal 1 UU No. 2/1960, sebagai subyek dalam melakukan pembaruan agraria karena hanya merekalah yang mata pencaharian pokoknya mengusahakan tanah untuk pertanian. Mereka yang bekerja di sektor pertanian sebagai pemilik-penggarap, penggarap dan buruh tani itulah yang pada hakekatnya merupakan sasaran pembangunan dalam bidang pertanian dan sekaligus merupakan pelaku-pelaku aktif dalam kegiatan pembangunan sektor pertanian.
Pembaruan agraria menurut Gunawan Wiradi (2005), adalah penataan kembali (atau penataan ulang) susunan kepemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber agraria (terutama tanah), untuk kepentingan rakyat kecil (petani, buruh tani, dan lain-lainnya), secara menyeluruh dan konprehensif (lengkap). Lebih jauh Gunawan Wiradi menjelaskan, yang dimaksud dengan “menyeluruh dan komprehensif” adalah: (1) sasarannya bukan hanya tanah pertanian, tetapi juga tanah-tanah kehutanan, perkebunan, pertambangan, pengairan, kelautan dan lain-lain termasuk juga tanah-tanah terlantar. Pendek kata, semua sumber agraria, termasuk hak air, proteksi dari perubahan iklim, dan keanekaragaman hayati. (2) Program reforma tanah (dan sumber agrarian lainnya) harus disertai dengan program-program penunjangnya, seperti penyuluhan dan pendidikan tentang teknologi produksi, program perkreditan, pemasaran dan sebagainya.
Tujuan pelaksanaan reforma agraria adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rakyat, khususnya para petani kecil secara adil dan merata, sehingga terbuka kesempatan untuk mengembangkan diri mencapai kemakmuran, sebagai bagian dari pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila.
Sehubungan dengan program pembaruan agraria dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, SPI bersama dengan gerakan tani lainnya mendesak kepada pemerintah supaya:
Kita percaya bahwa jika program pembaruan agraria dapat terlaksana dengan baik dan tepat sasaran, kondisi kehidupan dan kesejahteraan masyarakat tani akan dapat membaik. Tetapi pembaruan agraria memang memerlukan kemauan politik, bukan sekedar janji-janji politik. Kita berharap pemerintah memberikan perhatian yang serius dan memehuhi janjinya untuk melaksanakan pembaruan agraria.
Hidup Petani…!!!!
(Penulis adalah Ketua Badan Pelaksana Wilayah Serikat Petani Indonesia (BPW SPI) Yogyakarta)
Hukum ihya’ul mawat dan iqtha’ utk distribusi lahan demi kesejahteraan dan keadilan rakyat hanya bisa dilaksanakan dlm bingkai sistem negara berbasis syari’ah kaffah, dmn negara jg akan menjamin setiap rakyatnya mampu mengelola lahan²nya scr produktif dg memberikan bantuan subsidi dari baitul mal berupa benih, pupuk, alat mesin pertanian dan infrastruktur. Tdk sprt sistem kapitalisme saat ini dmn negara tdk berpihak kpd rakyat dg membuka keran impor berbagai komoditi hsl pertanian shgg rakyat makin terpuruk, akhirnya lahan² mrk hbs dijual ke cukong mnjd lahan pabrik, properti dll
Tabel-1: Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi dan Palawija di Indonesia
2014 2015
ASEM
1 Padi
Produksi (000 Ton) 70.846 75.361 6,37
Luas Panen (000 Ha) 13.797 14.115 2,31
Produktivitas (Ku/Ha) 51,35 53,39 3,97
2 Padi Sawah
Produksi (000 Ton) 67.102 71.745 6,92
Luas Panen (000 Ha) 12.666 13.069 3,18
Produktivitas (Ku/Ha) 52,98 54,90 3,62
3 Padi Ladang
Produksi (000 Ton) 3.744 3.631 -3,01
Luas Panen (000 Ha) 1.131 1.087 -3,85
Produktivitas (Ku/Ha) 33,11 33,39 0,85
4 Jagung
Produksi (000 Ton) 19.008 19.612 3,17
Luas Panen (000 Ha) 3.837 3.787 -1,31
Produktivitas (Ku/Ha) 49,54 51,79 4,54
5 Kedelai
Produksi (000 Ton) 955 963 0,85
Luas Panen (000 Ha) 616 614 -0,29
Produktivitas (Ku/Ha) 15,51 15,69 1,16
6 Kacang Tanah
Produksi (000 Ton) 639 605 -5,29
Luas Panen (000 Ha) 499 454 -9,07
Produktivitas (Ku/Ha) 12,79 13,33 4,22
7 Kacang Hijau
Produksi (000 Ton) 245 271 10,97
Luas Panen (000 Ha) 208 229 10,28
Produktivitas (Ku/Ha) 11,76 11,83 0,60
8 Ubi Kayu
Produksi (000 Ton) 23.436 21.791 -7,02
Luas Panen (000 Ha) 1.003 949 -5,41
Produktivitas (Ku/Ha) 233,55 229,56 -1,71
9 Ubi Jalar
Produksi (000 Ton) 2.383 2.261 -5,10
Luas Panen (000 Ha) 157 140 -10,55
Produktivitas (Ku/Ha) 152,00 161,26 6,09
Sumber : Badan Pusat Statistik
No. Jenis komoditi
Tahun
Pertumbuhan 2015
terhadap 2014 (%)
Rataan Produktivitas padi Indonesia tak lebih 5,5 ton/ha/panen tahun 2014/2015.
Memperjuangkan nasib petani adalah sangat bagus.
Sejarah mrnunjukkan, banyak petani yang kaya tanah, giliran ke anak cucunya makin miskin, akhirnya jadi buruh tani atau dijual jadi kaya uang miskin tanah. Uang terhambur, miskin lagi.
Pertanyaannya sampai di mana memperjuangkan nasib petani? Apa cukup membagi tanah? Tidak.
Sy pikir dan sy mencoba praktek dalam bentuk lain. Bukan membagi tanah. Masih banyak tanah milik person yg belum tergarap dengan baik. Sawah di suatu tempat bisa hasilkan 10-17ton/ha/panen. Sementara masih ada yang 4ton/ha/panen. Yg terakhir inilah macam yg harus ditangani biar petani tetap jaya sepanjang masa. Luas sawah demikian masih amat sangat luas, terbukti rata2 produktivitas padi indonesia masih rendah. Bisa digoogle infonya.
Jangan sampai memperjuangkan petani dengan membenturkan mereka dg hukum yg tidak jelas jluntrungan mereka di posisi mana.
Ternyata permasalahan pertanian Indonesia itu lebih banyak dari sisi kebijakan pemerintah daripada sisi operasionalnya ya?